Revisi UU ITE

Usai Kasusnya Viral, Siswa SMA di NTT Pertanyakan Pungli Guru Batal Dijerat UU ITE

Polisi beralasan tak lanjutkan penyidikan mengikuti imbauan Kapolri. Namun selama UU ITE tak kunjung direvisi, kasus serupa menimpa Sebastianus Naitili berpotensi terus muncul.
Viral 8 pengacara bela Siswa SMA di NTT Pertanyakan Pungli Guru dan Dijerat UU ITE
Ilustrasi patung dewi keadilan via Unsplash

Sebastianus Naitili, pelajar kelas XI Sekolah Menengah Atas (SMA) di Kabupaten Timur Tengah Utara, provinsi Nusa Tenggara Timur, bernasib sial akibat komentar kritisnya di media sosial. Dia mempertanyakan dugaan pungutan liar uang beasiswa Program Indonesia Pintar yang menimpa sang adik. Menurut Sebastianus, potongan Rp25 ribu yang dilakukan guru berinsial WUN di sekolah dasar tempat adiknya bersekolah masuk kategori pungutan liar karena tak ada dasar hukumnya.

Ketika menulis keluh kesahnya di medsos, tak lama nasib buruk menghampiri Sebastianus. Guru yang merasa tertuduh melaporkan Sebastianus ke polisi atas tuduhan pencemaran nama baik, memakai dasar Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik alias UU ITE.

Iklan

Kasus ini lantas viral, setelah pekan lalu delapan pengacara di NTT turun langsung serentak memberikan pendampingan hukum kepada remaja 19 tahun itu. Saat dikonfirmasi Suara.com, salah satu pengacara bernama Paulo Christanto mengatakan, "kami semua siap membela Sebastian Naitili tanpa dibayar.”

Berkat keterlibatan para pengacara itu yang ramai disorot media dan viral di medsos, Sebastianus akhirnya terbebas dari jerat hukum pada 2 Maret 2021. Seperti dilansir jpnn.com, Kabareskim Polri Komjen Agus Andrianto menyatakan kasus ini tidak akan ditindaklanjuti dan pihak pelapor didorong untuk mencabut tuntutannya. "Setelah dilakukan mediasi, kasus ini damai dan dinyatakan selesai," ujar Komjen Agus. 

Polisi menilai langkah mediasi dikedepankan mengikuti surat edaran Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo. Pada 19 Februari lalu. Salah satu poin yang sudah ditekankan Kapolri pada jajarannya, adalah menjadikan proses pidana sebagai opsi terakhir setiap kali menangani laporan UU ITE. 

Meski kasus Sebastian untuk saat ini tuntas, tidak menutup kemungkinan selalu muncul Sebastian-sebastian lainnya, karena pangkal masalahnya adalah aturan multitafsir UU ITE. Di saat bersamaan dengan ramainya sorotan pada kasus Sebastian, Isma Khaira masih terjerat ancaman pidana.

Iklan

Perempuan berdomisili di Aceh Utara dengan bayinya yang berusia 6 bulan itu kini mendekam di rumah tahanan Lhoksukon, Kabupaten Aceh Utara sejak 19 Februari 2021.

Pemicunya, Isma sempat merekam video pertengkaran seorang kepala desa di Aceh Utara kemudian mengunggahnya di akun media sosial pribadi. Kepala desa yang ada dalam video tersebut tidak terima kemudian melaporkan Isma ke polisi, dengan tuntutan pencemaran nama baik.

Sejauh ini, permintaan Presiden Joko Widodo agar pasal karet dalam UU ITE dipangkas masih menanti hasil kajian dari tim ahli pemerintah. Tim yang dibentuk 22 Februari lalu tersebut beranggotakan pegawai Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam), Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo), dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham). Di bawah tim tersebut, dibentuk lagi dua sub-tim. Sub-tim I menjadi penyusun interpretasi teknis atas implementasi pasal-pasal UU ITE yang dianggap bermasalah.

Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) Damar Juniarto menyebut, ada delapan pasal dalam UU ITE yang bermasalah karena bersifat “karet”. Dua pasal yang paling sering memicu pembungkaman pendapat sekaligus kriminalisasi, adalah Pasal 27 ayat 3 tentang penghinaan dan pencemaran nama baik, serta Pasal 28 ayat 2 tentang ujaran kebencian berdasarkan suku, ras, agama, dan antargolongan (SARA).

Iklan

Paguyuban Korban UU ITE (PAKU ITE) mencatat, kelompok yang paling sering memanfaatkan pasal karet UU ITE untuk mempidana netizen kritis adalah pejabat pemerintah, pengusaha, dan polisi. Dari data sepanjang 2016-2020, mayoritas kasus UU ITE terkait Pasal 27, 28, dan 29 dengan tingkat penghukuman 96,8 persen (744 perkara) dan tingkat pemenjaraan 88 persen (676 perkara).

Problemnya, sub-tim I tim kajian revisi UU ITE dipimpin Staf Ahli Bidang Hukum Kominfo Henri Subiakto. Dia adalah sosok yang terlibat membuat UU ITE, dan sejak bulan lalu berulang kali menyatakan UU ITE tak perlu direvisi karena masalahnya sekadar “tafsir lapangan”.

Sinyalemen kecilnya peluang akan terjadi revisi turut muncul dari pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD. Seperti dilansir dari CNN Indonesia, Mahfud mengatakan, "Saya sendiri melihat kalau undang-undangnya sih tidak bermasalah, apa coba yang bermasalah." Menurut Mahfud, penentu hasil akhir kasus UU ITE adalah proses tafsir pihak pelapor maupun hakim yang menangani.

"Kalau persoalan ada kesalahan penerapan itu sebenarnya tidak, bukan karena undang-undangnya juga. Karena misal di Aceh orang dihukum dengan pasal ini, tapi di tempat lain kan tidak. Artinya kesalahan ada pada orang dan pada hakimnya juga," kata Mahfud.