Tanggap Bencana

Jumlah Gempa di Indonesia Meningkat 5 Tahun Terakhir, Tapi Mitigasi Masih Saja Memble

Sumatera, Jawa, Sulawesi, hingga Papua makin rutin terancam gempa, tapi sistem tanggap bencana—termasuk kebijakan membangun infrastruktur tahan gempa—tak serius dilakukan.
Jumlah Gempa di Indonesia Meningkat 5 Tahun Terakhir, Tapi Mitigasi Masih Saja Memble
Simulasi tanggap bencana pelajar SD di Bali. Foto oleh Sonny Tumbelaka/AFP

Apa risiko tinggal di daerah cincin api? Harus siap menghadapi bencana alam seperti gempa bumi tentu saja. Sayangnya berbagai elemen pemerintah di Indonesia dinilai ilmuwan tak kunjung menganggap serius risiko bencana alam yang bisa datang kapan saja. Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) jumlah gempa meningkat dua kali lipat dalam kurun lima tahun terakhir.

Dari catatan BMKG, seperti dilansir CNN Indonesia, dalam kurun 2008-2018, Indonesia rata-rata mengalami gempa sebanyak 5.000 hingga 6.000 kali. Angka tersebut melonjak naik menjadi 11.920 pada 2018. Pada 2019, masih menurut BMKG, terjadi 10.300 gempa. Gempa tersebut rutin terjadi di pulau Sumatera, Jawa, Sulawesi, dan Papua.

Iklan

"Rata-rata gempa yang merusak itu sebanyak 8-10 kali, tapi 2019 ini sudah 15 kali gempa merusak,” kata Kepala BMKG Daryono. Daryono mengatakan meski fakta tersebut tak terelakkan sayangnya belum ada perhatian serius dari pemerintah terkait mitigasi dan kesiapan infrastruktur.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) di waktu bersamaan terus melakukan pemutakhiran peta gempa berdasarkan metode PSHA tersebut. Peta tersebut, yang dapat diakses di tautan ini, penting untuk perancangan bangunan tahan gempa, sebagai masukan untuk perencanaan tata ruang, kesiapsiagaan, pembuatan peta risiko, dan prioritas mitigasi bahaya gempa.

Pemerintah lewat Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) sejatinya telah memiliki peta kerawanan bencana geologi di seluruh Indonesia. Peta tersebut diklaim telah disebar ke semua pemerintah daerah sebagai acuan dalam pengembangan wilayah. PVMBG sendiri telah memetakan tiga penyebab gempa di Indonesia di antaranya adalah megathrust di Selat Sunda, patahan aktif di sekitar Jakarta, dan intralempengan di bawah Jakarta. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) juga sudah memiliki pedoman bangunan tahan gempa sejak 2004.

Sayangnya kedua hal tersebut masih terganjal masalah klise, antara kurang sosialisasi atau tak sepenuhnya diindahkan. Akibatnya fatal, saat gempa dan tsunami menerjang Palu, Sulawesi Tengah yang menewaskan lebih dari 2.000 orang, sebanyak 66.926 rumah rusak dari ringan hingga berat.

Tak cuma rumah, sederet infrastruktur seperti alat pendeteksi gempa dan tsunami kerap hilang atau dicuri. Persoalan mitigasi ini juga menyangkut persoalan non-infrastruktur, seperti bagaimana mengevakuasi pasien rumah sakit dan narapidana saat lapas diterjang bencana.

Sebab lain, Indonesia belum memiliki standar mitigasi bencana yang layak seperti Jepang yang langganan dilanda gempa bumi dan tsunami. Mitigasi bencana, pendek kata, belum menjadi budaya di Indonesia. Di Jepang misalnya, mitigasi bencana gempa dimasukkan ke dalam kurikulum pelajaran sekolah dasar.

Kerugian materi akibat gempa tidak sedikit. Menurut BNPB, gempa Lombok dan Sumbawa menimbulkan kerugian materiil sebesar Rp17.13 triliun. Sedangkan gempa Palu mengakibatkan kerugian yang ditaksir mencapai Rp18,48 triliun. Kalau dihitung-hitung, tentu lebih murah membuat bangunan tahan gempa jika dibandingkan kerugian yang harus ditanggung saat gempa menerjang.