Komentar Iseng Karyawan Salon Mengantarku Pada Perjuangan Melawan Kista
Semua ilustrasi oleh Dian Permatasari

FYI.

This story is over 5 years old.

kesehatan

Komentar Iseng Karyawan Salon Mengantarku Pada Perjuangan Melawan Kista

Benjolan di perut sempat kuabaikan karena aku cuma merasa gendutan. Dari komen iseng saat waxing, aku menyadari hakikat hidup dan ketegaran menghadapi stigma sebagai perempuan.

“Ahli” pertama yang merasa ada yang salah sama tubuh saya—yang menyadari bahwa saya sebenarnya sakit dan memerlukan operasi—justru seorang tukang cabut bulu di salon waxing. Beneran lho. Dia perempuan yang rajin mengeluh soal pacarnya sambil cekatan mencabut bulu-bulu di tubuh saya, lebih cepat dari kemampuan saya memberi saran, “ya udah putusin aja!”

“Mbak, hamil ya?” katanya sambil menunggu lilin di paha saya mengering.

Iklan

Saya langsung melempar tatapan jutek. Sembarangan. Saya melirik ke bawah dan meletakan tangan di perut, yang sejujurnya memang lebih besar daripada perut orang pada umumnya, diiringi perasaan malu. Memang, perut saya membesar dibandingkan beberapa minggu lalu. Tentu saja, saya juga sempat kepikiran: Jangan-jangan gue beneran hamil?

“Ya ‘kan saya udah lama enggak ke sini. Mungkin saya gemukan sejak terakhir ketemu Mbak,” balas saya gelagapan.

“Enggak, bukan,” katanya sambil mencubit perutnya sendiri. “Ini baru lemak. Itu mah bukan lemak.”

Komentarnya soal ukuran perut saya berhenti di situ, tapi saat keluar salon saya tetap merasa takut dan gemeteran. Saya berjalan ke kedai es krim di pojokan jalan—waktu itu saya masih tinggal di Seattle, Amerika Serikat, makanya ke mana-mana jalan kaki—berharap ketemu teman saya, Milo, yang bekerja paruh waktu di situ. Saya menceritakan kejadian di salon. Milo mendengarkan cerita tadi sambil menyendokkan es krim ke mangkok saya. “Sotoy deh dia,” katanya. “Orang kayak gitu gak usah didengerin lah.”

Kami tertawa. Lalu saya menghubungi Planned Parenthood untuk cek harga tes kehamilan. Perempuan di seberang telepon terdengar tenang dan profesional saat menjelaskan, bahwa tanpa asuransi saya harus membayar 10 kali lipat lebih mahal dari perkiraan awal. Sekali tes habis US$200! Saya hampir keselek es krim. “Perasaan dua tahun lalu harganya cuma US$20 deh, Bu,” kata saya terkekeh, supaya suasana jadi lebih rileks.

Iklan

Menurut perempuan itu, tes kehamilan yang mereka sediakan lebih komprehensif—bukan sekadar pipis di botol. Jadi, sebelum dia membuatkan janji temu, dia ingin tahu kenapa saya sangat khawatir. Apa habis berhubungan seks tanpa pengaman?

"Ya enggak lah," kata saya. "Cuma perut saya buncit."

Suara perempuan di ujung telepon terdengar risih. Wajar, karena berat badan naik bukan tanda kehamilan paling jelas. Dia menyarankan saya beli tes kehamilan di apotek terdekat, lalu menutup telepon.

Hampir dua tahun setelah kejadian di salon itu, perut saya tetap menjadi bagian tubuh paling membingungkan. Pada akhirnya saya enggak pernah mampir ke apotek beli tes kehamilan, dan menganggap insiden kecil itu sebagai masalah berat badan belaka.

Sejak pulang ke Jakarta kira-kira setahun lalu, saya mulai rutin berolahraga. Saya juga berusaha menerapkan pola makan sehat, bahkan pernah ikut-ikutan diet vegetarian seperti salah satu editor di kantor, pesan menu makan siang yang sama dengan yang dia pesan, meski cukup menguras dompet. Enggak apa-apa deh, asal perut buncit ini bisa kempes, cara apapun bakal saya tempuh.


Tonton dokumenter VICE mengenai sosok Wim Hof, manusia super yang sanggup melakukan hal luar biasa berbekal meditasi dan seni menahan napas:


Semua upaya tadi sekilas berhasil. Meski tidak tepat sasaran. Lengan saya jadi ramping dan kuat karena sering angkat barbel. Selain itu, tulang pipi saya mulai kelihatan lagi. Angka di timbangan juga turun. Tapi, perut saya tak kunjung mengecil. Kata orang, perut memang bagian tubuh yang paling ngeyel, jadi saya santai saja. Yang penting saya usaha terus membakar lemak.

Iklan

Rupanya ukuran perut saya terus-menerus dikomentari orang. Perempuan-perempuan melirik perut saya dan merasa berhak berkomentar. Tak sedikit yang mengucapkan selamat karena mengira saya hamil. Saat saya sedang manikur, sedang waxing, atau sedang dikeramasi di salon, ada aja komentar soal perut. Bahkan pernah suatu ketika seorang kenalan mengucapkan selamat ke saya di tengah festival musik—tempat yang kurang lazim untuk mendengar ucapan selamat atas kehamilan yang tidak berdasar sama sekali.

Saya belajar mengabaikan komentar-komentar orang. Perut saya memang tampak seperti habis menelan bola basket utuh, tapi isi perut saya yang jelas bukan bayi. Palingan ini cuma lemak, dan saya terlatih menimpali komentar usil orang-orang dengan kalimat kayak gini: “Lagi gemukan aja.”

Sampai suatu hari, kira-kira dua bulan lalu, akhirnya saya tahu, perut buncit ini bukan sekadar akibat timbunan lemak. Sebab, lambat laun ada yang membuat saya merasakan nyeri dari sana. Rasa sakit datang dari 'timbunan lemak' di perut itu.

Saya akhirnya membulatkan tekad, coba deh periksa ke rumah sakit. Mama bersikeras menemani, katanya saya pasti butuh dia. Saat menunggu antrean untuk menemui gastroenterolog—dokter spesialis perut—saya semakin yakin ada yang salah sama perut buncit ini. Sebelum ke RS, saya memang beberapa kali kena masalah pencernaan. Di Jakarta banyak orang mudah sakit kalau salah makan. Di ruang tunggu, saya masih sempat berpikir kalau semua rasa sakit itu gara-gara makanan.

Iklan

Kami datang pagi-pagi sekali, bahkan jauh sebelum dokternya datang, supaya bisa dapat nomor antrean awal. Itupun saya akhirnya menunggu sekitar satu jam sebelum dipanggil masuk. Dokternya lumayan rese'. Dia enggak mau memandang mata saya, lebih suka ngobrol sama Mama. Saat saya melepas kardigan supaya dokter bisa memeriksa abdomen, dia langsung ceramah panjang lebar soal bahaya tato (saya memang punya beberapa tato di lengan, punggung, dan paha). Dia bilang rajah-rajah itu berpotensi menyebabkan infeksi virus (apaan sih, padahal enggak ada hubungannya).

Setelah saya menarik atasan supaya dia bisa melihat perut, suasana di ruangan pemeriksaan berubah. Si dokter tak meneruskan ceramahnya soal tato. Dia mengatakan saya harus menjalani banyak tes. Raut mukanya serius; saya yang dari awal sudah gugup menjadi semakin cemas.

Tiba-tiba saja semua berlalu cepat. Saya diputuskan dokter harus segera operasi.

Satu-satunya yang saya ingat soal operasi hari itu adalah ruangan yang sangat dingin. Selain itu, saya juga ingat lorong biru menuju ruang operasi. Terakhir saya melihat nuansa biru yang sama adalah pada 2004, saat saya rela ikut umroh bersama keluarga setelah mama merayu dan berjanji kami akan mampir ke Mesir sebelum pulang ke Tanah Air. Yang saya ingat dari perjalanan itu adalah nasi rempah, ikan hambar, dan warna biru Laut Mediterania di pinggiran Kota Alexandria.

Saya ingat memandangi warna biru kobalt laut Mesir dari atas banana boat yang ditarik jetski, sebelum akhirnya terhempas ke air laut yang dingin dan berombak. Kala itu saya menangis sesenggukan, seolah-olah les renang dan pelampung tidak bisa menyelamatkan saya, dan saya akan tenggelam di lautan.

Iklan

Saya memandangi nuansa biru yang sama menuju ruang operasi dan menangis sendirian. Semua bayangan dari masa lalu datang dan pergi. Suster tidak mengizinkan Mama ikut ke ruang operasi. Dia bilang nanti akan ada pasien-pasien lainnya yang akan menemani saya. Kenyataannya berbeda. Saya sendirian dan takut setengah mati. Saya jadi kepikiran soal perjalanan bersama keluarga ke Alexandria dulu, tentang bagaimana saya berhasil mengapung di lautan. Waktu itu saya masih bocah. Sekarang saya pasti bisa mengatasi rasa panik ini. Pikiran itulah yang bikin saya jadi lebih tenang.

Dokter dan suster masuk ke ruangan operasi satu per satu. Mereka semua ngobrol pelan di sekeliling saya sambil bekerja. Dokter spesialis anestesi datang belakangan, menyadari tato-tato di tubuh saya. Dia bertanya apa saya pernah menggunakan obat penenang saat party. Dia bilang, pertanyaan bersifat pribadi itu perlu untuk menilai tingkat toleransi tubuh saya sama anestesi. “Gak apa-apa kalau kamu ngobat. Saya hanya perlu tahu. Biasanya kalau tatoan gini pasangannya obat-obatan.”

Saya tidak peduli lagi. Urusan benjolan di perut lebih penting dibanding harga diri yang direndahkan dokter spesialis anestesi hanya karena saya punya tato.

Mata saya terasa berat, lalu saya tertidur. Tak lama kemudian, saya terbangun di tengah-tengah operasi. Saya enggak bisa merasakan apa-apa dari dada ke bawah. Saat saya mulai punya kekuatan untuk berbicara, tim dokter bersiap mencabut kista dari perut saya. Dokter ketua ahli bedah memandang saya dan bertanya, “Mau lihat gak?” Lalu seorang suster menunjukkan saya lewat layar ponselnya.

Iklan

Kista adalah hal terburuk yang pernah saya lihat. Bentuknya seperti sekantung daging mengerikan, yang sering muncul di film-film David Cronenberg. Dokter bilang ada cairan dalam kantung itu, kira-kira sembilan liter. Kantung itu sendiri berwarna merah muda hampir transparan, berurat, dan menjijikan—mirip seperti kulit kucing tanpa bulu. Bentuknya janggal dan saya jelas tidak mau benda ini terus ada dalam tubuh saya. Untuk sesaat saya khawatir kantung itu memiliki detak jantung. Saya mau menangis.

Pikiran-pikiran aneh terbesit di kepala saya, tapi mulut saya masih belum bisa mengucap apa-apa. Alih-alih mengutarakan isi pikiran, saya cuma nyeletuk, “Ih. Jijik.” Jadi itu benda yang bikin perut saya buncit? Tiba-tiba saya merasa semua olahraga angkat beban dan kardio yang saya jalani dulu sia-sia belaka. Kita enggak mungkin bisa menghilangkan kista seberat 9 kilogram hanya dengan berolahraga.

Masa-masa pemulihan terasa kabur. Tapi saat itulah sahabat-sahabat Mama secara bergantian menceritakan masalah organ reproduksi kepada saya. Cerita-cerita mereka bikin saya depresi. Rasanya enggak adil bahwa saya, di usia 22 tahun, harus melalui masalah-masalah medis yang umumnya dialami perempuan berusia 50-an.

Tak selesai di situ, saya juga harus berbagi kamar sama seorang perempuan yang sedang hamil tua. Sebagian besar perempuan yang dirawat di lantai ini—termasuk rekan sekamar yang saya gak tahu namanya dan hanya berinteraksi sama saya untuk urusan mati-nyalain AC—harus melalui rasa sakit yang juga tak terperi. Tapi, setelah itu, mereka akan meninggalkan rumah sakit menggendong bayi mereka, sosok yang akan tumbuh besar dan mencintai mereka dan kemungkinan besar akan bersama sepanjang sisa umur mereka sebagai perempuan. Sebaliknya saya meninggalkan rumah sakit dengan bekas luka dan beberapa foto kista menjijikkan. Luka ini akan bersama saya selamanya pula.

Iklan

Dokter-dokter memang berhasil memotong kista dari tubuh saya, tapi itu hanyalah satu dari sekian banyak “hadiah” dari teman baru saya: Endometriosis—kelainan medis misterius yang akan terus bersama saya selama saya hidup.

Kecemburuan saya pada para ibu di RS bersalin perlahan-lahan reda. Saya bisa menerima kenyataan punya masalah kista. Meski sekarang saya masih lemah—terlalu lemah untuk berolahraga rutin—setidaknya saya bisa menikmati makanan apapun. Sekarang, perut saya tak lagi terasa sesak setiap saya makan terlalu banyak. Enam bulan ke depan saya wajib menjalani terapi hormon yang berpotensi mengubah suasana hati, berat badan, sampai warna kulit, dan tidak ada yang bisa memprediksi akankah perubahan itu otomatis membuat saya jadi lebih baik.

Minimal, saya tak mau merasa sakit lagi. Saya tak mengkhawatirkan ukuran perut saya lagi. Keadaan masih mungkin berubah. Andai kelak tubuh saya sepenuhnya kembali sehat, saya akan selalu ingat untuk merawat tubuh—dan memperhatikan komentar perempuan-perempuan di salon—dengan lebih seksama.


Alia Marsha adalah deputy editor VICE Indonesia yang periang, sekalipun harus bolak-balik ke rumah sakit. Kalian bisa mendukungnya menjalani masa pemulihan pascaoperasi ataupun berdiskusi mengenai kista lewat akun Twitter pribadinya.