Kritik Film

Penonton Serang Drakor 'Racket Boys', Dianggap Jelek-Jelekkan Badminton Indonesia

Atlet badminton Indonesia terkesan licik dan lemah dalam serial SBS itu. Kata kritikus film, logika fiksi sebetulnya enggak perlu persis sama kenyataan.
Penonton Serang Drakor 'Racket Boys' produksi SBS karena dianggap menghina
Pertandingan badminton melibatkan timnas Indonesia. Foto oleh Nathan Stirk/Getty Images

Tudingan rasisme tengah dihunjamkan keras-keras oleh pemirsa Indonesia ke drama Korea Selatan Racket Boys. Bercerita tentang kisah para pelajar yang terjun ke kompetisi bulu tangkis, drama ini dianggap telah menggambarkan ekosistem badminton Indonesia secara jahat, lemah, dan mengkhianati kenyataan.

Bagian yang dipermasalahkan itu ada di Racket Boys episode 5 musim pertama. Diceritakan bahwa tim Korsel bertandang ke Jakarta untuk melawan tim Indonesia. Sejumlah dialog dan adegan memotret bagaimana tim Korsel diberi fasilitas buruk agar bermain jelek.

Iklan

Sudahlah jahat, kalah pula. Tim Indonesia yang diceritakan kroco sekali: kalah straight set dari tim Korsel dengan skor ekstrem 21-9, 21-7. Tapi sakit hati pemirsa tak cuma sampai di situ. Penonton Indonesia juga digambarkan tidak sopan karena mengejek tim lawan. Untuk ukuran acara televisi yang akan tayang di Indonesia, cerita seperti ini jelas berani banget.

Protes langsung membombardir media sosial. Bisa dimaklumi sih, yang didiskreditkan di sini adalah olahraga yang paling bikin Indonesia bangga (ganda putra nomor satu dunia saat ini berasal dari Indonesia). Tak pelak, dua akun Instagram SBS, stasiun TV Korsel yang menayangkan Racket Boys, dipenuhi hujatan berbahasa Indonesia. SBS meresponsnya dengan meminta maaf kepada penonton Indonesia.

“Kami dari tim produksi [Racket Boys] menyampaikan permohonan maaf mengenangkan pertandingan yang tersiar di episode 5, kami tidak bermaksud untuk merendahkan negara, pemain atau penonton tertentu. Namun demikian, kami mohon maaf atas beberapa adegan yang telah menyinggung pemirsa kami dari Indonesia. Kami akan memperhatikan dengan seksama untuk episode selanjutnya,” tulis akun SBSnow_insta siang tadi (17/6).

Iklan

Seperti alamiahnya komentar, ada yang masuk akal, banyak yang tidak. Misal, ada yang menyebut gambaran jahat tim Indonesia di Racket Boys disebabkan rasa iri Korsel, rival badminton kita di dunia nyata, sama prestasi pemain Indonesia. Atau ada yang menghubungkan dua hal enggak nyambung, menganggap Korsel ibarat membalas air susu dengan air tuba mengingat apresiasi militan fans Kpop Indonesia. 

Hal paling menarik dari gelombang boikot ini ialah, tampaknya semua pemrotes sepakat fiksi (drakor Racket Boys) tak boleh meleset dari kenyataan (tim Indonesia tidak diskriminatif, prestasi Indonesia yang menjulang). Jika gambarannya salah, sinema berhak dicerca (bahkan ada yang mengancam untuk melakukan “cancel”). Tapi kayaknya ini cuma berlaku buat penggambaran yang meleset jadi lebih negatif.

Gimana dong mendudukkan “kritik sinema” seperti ini? Kira-kira gitu inti pertanyaan yang kami layangkan kepada kritikus film dan pendiri situs kritik film Cinema Poetica, Adrian Jonathan Pasaribu. Bermodal dua pertanyaan, Adrian memberi paparan panjang lebar. Ada dua poin doi: pertama, fiksi enggak usah deh dikait-kaitin sama dunia nyata. Kedua, tapi sekaligus kritik atas bias di fiksi itu tetep valid kok.

VICE: Halo, Mas Adrian. Ngikutin komentar-komentar tentang drakor Racket Boys?
Adrian Jonathan Pasaribu
: Lumayan sih tadi liat dikit.

Iklan

Keberatannya karena ekosistem badminton indonesia (sesuatu yang punya basis kenyataan) difiksionalisasikan sebagai sosok jahat, negatif. Menurut Mas Adrian, sah enggak sih orang pake alasan macam itu buat keberatan sama satu sinema yang notabene fiktif?

Masalah klasik ini sebenarnya. Begini. Sebagai sebuah bentuk penceritaan, fiksi buatku sah membentuk realitasnya sendiri. Aku pribadi bahkan merasa semua bentuk cerita adalah sebuah realitas sendiri. Bahwa suatu cerita punya korelasi dengan dunia nyata, itu lain soal. Aku pribadi merasa tidak ada keharusan fiksi untuk sebutlah “menghormati” entitas di dunia nyata.

Apa yang dialami ekosistem badminton [Indonesia] di Racket Boys kan kurang lebih adalah narrative bias, yang umumnya menyederhanakan realitas yang kompleks jadi relasi-relasi yang lebih praktis untuk kebutuhan bercerita (benar-salah, sebab-akibat, dll.). Dan hal itu sudah terjadi dari zaman nabi deh kayaknya.

Makanya, dalam kasus-kasus begini, pertanyaanku biasanya cuma dua. Satu, pertanyaan untuk karyanya: dengan bercerita seperti itu (melukiskan ekosistem badminton Indo jadi evil), filmnya menandakan apa sih soal iklim politik/imajinasi populer di Korea/kalangan pembuatnya?

Satu pertanyaan lagi untuk pihak yang memproblematisir: perasaan tersinggung/tidak terima/kecewa itu menandakan apa sih dari orang/society itu? Menjawab pertanyaan kedua ini, sah aja buat keberatan dengan representasinya, tapi sama sekali enggak ada batasan buat si pembuat film untuk memilih bentuk representasi yang dia mau.

Iklan

Dalam banyak hal, episode terbaru Racket Boys itu ya jadi tolok ukur aja sih soal imajinasi populer masyarakat/pelaku bisnis hiburan Korea soal warga Asia Tenggara. Kita bagi drakor Korea sama kayak orang Timur Tengah bagi film Hollywood yang pasti jadi teroris kan.

Sialnya, yang dipotret jelek itu badminton kita, yang mana adalah pride kita. Ya udah pasti reaksi keras sih. coba yang dipotret jelek itu sesuatu yang netizen umumnya anggap jelek/enggak peduliin, adem ayem aja paling. Plus, kita penonton Indo itu cenderung punya reaksi enggak rasional pada mention apa pun soal Indonesia di film/series asing.

Lebih dari dua pertanyaan itu, enggak ada batasan apa pun sih buat cerita yang dibikin. Masuk akal enggak? Hehe.


Penjelasan Adrian barusan membuatku teringat pada kuliah sosiolog Ariel Heryanto di Universitas Indonesia, 2017 silam. Ariel menyinggung gambaran orang Kiri/komunis di film-film komersial Indonesia yang selalu berkisar antara (1) pandai, tapi licik dan menipu; (2) lugu tapi bodoh, dan tersesat; (3) bernasib sial. Setahuku, tidak pernah ada protes populer menolak gambaran yang jelas-jelas mereduksi peran orang Kiri di sejarah Indonesia itu.


Tapi kan memang ada bias stereotipikal orang Arab di film Hollywood, juga orang kulit berwarna lain, kemudian dipermasalahkan. Lalu ada ethics yang didesakkan enggak boleh kayak gitu terus. Bukankah artinya filmmaker sebenernya tak bebas bikin cerita? 
Isu soal ethics itu aslinya lebih nuanced lagi menurutku. Dalam praktiknya, ethics tidak pernah mengikat atau mendikte proses produksi (kecuali kita bicara sensor, yang sekian larangan serta pembatasannya sudah dibekukan). Ethics juga terikat konteks zaman banget kan. Isu soal penggambaran stereotipikal misalkan, ya baru lima tahunan ini kan jadi sorotan.

Begini. Kebebasan yang kumaksud tadi adalah: secara individu atau kelompok, pembuat film ya terserah mau cerita apa aja sesuai worldview mereka. Lebih dari itu, kita bicara batasan-batasan materiil (seperti dana atau teknologi) atau legal (sensor, perda, dll.). Dalam banyak hal, batasan-batasan itu kan enggak berlaku universal. Kalau semua batasan itu bisa dinegosiasikan, ya sah lah film itu sebagai karya.

Dalam ekosistem perfilman, ethics mengenai representasi dan sejenisnya seringnya lebih banyak di domain penonton. Kita bisa mengkritik karyanya, kita bisa menggugatnya secara publik, kita bisa bikin petisi supaya filmnya hanya beredar terbatas, tapi kita enggak punya power apa-apa buat mengintervensi proses konsepsi cerita dan produksi filmnya.

Dengan bilang begini, bukan berarti aku enggak kesel ya kalo liat film stereotipikal. Aku semata sadar aja, di rantai kerja perfilman, posisi tawar penonton atas proses produksi ya seringnya lemah.