FYI.

This story is over 5 years old.

Internet

Alasan Kita Semua Doyan Artikel Clickbait Seputar Evaluasi Diri

Saya bertanya beberapa ahli kenapa kaum millennial terobsesi dengan evaluasi diri, dan apakah ini benar membuat kita menjadi pribadi yang lebih baik

Kalau ada foto seperti ini, saya pasti enggak tahan godaan buat. Image via Flickr.

Saya memiliki terlalu banyak teman Facebook dan saya tidak bangga karenanya. Banyak orang-orang ini tidak akan saya ajak ngobrol di dunia nyata—beberapa bahkan mungkin tidak saya kenali apabila berpapasan di jalan—tapi saya doyan banget membaca artikel yang mereka bagikan.

Ini bukan sembarang artikel, tapi jenis artikel “self-help”, yang membuatmu terjun ke dalam spiral evaluasi diri. Biarpun mungkin saya tidak memiliki banyak kesamaan dengan individu yang membagikan artikel How To Ruin Your Life (Without Even Noticing You Are), apabila naskah tersebut memuat foto seorang perempuan bengong menatap laut, dan menggunakan caption “too real,” (terlalu nyata), kemungkinan pasti akan saya baca.

Iklan

Tidak peduli artikel tersebut memiliki banyak like atau tidak, saya akan baca. Saya bahkan tetap akan baca biarpun tidak mengenali nama teman Facebook yang membagikan artikel tersebut—soalnya bagaimana kalau artikel itu jawaban saya menuju kebahagiaan? Bagaimana kalau artikel tersebut mengetahui sesuatu yang saya tidak ketahui? Bagaimana kalau artikel tersebut bisa menyadarkan saya apa yang kurang dari hidup?

Artikel macam ini, yang terus menganalisa dan mengevaluasi eksistensi kita guna menjelaskan alasan kenapa kita cemas, kenapa kita di-ghosting orang, atau kenapa kita takut dengan perasaan sendiri, adalah alasan mengapa situs macam Thought Catalog, yang dibagikan lewat media sosial, telah berkembang populer dengan cepat.

Eksplorasi artikel “how-to” (bagaimana caranya) dan “first-times” (pertama kalinya) terjadi karena menurut penjelasan pendiri situs, Chris Lavergne ke majalah Time, “bahkan orang-orang yang paling sinis dan patah semangat memiliki perasaan yang intens.” Lantas apa yang mendorong kaum millenial sangat tertarik dengan kesentimentalan?

Psikolog Munira Haidermota mengatakan jawabannya terletak di kebutuhan kita akan peningkatan diri terus-menerus akibat kesadaran imej diri yang berlebihan.

“Ini nampaknya sebuah fenomena baru. Millenial dibesarkan dalam kultur pengambilan keputusan bersama dan hubungan yang setara, jadi evaluasi dari orang lain menjadi sangat penting untuk menjadi tolok ukur evaluasi nilai diri.” Haidermota juga menjelaskan adanya “rasa percaya diri kolektif” dalam generasi millennial yang terasa spesial.

Iklan

“Mereka lahir di era digital, mereka generasi sosial. Mereka juga generasi yang mementingkan nilai, dan telah dibesarkan sedemikian rupa sehingga mereka tidak mau mengonsumsi apapun begitu saja. Mereka akan meninjau kembali dan membandingkan.”

Life coach Caitlin du Preez, 28 tahun, mengatakan alasan millennial sering meminta bantuannya adalah ketidakpuasan dengan pekerjaan. Dia menyadari generasi muda sering bertahan dalam pekerjaan yang mereka tidak sukai akibat tekanan dari pihak luar seperti teman-teman dan keluarga.

Penyebaran artikel seperti I Quit My Job to Travel the World di lini masa media sosial rasanya mengamini pernyataan ini. Tapi sebetulnya, konten macam ini ditentang oleh Du Prez.

“Mengejar mimpi itu penting, tapi memiliki metode realistis menuju ke sana juga sama pentingnya. Artikel macam ‘Saya meninggalkan pekerjaan untuk tinggal di Barbados dan kini merasa bahagia’ itu tidak salah, tapi kalau itu yang kamu kejar, harus ada rencana untuk mencapainya.”

Du Preez meyakini bahwa millennial cenderung berlaku spontan ketika membagikan informasi, biarpun tidak selalu terwujud dalam dunia nyata. “Di era internet, saking banyaknya informasi yang dibagikan, kita perlu semakin berhati-hati membedakan mana yang benar dan mana yang salah.”

Haidermota setuju bahwa analisa yang berlebihan justru bisa merugikan. “Analisis berlebihan bisa menghentikan kita dari mengambil tindakan karena kita mencari ‘solusi sempurna’. Efeknya justru negatif terhadap performa.”

Iklan

Namun, kedua ahli setuju bahwa kecenderungan millennial mengutamakan kehidupan pribadi di atas ambisi karir adalah hal yang positif, tidak seperti generasi sebelumnya. “Saya melihat bahwa generasi muda sekarang sadar ketika mereka tidak bahagia, mereka tidak harus melakukan apa yang orang tua mereka lakukan. Mereka tidak perlu bertahan di posisi yang sama selama 30 atau 40 tahun,” jelas Haidermota.

Kecenderungan kita untuk mengevaluasi dan mengembangkan diri juga membuat kita menjadi individu yang lebih baik, menurut Haidermota dan Du Preez.

“Millennials sering dideskripsikan sebagai ‘generasi aku, aku, aku,’ terobsesi dengan diri sendiri dan narsis,” ujar Haidermota. “Tapi ini juga membuat mereka lebih progresif dan menghargai diversitas. Mereka sangat mendukung kesetaraan dan sadar akan pengembangan diri, agar tidak menghina kelompok atau nilai-nilai tertentu. “

Du Preez juga mengatakan eksplorasi diri lewat cara membandingkan adalah cara untuk menghadapi tekanan sosial yang dilanggengkan oleh generasi pendahulu. “Dulu, sistem diciptakan demi kekuasaan dan keuntungan pribadi, tanpa penekanan di ketahanan lingkungan dan kesehatan mental.

“Kita sering melihat millennial diserang di media karena tidak mengikuti jejak generasi sebelumnya, tapi salut bagi mereka yang berani mengubah fokus, mengeksplorasi emosi… dan ingin menjadi sesuatu yang berbeda.”