FYI.

This story is over 5 years old.

dukun

Jadi Sekarang Kita Bisa Pidanakan Dukun Kalau Gagal Jalankan Tugas?

Dokter gagal menyembuhkan pasien lalu diancam malapraktik kita sering dengar. Lah dukun, gimana? Kasus terbaru di Depok bisa jadi patokan.
Ilustrasi oleh Diedra Cavina.

Berbagai praktik ilmu gaib tumbuh subur di Indonesia. Bukan isu baru kalau presiden-presiden yang pernah duduk di pucuk pemerintahan hidup dengan desas-desus yang mengaitkan mereka sama dunia mistis dan spiritual. Permintaan terhadap jasa dukun yang tinggi menjadikan profesi ini menjanjikan. Beberapa paranormal jadi bintang di televisi. Sebagian lainnya memilih diam tak muncul ke permukaan, sebagian populer tapi setelah sekian lama terkuak kalau cuma dukun jadi-jadian. Asli atau palsu, yang jelas praktik perdukunan terus bertahan di negara kita.

Iklan

Ngomong-ngomong soal dukun palsu, sudah bukan barang baru. Coba tengok skandal pengganda uang macam Dimas Kanjeng Taat Pribadi yang akhirnya divonis 18 tahun penjara lantaran kasus pembunuhan berencana dua bekas anak buahnya. Dimas Kanjeng khawatir kedua orang tadi membocorkan metode penipuan penggandaan uangnya. Lalu, yang paling baru adalah soal laporan penipuan dukun yang dibayar ratusan juta untuk mengobati hal-hal medis macam impoten dan mengembalikan keperawanan.

Dukun di Kecamatan Beji, Depok, bernama Ros ini dituduh menipu empat kliennya yang menjalani terapi gangguan seksual. Biayanya jika ditotal mencapai Rp170 juta. Ros mengaku bisa menyembuhkan klien dengan memberikan air yang sudah diberi jampi-jampi. Ternyata jampi-jampi tersebut tidak berhasil. Dengan laporan tersebut, Ros terancam hukuman empat tahun penjara.

Katakanlah dua kasus tadi akan jadi preseden, apa bisa kita simpulkan perdukunan akan terancam karena rentan diperkarakan pakai pasal pidana oleh para konsumennya?

Upaya menyeret praktik dunia gaib ke ranah hukum formal bukan kali ini saja terjadi. Sebelumnya santet sudah bikin gonjang-ganjing parlemen. DPR sempat membahas Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang di dalamnya tercantum pasal membahas dukun santet. Tentu saja usulan anggota parlemen kontroversial, lantaran banyak pihak berpendapat akan sulit bagi aparat hukum membuktikan hal-hal gaib seperti santet secara legal-formal.

Iklan

Paranormal Dewi Sundari menyatakan praktik paranormal yang dijalankan olehnya kurang lebih seperti berobat ke dokter. Pasien tidak pernah mendapatkan jaminan 100 persen akan sembuh. Dewi menyatakan Ia tidak akan membuka praktik bagi hal-hal yang secara fisik hampir tidak mungkin dilakukan.

"Seperti mengembalikan keperawanan kan memang secara fisik hampir tidak memungkinkan. Kalau yang jelas-jelas tidak memungkinkan seperti itu ya saya tidak menyediakan," ujar Dewi kepada VICE Indonesia.

Dewi yang sehari-hari membuka praktik di Jakarta Selatan ini biasanya dipercaya membantu klien memperbaiki hubungan asmara dan karir. Dewi meyakini setiap saran yang diberikan masing-masing praktisi paranormal berbeda-beda. Dalam beberapa kondisi, praktik paranormal yang dibuka Dewi bahkan melakukan perjanjian hitam di atas putih bermaterai untuk menghindari adanya kemungkinan kasus hukum. Dewi menjelaskan, perjanjian resmi tersebut dibuat untuk klien yang hanya terima bersih tanpa melakukan amalan apapun.

"Isinya itu kurang lebih nanti kalau tidak berhasil dalam jangka waktu tertentu, maharnya saya kembalikan. Ini khusus untuk mereka yang hanya terima bersih," kata Dewi yang sehari-hari mengaku mendalami ilmu pesugihan berbasis prinsip kejawen. "Kalau memang dari awal si paranormal ini menjanjikan pasti berhasil ya wajar dia dituntut, tapi kalau dari awal diterangkan keadaannya, diterangkan segala kondisi kemungkinannya, tentunya hal itu tidak terjadi."

Iklan

Baca juga liputan VICE memotret persinggungan klenik dan realita absurd di Indonesia:

Keterangan serupa diberikan pawang hujan Aryo Hanindyojati. Jati, langganan banyak perusahaan dan event organizer untuk menangkal hujan di Jabodetabek, mengelak disebut menggunakan kekuatan supernatural. Dia mengklaim menangkal hujan berbasis kekuatan pikiran belaka. Itupun dia mengaku pernah gagal mencegah hujan. Meskipun gagal, Jati yang telah dibayar jutaan rupiah oleh klien sampai sekarang belum pernah diminta mengembalikan bayarannya. Apalagi sampai dituntut pasal pidana ataupun perdata. Pengembalian uang bisa saja terjadi tapi atas pertimbangan tertentu, misalnya acara yang 'diamankannya' terkena hujan parah yang membuat kerugian materiil bagi penyelenggara.

"Itu sudah pasti ada di nego. Pas nego awal, terms and condition-nya gimana. Misal, acara elo panggungnya sampai roboh, gue engak bakal minta apa-apa kalau benar-benar parah banget, mau ngasih berapapun, mau uang transport doang juga ga masalah," kata Jati kepada VICE Indonesia. "Cuma biasanya sampai kayak begitu karena dadakan banget, jadi gue enggak ada preparation, most likely gue enggak bakalan ngambil kalau acara yang dadakan."

Sosiolog dari Universitas Nasional, Nia Elvina, memandang perubahan sikap masyarakat terhadap praktik perdukunan, klenik, ataupun takhayul tidak akan langsung anjlok, hanya karena sekarang kesadaran hukum meningkat. Dia tak yakin masyarakat bakal memperlakukan praktik dukun dan pawang hujan semata jasa yang bisa digugat dengan sangkaan wanprestasi. Lestarinya bisnis paranormal bukan semata persoalan keyakinan khas orang Indonesia, melainkan problem modernitas. "Karena pada dasarnya kehidupan masyarakat modern semakin diliputi ketidakpastian, sehingga masyarakat membutuhkan keyakinan yang bisa membuat nyaman kondisi rohani mereka," ujarnya saat dihubungi VICE Indonesia.

Barangkali makin banyak orang tak segan menyeret dukun ke ranah hukum jika gagal menjalankan tugas yang diembankan. Namun kenginan meminta bantuan paranormal belum ada tanda-tanda susut, menurut Nia. Terutama saat nilai-nilai spiritual di luar kendali manusia terus bertahan dalam tatanan masyarakat modern, maka manusia akan selalu mencari jawaban yang bisa memberi ketenangan batin atau kepastian. "Jalannya, dengan yakin kepada dukun atau guru-guru spiritual."