FYI.

This story is over 5 years old.

Film

Sutradara Ini Mewawancarai Orang-Orang Yang Percaya Mereka Reinkarnasi Yesus

Dalam film dokumenter 'Looking For Jesus', sutradara Katarzyna Kozyra menemui deretan orang yang disebut kalangan psikolog mengidap 'Sindrom Yerusalem'.

Jika seorang pria yang memakai jubah kotor dan sebuah mahkota buatan mendekatimu dan mulai berteriak bahwa dia adalah reinkarnasi Yesus Kristus, kemungkinannya kamu bakal menganggapnya gila lalu segera kabur. Katarzyna Kozyra, di sisi lain, memilih ngobrol bersama orang macam itu. telah menghabiskan beberapa tahun terakhir berpergian untuk mencari karakter semacam itu dan bergaul dengan mereka.

Seniman dan pembuat film Polandia tersebut telah empat kali pulang pergi ke Yerusalem sejak 2012 mendokumentasikan orang-orang yang menunjukan gejala sindrom Yerusalem—sebuah kondisi psikologis aneh, yakni ketika pendatang atau penduduk kota Israel mengidap delusi, obsesi, dan bahkan kegilaan bertendensi religius. Penderita "biasanya berakhir ditahan polisi atau ruang gawat darurat, dan menderita dehidrasi serta pengabaian diri sendiri," seperti ditulis Sam McPheeters dalam sebuah artikel VICE pada 2011 mengenai kondisi psikologis tersebut. Begini deskripsi lengkapnya soal gejala pengidap yang merasa dirinya Tuhan:

Iklan

Ada beberapa tipe diagnostik dari sindrom Yerusalem. Ada orang-orang gila tradisional—yaitu para pelancong yang sejak awal merasa punya pengaruh besar terhadap dunia, sangat religius. Beberapa orang datang dengan klaim bahwa mereka telah memecahkan rahasia-rahasia religius, seperti tanggal dari kembalinya Messias, lokasi Eden atau Golgota, atau kriteria pasti agar manusia bisa diangkat ke surga. Yang lain datang untuk menunjukkan bagian-bagian Alkitab yang sangat mengerikan. Banyak dari mereka adalah praktisi dari apa yang disebut oleh jurnal Kesehatan Mental, Agama & Budaya dengan istilah "asketisme psikotik."

Hasil obrolan Kozyra telah disusun dan diedit menjadi film dokumenter panjang yang berjudul Looking for Jesus (2012 -….). Kozyra tidak berusaha fokus mengolok-olok subyeknya yang sakit secara mental. Dia menghormati pandangan mereka. Wawancara yang dia lakukan dilengkapi penjelasan ilmuan dan psikolog, tapi tidak untuk menyudutkan mereka yang mengaku titisan Yesus. Jika menonton dokumenter ini, impresi yang diperoleh penotnon adalah kondisi mereka berkaitan dengan iman dan bukan kegilaan—atau sebetulnya memang hanya terbentang garis tipis yang membedakan keduanya.

Saya mewawancarai Kozyra melalui email tentang alasan dia ingin menghabiskan banyak waktu bersama para peniru Messias ini.

Salah satu lelaki yang mengaku titisan Yesus di pinggiran Yerusalem.

VICE: Apa yang membuat Anda ingin membahas topik titisan Yesus?
Katarzyna Kozyra: Ketika saya mendengar tentang sindrom Yerusalem, saya langsung tertarik untuk bertemu orang-orang yang menderitanya. Ruang kecil antara apa kita dan apa yang kita yakini selalu ada di pikiran saya. Identitas adalah topik dokumenter yang selalu ingin saya kerjakan, dan identitas dari seseorang yang menganggap dirinya lebih dekat dengan Tuhan daripada orang lain adalah yang paling menarik yang pernah ada.

Iklan

Apakah kamu berasal dari latar belakang yang taat agama?
Di Polandia, Anda bisa taat agama atau melawan agama. Bagaimanapun, Anda harus berurusan dengan agama … mustahil untuk mengabaikannya. Tapi pada akhirnya, saya tidak menciptakan proyek ini karena pengalaman pribadi saya dengan agama.

Apa hal paling menarik yang Anda perhatikan atau amati saat syuting? Apakah ada cerita atau momen yang menonjol?
Salah satu hal yang paling menarik yang saya amati adalah perubahan dalam diri saya—dalam pendekatan saya … pergeseran dari ketertarikan pada representasi visual Yesus menjadi keyakinan mendalam bahwa ada sesuatu yang jauh lebih besar untuk dijelajahi. Maksud saya adalah sesuatu yang tidak dibatasi dengan "pola" yang sudah saya kenal. Bagi saya, ini seperti melompati bayangan saya sendiri.

Kapan Anda syuting dan berapa lama Anda di Yerusalem? Anda sudah pernah kesana sebanyak empat kali yang terpisah, kan? Apakah Looking for Jesus menyertakan cuplikan dari setiap perjalanan?
Betul. Saya sudah kesitu empat kali sekarang, tapi dalam pameran saya tidak menyertakan rekaman dari dua perjalanan terahir saya. Setiap kali saya mengerjakan rekaman ekstra yng diniatkan untuk sesuatu selain dari sebuah pameran galeri, saya menemukan hal-hal baru—bahkan dari orang-orang yang saya temui selama perjalanan pertama saya ke Yerusalem.

Pendekatan saya terhadap subjek berubah-ubah sepanjang film, dan ada semacam perkembangan. Saya mengedit pertemuan dalam urutan kronologis, tapi ada kalanya beberapa orang yang sepertinya sudah ada dua kali sebelumnya. Ke depannya, saya akan menambahkan pertemuan lain dengan orang-orang yang sama.

Iklan

Bagaimana Anda mempersiapkan proyek ini dari segi penelitiannya?
Kita hidup di dunia yang terfragmentasi, jadi sepanjang kehidupan saya, saya telah mengumpulkan informasi yang telah saya satukan, tapi saya tidak pelajari dengan sengaja. Sebelum saya mulai membuat film ini, saya mendapat beberapa pelajaran tentang agama. Tapi karya itu bukan tentang dengan tepatnya merujuk kepada kitab-kitab suci, melainkan tentang pengalaman pribadi oleh orang-orang yang berpikir seagai reinkarnasi atau inkarnasi dari orang-orang kudus, atau orang-orang suci lainnya.

Tentu saja ada beberapa psikolog dan dokter yang ahli dalam Sindrom Yerusalem yang saya ajak bicara, tapi saya tidak menggunakan wawancara tersebut di film ini. Sisi ilmiah bukanlah yang paling menarik perhatian saya. Agar bisa menjadi ilmiah, para ilmuwan mencari kesamaan untuk memisahkan, "bersihkan," dan memberikan nama hal-hal … Saya mencari apa yang unik, sangat pribadi, dan—karena itu—heroik.

Walaupun karya masa lalu Anda melibatkan memfilm orang-orang—kadang tanpa pengetahuan subjek—apakah Anda menganggap karya ini lebih merupakan dokumenter terus terang dan obyektif daripada karya video masa lalu Anda?
Saya selalu berusaha untuk bersikap objektif. Cara saya mendapatkan rekaman, jika tersembunyi atau tidak, tidak membuat hasilnya kurang lebih objektif.

Saya tidak punya resep yang tepat untuk membuat karya seni. Bentuk mereka tergantung pada subjek dan inspirasi. Segala sesuatu yang saya kerjakan dalam Looking for Jesus adalah dokumentasi pengalaman. Jika saya memutuskan untuk menyiapkan rekaman yang saya dapatkan untuk sebuah festival dokumenter, hasilnya kemungkinan besar akan mengambil bentuk dokumenter yang lebih mudah. Lagi pula, apa yang artistik berasal dari ruang yang berada "di antara" … dari ruang antara realitas obyektif dan keraguan tentang hal itu—semakin sempit ruangnya, semakin mudah pekerjaan itu terjadi.

Iklan

Lelaki ini mengaku bukan Yesus, tapi utusan Tuhan.

Bisakah kamu ceritakan proses editing film ini?
Ketika saya berurusan dengan kepribadian yang sangat berbeda, saya tidak dapat menggunakan [metode] editing yang sama untuk semua orang yang saya temui. Menurut saya, setiap karakter perlu dijelaskan dengan caranya sendiri. Saya perlu menemukan kunci untuk mengedit setiap karakter dengan cara yang unik dan paling tepat.

Misalnya, Suster Jostina, wanita yang melayani Tuhan di gereja Suriah, belajar bahasa Inggris untuk bisa menceritakan kisahnya kepada turis. Dia mengingat tiga cerita yang dia ceritakan dalam bahasa Inggris dengan hati dan menkoreografikan serta mengucapkannya hampir sama persis setiap kali dia mengulangi dirinya sendiri. Karena dia ingin memberikan penampilan yang sempurna, dia stres dan terus-menerus harus memulai dari awal lagi. Inilah sebabnya mengapa kami pikir akan menarik untuk menyorotinya dengan menambahkan layar split dimana dia menceritakan kisah yang sama—terutama karena Roh Kudus membuat kisahnya menjadi mungkin.

Salah satu hal yang saya anggap menarik adalah saat dokumentermu beralih dari mendokumentasikan orang-orang yang secara khusus mengklaim dirinya sebagai Yesus kepada seseorang yang berbicara tentang bagaimana Israel seharusnya melakukan revolusi politik. Apa alasannya?
Ini adalah dokumenter tentang semangat beragama. Semangat itu yang ingin saya angkat, sekalipun sejak awal topik utamanya revolusi politik. Jadi tanpa peduli subyeknya apapun, saya sejak awal membayangkan film ini berkutat seputar agama.

Iklan

Agama mengandung spektrum penafsiran yang besar tentang orang-orang yang mungkin bersangkutan … Juga, dalam sejarah agama yang sama, Anda memiliki biarawan yang tinggal di gua sepi, atau Godfrey of Bouillon melakukan perjalanan suci. Jadi di film ini, Anda juga memiliki orang-orang yang mengambil pendekatan yang berbeda dengan gagasan untuk dekat dengan Tuhan.

Apakah orang-orang yang Anda wawancarai menunjukkan perilaku yang konsisten—selain fakta bahwa mereka percaya bahwa mereka adalah messias?
Kurang lebih … saya akan bilang iya. Hanya Bo, sang pria asal Korea, yang entah bagaimana tidak dapat diprediksi. Selama wawancara dia sempat mengamuk dan tiba-tiba berkata, "Memangnya menurut anda mudah untuk jadi yang terpilih oleh Tuhan?"

Bo juga adalah suara yang ada di atas rekaman yang diedit dari tempat suci yang berbeda di Yerusalem—seperti di Tembok Ratapan, atau di Pemakaman Suci, atau sekitarnya. Terkadang kita menunjukkan tangan Bo ke kamera, tapi itu adalah fragmen dari gambar penuh. Kami tidak pernah menunjukkannya secara penuh, karena rekaman dia diambil diam-diam, dan dia tidak ingin memberikan wawancara karena [dia mengatakan] ini belum saatnya dia muncul di TV.

Apa yang Anda harapkan dari pemirsa yang menonton film ini? Reaksi apa yang Anda harapkan?
Saya berharap bisa membuka cakrawala atau memberikan keraguan. Bagaimanapun, saya berharap bisa menyajikan sesuatu yang lebih dari sekadar hiburan murni.