FYI.

This story is over 5 years old.

Emansipasi Perempuan

Sosok-Sosok Perempuan Hebat Ini Sebaiknya Juga Kita Kenang Pada Hari Kartini

Tokoh perempuan bersejarah di Indonesia yang gigih mendorong emansipasi perempuan ada banyak lho. Kalau boleh usul, sebaiknya konsep Hari Kartini kita ubah sekalian.
Ilustrasi oleh Ilham Kurniawan.

Nenek saya dari pihak ayah, perempuan 75 tahun asal Padang, Sumatra Barat, mengaku mimpi-mimpinya pupus setelah dia menikahi kakek lebih dari setengah abad lalu. Ketika dilamar kakek, nenek sedang berada di Bandung. Umur nenek baru 20 tahun waktu itu. Beliau sedang menjadi mahasiswa jurusan Pendidikan Sejarah IKIP Bandung. "Ya semua rencana batal untuk nikahin kakekmu. Sehabis nikah itu kan [kami] pindah-pindah terus [karena kakekmu kan tentara]. Mana kepikiran buat sekolah lagi. Engga sempet lagi kuliah gitu-gitu. Engga kepikiran lah. Sudah jalannya kan sebagai perempuan."

Iklan

Nenek saya dari pihak ibu juga bernasib tak jauh beda. Dia hampir saja jadi dokter perempuan pertama di provinsi asalnya, ketika memutuskan meninggalkan bangku kuliah karena mengandung ibu saya.

Takdir serupa kedua nenek saya masih dialami banyak perempuan Indonesia masa kini. Kita terbiasa mendengar berita tentang anak perempuan yang dikawinkan meski usianya masih sangat belia, sebuah tradisi yang mengakar dalam budaya Indonesia. Tradisi ini pula yang berusaha mati-matian ditumbangkan oleh beberapa pahlawan perempuan di Indonesia. Untuk itu, pada Hari Kartini yang dirayakan setiap 21 April, kita sebaiknya mengingat pula upaya-upaya para perempuan hebat lainnya yang kini agak terlupakan.

Roehana Koeddoes

Rohana dilahirkan pada 1884 di kota kecil Agam, dekat Padang, Sumatra Barat. Ayahnya adalah seorang pegawai negeri. Kendati demikian Rohana tak mendapatkan kesempatan untuk mengecap pendidikan formal. Namun, ini tak lantas mempersempit lingkup pergaulan Rohana. Dia berhasil berteman dengan beberapa istri orang Belanda. Dari merekalah Rohana belajar banyak tentang gerakan emansipasi perempuan. Pada tahun 1911, Rohanna bersama beberapa rekannya mendirikan Sekolah Kerajinan Amal Setia. Selain mengelola sekolah itu, Rohanna merupakan seorang penulis kenamaan. Reportase, artikel dan puisinya banyak dimuat di banyak koran di Padang dan tersebar luas. Pada tahun 1912, Rohanna menggagas pendirian sebuah harian Sunting Melayu. Mayoritas staf harian ini adalah perempuan.

Rohanna pernah menulis, "Perempuan tetaplah perempuan dengan segala kemampuan dan kewajibannya. Yang harus berubah adalah perempuan harus mendapat pendidikan dan perlakuan yang lebih baik."

Iklan

Nama Rohana Koeddoes terpartri sebagai salah satu pionir jurnalisme di Indonesia. Atas pengabdiannya, mendiang Rohana Koeddoes dianugrahi Bintang Jasa Utama, salah satu penghargaan tertinggi yang diberikan pemerintah Indonesia bagi penduduk sipil.

Dewi Sartika

Nama lain yang kerap disebut dalam sejarah perjuangan emansipasi perempuan di Hindia Belanda pada awal Abad 20 adalah Dewi Sartika. Dia dilahirkan di tahun yang sama dengan Rohana di Bandung, di sebuah keluarga kaya. Tak seperti Rohana, Dewi Sartika bisa merasakan bangku pendidikan formal. Di sanalah, Dewi Sartika memperoleh gagasan untuk mengedukasi orang lain, khususnya kaum perempuan. Pada tanggal 16 Januri 1904, Dewi Sartika mendirikan Sakola Kautamaan Istri yang ditujukan bagi perempuan pribumi. Saat itu, Dewi Sartika masih berusaha 20 tahun. Delapan tahun kemudian, dia menulis sebuah buku tentang edukasi kaumnya, sesuatu yang jarang dilakukan kaumnya saat itu.

Perjuangan Dewi Sartika lantas semakin digaungkan oleh lasminingrat, seorang perempuan dari Garut. Lasminingrat ikut membantu Dewi Sartika mendirikan Sakola Kautamaan Istri. Layaknya Dewi Sartika, Lasminingrat juga menulis beberapa judul bukti. Malang, meski kontribusinya tak sedikit dalam perjuangan emansipasi perempuan, Lasminingrat sampai saat ini belum diberi gelar pahlawan nasional.

Siti Aisyah We Tenriolle

Siti Aisyah We Tenriolle adalah contoh lain sosok aktivis perempuan awal yang terlupakan. Beliau penguasa kerajaan kecil di selatan Sulawesi pertengahan abad 19. Selama berkuasa, Siti Aisyah We Tenriolle sibuk mendesak pemerintah kolonial Belanda untuk membuat sistem sekolah inklusif untuk perempuan maupun laki-laki.

Tak hanya itu, Siti Aisyah mendukung upaya penerjemahan naskah epos La Galigo yang kondang dan dianggap naskah karya sastra terpanjang di dunia. Sayangnya, sosok perempuan sehebat ini justru sangat jarang disebut ketika kita sedang membahas sejarah emansipasi perempuan di Tanah Air.

Iklan

Kita perlu mengingat tokoh perempuan Legendaris Lainnya pada Hari Kartini

Nama-nama perempuan yang disebut sebelumnya dalam daftar ini sangat sedikit sekali muncul di literatur maupun diskursus publik mengenai perjuangan emansipasi perempuan. Sebagai gantinya, muncul nama lebih dominan yakni Kartini, berkat kumpulan suratnya Habis Gelap Terbitlah Terang.

Kartini adalah seorang pahlawan nasional. Jasa terbesar Kartini bisa ditemukan dalam surat-surat yang dia tulis kepada para sahabat penanya di Negeri Belanda. Kartini lahir 1979 di sebuah keluarga priyayi Jawa. ayahnya adalah Bupati Jepara. Kaum priyayi dan aristokrat pada jaman penjajahan Belanda memiliki privilese tertentu seperti kesempatan menikmati pendidikan lokal dan persahabatan dengan keluarga Belanda.

Semuanya berubah ketika Kartini mencapai masa akil balik. Pada umur 12 tahun, Kartini harus berhenti dari sekolah dan menjalani masa pingitan sebelum akhirnya menikah dengan seorang bangsawan Jawa. Meski terkurung oleh dinding rumahnya, Kartini dipercaya menulis ratuhan surat yang ditujukan pada teman-temannya. Surat-surat ini—ditulis dalam bahasa Belanda—penuh dengan ide-ide yang mendahului masanya seperti pengembangan diri, pernikahan ideal dan edukasi bagi kaum perempuan.

Surat-surat Kartini kemudian dikumpulkan dalam satu buku oleh Kementrian Kebudayaan, Agama dan kerajinan pemerintah Hindia Belanda. Kompilasi surat-surat Kartini—yang diberi judul Door Duisternis tot Licht—mendapat sambutan yang meriah. Nama Kartini mulai dikenal di luar negeri. Malang, saat kumpulan suratnya diterbitkan, Kartini sudah terlebih dahulu meninggal dunia karena pendaharan ketika melahirkan anak pertama.

Iklan

Warisan pemikiran Kartini kemudian diakui oleh Pemerintah Indonesia. Presiden Soekarno pada 1963 mengangkat Kartini sebagai seorang pahlawan nasional. Selain Kartini, Soekarno juga menganugerahkan gelar pahlawan nasional pada Cut Nyak Dhien dan Cut Meutia di hari yang sama. Pada hari itu juga, Soekarno menetapkan hari kelahiran Kartini sebagai perayaan nasional resmi.

Keputusan bapak bangsa itu membuat Indonesia punya dua hari besar perempuan: Hari Kartini yang kerap disamakan dengan hari emansipasi perempuan serta hari Ibu yang dibuat untuk memperingati ulang tahun Kongress Perempuan Indonesia. Fakta ini mengindikasikan bahwa Kartini adalah sosok besar bagi bangsa Indonesia. Lagipula, Indonesia memiliki 145 hari besar yang diakui negara. Dari 145 hari itu, hanya satu yang diberi nama seorang tokoh. Dan sosok itu adalah seorang perempuan.

Kalaupun ada yang mengganjal adalah alasan Kartini diposisikan sebagai simbol bagi perjuangan emansipasi perempuan, menutupi kiprah dua sosok lainnya—Rohana dan Dewi Sartika. Rezim Orde Baru membuat sosok pahlawan perempuan lain semakin terlupakan. Ketika pemerintahan Soeharto berkuasa, Kartini dikonstruksi sedemikian rupa menjadi sosok "istri rumah tangga ideal." Saking kuatnya konstruksi ini, jika saya bertanya seorang teman atau orang yang saya temui di jalan tentang figur pionir penggagas edukasi dan emasipasi perempuan, mereka dengan enteng menjawab Kartini—tak ada nama lain.

"Di Indonesia, negara berperan penting dalam konstruksi sosial keperempuanan…Konstruksi ideologi tentang perempuan itu dipakai untuk menopang dan mengabsahkan kekuasaan [Orde Baru]," tulis Julia Suryakusuma dalam bukunya Ibuisme Negara. Gagasan di atas kemudian dioplos dengan pengerdilan pemikiran dan kehidupan Kartini menjadi sekadar parade kebaya dan lomba dandan ala Kartini. Imbasnya, muncul kepicikan dalam memandang sejarah perjuangan menuntut kesetaraan hak perempuan di Indonesia

Andai saja kita mau merunut kembali sejarah bangsa ini barang sejenak, kita bakal dengan mudah menemukan sosok perempuan berjasa lainnya selain Kartini. Kita bahkan bakal punya daftar perempuan badass yang panjang. Mulai dari Keumalahayati, Laksamana perempuan asal Aceh, Auw Tjoei Lan yang aktif memerangi perdagangan manusia sejak era kolonial, hingga Maria Walanda Maramis yang gigih menuntut kesetaraan hak politik antara laki-laki dan perempuan di negara ini. Mereka semua patut dikenang dan dirayakan bersamaan di Hari Kartini.

Saat saya kembali bertanya pada nenek, apa pendapat beliau tentang Kartini dan apakah pemikiran-pemikiran Kartini membekas pada hidupnya. Nenek cuma tertawa.

"Kartini ya Kartini, Uci ya uci [uci: nenek dalam bahasa Minang-red]. Mana sempat kita mikirin kaya gitu-gitu zaman dulu, orang perjuangan masih ada di mana-mana. Apalagi untuk baca-baca kaya gitu. Semuanya sama-sama berjuang, mungkin ada yang uci udah lakuin, ada yang uci mau lakuin."