Pandemi Corona

Indonesia Baru Minta Bantuan Bila Penularan Covid Melonjak hingga 50 Ribu Kasus

Respons Menko Luhut yang menyebut situasi penanganan pandemi "terkendali" menuai kritik. Sikap Kemenkes menyebut RS sekadar overkapasitas tapi tidak kolaps juga dianggap akrobat istilah.
Menko Luhut sebut skenario terburuk bila kasus Covid-19 melonjak hingga 50 ribu Indonesia minta bantuan asing
Pasien terpaksa dirawat di halaman IGD RSUP Dr Kariadi Kota Semarang pada 2 Juli 2021, akibat overkapasitas selama pandemi. Foto oleh Ulet Ifansasti/Getty Images

Pemerintah Indonesia berkukuh bahwa strategi pengendalian pandemi Covid-19 sejauh ini berjalan dengan semestinya. Luhut Binsar Panjaitan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi yang ditunjuk memimpin pelaksanaan PPKM Darurat oleh Presiden Joko Widodo, meminta berbagai pihak agar setuju bahwa situasi Indonesia terkendali. Namun, dia mengakui, pemerintah menyiapkan beberapa skenario andai situasi memburuk.

Jika angka penularan kasus melonjak tajam, sudah ada lembaga dan negara lain yang akan dihubungi untuk dimintai bantuan. “Jangan underestimate bahwa Indonesia ini tidak bisa mengatasi masalah,” kata Luhut dalam keterangan pers virtual pada Selasa, 6 Juli 2021. “Tapi, kalau kasus ini nanti lebih dari 40.000 [atau] 50.000 [kasus], kita tentu akan membuat skenario siapa nanti yang akan kita minta tolong dan sudah mulai kita approach itu semua.”

Iklan

Negara yang sudah dihubungi pemerintah Indonesia, bila sewaktu-waktu butuh bantuan, adalah Singapura dan Tiongkok. Selain itu, Luhut menjelaskan bila sudah ada komunikasi pula dengan Facebook, Google, dan NASA, untuk memantau pergerakan warga selama PPKM Darurat di Pulau Jawa dan Bali.

Pemerintah sedang mendapat sorotan negatif oleh netizen di media sosial, setelah pejabat Kementerian Kesehatan menyangkal fasilitas medis di Pulau Jawa telah kolaps akibat pandemi Covid-19. Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siti Nadia Tarmizi mengklaim yang terjadi sepekan terakhir adalah “overcapacity” atau jumlah pasien di berbagai RS, khususnya Pulau Jawa, melebihi kapasitas.

“Kolaps tidak, tapi overcapacity itu ya, karena jumlah pasien yang sangat banyak dan dalam waktu bersamaan,” tutur Nadia, seperti dikutip Tempo

Klaim tersebut diragukan kebenarannya oleh pengguna medsos. Alasannya pemerintah punya rekam jejak panjang memilih nomenklatur atau istilah tertentu menggambarkan sebuah situasi yang bertolak-belakang dengan kenyataan. Contoh yang populer adalah Presiden Joko Widodo menyebut pulang kampung berbeda dengan mudik sehingga ada perbedaan implementasi aturan pada keduanya.

Iklan

Yang paling baru adalah Jokowi mengklaim bahwa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) dan lockdown “punya esensi yang sama” sehingga “tidak perlu dipertentangkan”. Padahal, lockdown (dalam Undang-undang Karantina Kesehatan disebut sebagai karantina wilayah) punya implikasi jauh lebih berat yaitu negara harus menjamin kebutuhan hidup dasar orang dan hewan ternak.

Penggunaan istilah teknis oleh pemerintah ini menghasilkan perang persepsi antara pejabat dengan masyarakat umum. Pakar kesehatan dunia punya pendapat lebih gamblang soal kriteria faskes kolaps dalam konteks ini. Mandeep Dhaliwal dari UN Development Programme (UNDP) mengatakan sistem kesehatan dinyatakan kolaps ketika tidak mampu merespons krisis seperti Covid dan gagal memenuhi kebutuhan orang-orang yang seharusnya dilayani.

Apa yang menjadi salah satu penyebabnya? Saat fasilitas kesehatan kelebihan kapasitas.

Mendiang pesohor Jane Shalimar adalah satu dari banyak sekali pasien Covid-19 yang kesulitan mendapatkan kamar di Instalasi Gawat Darurat (IGD) sampai harus dirawat di lorong rumah sakit. Dia juga merasakan kelangkaan oksigen di Jakarta, padahal barang tersebut bersifat sangat vital bagi orang yang tertular Covid-19 dengan gejala berat sepertinya

Iklan

Krisis oksigen juga berakibat pada hilangnya nyawa 33 pasien Covid-19 di Rumah Sakit Dr. Sardjito, Yogyakarta, pada akhir pekan kemarin. Lewat keterangan pers yang diterima VICE, Rukmono Siswishanto selaku direktur rumah sakit, mengungkap kelangkaan mulai terjadi pada 29 Juni. 

Walau sudah berkoordinasi dengan pemasok, faktanya pada Sabtu (3/7) malam rumah sakit rujukan di Provinsi DIY tersebut sudah tidak mempunyai stok dan baru menerima pasokan keesokan harinya. Kelangkaan ini berbanding terbalik dengan banjir pasien yang membutuhkan alat bantu pernapasan.

Sistem kesehatan juga pantas divonis kolaps saat muncul gangguan layanan medis terhadap para pasien yang tidak menderita Covid-19. Di Surabaya, Jawa Timur, sebanyak 13 rumah sakit terpaksa menutup sementara layanan IGD karena sudah dipenuhi pasien Covid-19 dengan gejala sedang hingga berat. 

Penyebab lainnya adalah semakin banyak tenaga kesehatan (nakes) yang terpapar virus. Ini berujung pada jomplangnya perbandingan antara yang merawat dan yang harus dirawat. Salah satu yang tak punya pilihan lain adalah Rumah Sakit William Booth di Surabaya, setelah 24 nakes dikonfirmasi positif Covid-19.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) secara jelas mengategorikan ancaman psikologis, antara lain karena kelelahan menangani banyaknya pasien dalam waktu panjang, sebagai salah satu serangan terhadap sistem kesehatan. Ketika dibiarkan berlarut-larut, lebih banyak nakes yang berisiko tumbang. 

Iklan

Konsorsium Masyarakat Untuk Kesehatan Publik geram dengan respons pemerintah. Inisiatif yang terdiri dari berbagai perkumpulan seperti LaporCovid-19 dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) itu secara tegas mengatakan pemerintah gagal menanggulangi penularan Covid-19 setelah libur Idul Fitri.

Menurut LaporCovid-19, per 4 Juli ada 291 orang meninggal dunia saat melakukan isolasi mandiri di rumah di tengah tekanan bertubi-tubi yang dialami faskes. “Ini menjadi potret nyata kolapsnya fasilitas kesehatan yang menyebabkan pasien Covid-19 kesulitan mendapatkan layanan medis yang semestinya,” kata konsorsium tersebut lewat siaran pers.

Banyaknya nyawa yang melayang sia-sia akibat lumpuhnya sistem kesehatan seharusnya membuat pemerintah berhenti mempertontonkan toxic positivity, bahkan ilusi, bahwa semua damai, aman dan sentosa.

“Pemerintah perlu mengakui bahwa kondisi sudah gawat darurat dan meminta maaf serta menunjukkan empati,” kata inisiator LaporCovid-19 Irma Hidayana. “[Pemerintah] perlu berhenti melakukan komunikasi yang mencitrakan bahwa kita sedang baik-baik saja, yang justru mengakibatkan rendahnya kewaspadaan masyarakat terhadap masifnya penularan Covid-19.”

Pada akhirnya, pernyataan Menko Luhut dalam jumpa pers terbaru sekadar mengulangi apa yang disampaikan sehari sebelumnya, bahwa Indonesia belum memasuki masa genting. “Saya bisa sampaikan pada Anda, sama [seperti] jawaban saya pada presiden tadi malam ‘semua masih terkendali Pak Presiden’. Ada kritis sana-sini, yes,  tapi semua dapat diatasi dan tim bekerja sangat kompak, baik daerah sampai pusat,” ujar Luhut.

Pak Luhut, coba katakan itu sekali lagi kepada keluarga dan rekan dari setidaknya 1.046 nakes yang gugur saat bertempur melawan pandemi setahun terakhir.