Beginilah Proses Kelahiran Pop Punk Pada 1978
Ilustrasi oleh Xavier Lalanne-Tauzia.

FYI.

This story is over 5 years old.

Sejarah Musik

Beginilah Proses Kelahiran Pop Punk Pada 1978

Jadi, plis... jangan lagi bilang kalau pop-punk itu muncul bersama populernya band macam Green Day atau Blink 182.

Artikel ini pertama kali tayang di Noisey.

Pada 1978, punk tengah didera krisis identitas. Januari tahun itu, Sex Pistols bubar jalan justru saat menjalani tur di Amerika Serikat, meninggalkan punk berjalan tanpa nakhoda. Penggemar musik mainstream AS gagal melihat daya tarik punk saat meledak tahun 77, meski label yang menaungi The Clash, Ramones dan Sex Pistols memasarkan gacoan mereka habis-habisan. Di Inggris sendiri, Punk menjamur di luar skena underground. Ironisnya, punk justru mandek. Musababnya, band punk baru membludak. Maklumlah, band-band baru ini tak punya kesamaan visi. Ada yang nyemplung jadi anak punk karena pengen ngetop. Ada pula yang keranjingan etos DIY dan dalam hitungan hari segera bikin band punk. Namun, yang paling menyedihkan, punk mulai keropos karena sound genre itu sendiri mulai bermutasi.

Iklan

Band baru Johny Rotten—Public Image Ltd—beserta band-band post punk baru semacam Wire dan Joy Division bereksperimen dengan DNA punk serta mengoplosnya memakai anasir-anasir baru. Mulai dari art-rock, synthesizer, noise hingga dub. Di sisi lain spektrum punk, Crass—kolektif anarcho-punk—merilis debut mereka dan sesumbar bakal merevolusi punk dengan caranya sendiri. Nah, selagi punk bergulat dengan identitasnya dan mengalami banyak mutasi, sebuah subgenre punk diam-diam lahir. Meski baru bisa dikenali sebagai subgenre mandiri beberapa tahun kemudian, pop-punk nyatanya memang lahir pada 1978.

“Punk sedang nyungslep dan punk sudah mati,” kata frontman Buzzcocks Pete Shelley pada Mei 1978, seperti dikutip oleh buku Tony McGartland, Buzzcocks: The Complete History. Shelley tengah diwawancarai tentang bandnya saat mengeluarkan pernyataan provokatif itu. Artinya, apa yang keluar dari mulutnya belum tentu obyektif. Apalagi, saat itu Buzzcocks notabene band punk yang tengah ngetren-ngetrennya. Setahun sebelumnya, Buzzcocks mengeluarkan album DIY pertama di Inggris, sebuah EP berjudul Spiral Scratch. Sejak saat itu, nama Buzzcocks jadi langganan chart musik dan tampil di TV. Dua album pertama mereka Another Music in a Different Kitchen dan Love Bites—keduanya dirilis 1978—sama ngebut dan berisiknya seperti album band punk semasanya. Bedanya, daripada nyanyi tentang topik-topik khas punk seperti kerusuhan dan politik, Shelley cs malah menulis lirik tentang kebingungan yang disebabkan perubahan hormon dan dilema khas remaja lewat track macam “Fiction Romance,” “I Don’t Mind,” : “Ever Fallen in Love with Someone (You Shouldn’t’ve),” dan “Just Lust.”

Iklan

Suara Shelley yang tinggi dan melodik jauh berbeda dari vokal punk ala Johny Rotten atau Joe Strummer. Ada semacam kesepakatan dalam punk untuk mengacungkan jari tengah pada tren musik sebelumnya. Uniknya, Shelley malah belajar gitar pada usia 15 tahun dengan memainkan lagu-lagu The Beatles. Pengaruh The Fab Four jelas terpancar pada tembang-tembang kegamangan remaja dalam album-album Buzzcocks. Hal yang sama terjadi pada The Ramones, yang debut albumnya (rilis 1976) jadi cetak biru pop-punk. Bahkan saat menulis lagu-lagu cinta, Ramones masih kerap menambah bumbu-bumbu horor, gore dan kegagahan pemuda jalanan. Rasa sakit adalah komponen utama lirik-lirik lagu punk. Meski begitu, Shelley mendekatinya dengan cara yang berbeda. Alih-alih sesumbar bakal tega menyakiti diri sendiri, Shelley malah banyak bercerita jadi pesakitan karena cinta.

Buzzcocks bukan satu-satunya band punk circa 1978 yang diam-diam mencintai The Beatles—atau menyusupkan pengaruh sensibilitas pop John Lennon cs dalam musik mereka. Saat diwawancarai New York Rocker, Billy Idol dari Generation X buka kartu. “Waktu umurku tujuh tahun, aku senang mengumpulkan foto-foto The Beatles dari majalah-majalah remaja. Menurutku, itu cara yang bagus untuk bergaul.” Senada dengan Shelley, perkataan Billy harusnya tak usah buru-buru ditelan mentah-mentah. Billy Idol punya agenda tersendiri saat mengucapkannya.

Dia sedang membela diri karena Generation X banyak muncul di majalah remaja demi mempromosikan album debut mereka yang dirilis Maret 1978. Dari track “Ready Steady Go” hingga track bontot “Youth Youth Youth,” album pertama mereka kental dengan tingkah polah remaja tanggung dan hook-hook ngepop yang lengket di telinga. Jelas, album ini adalah perayaan dari menjadi muda, sangean, pemberang, lapar, sekaligus mengekspresikan rasa penasaran yang membludak dalam remaja. Album ini memng tak memiliki cover lagu The Beatles yang pasti dicemooh orang. Sebaliknya, Billy Idol dkk justru mengcover secara ugal-ugalan lagu pentolan The Beatles John Lennon, “Gimme Some Truth.”

Iklan

Generation X tak punya niatan untuk mengencingi status quo musik rock saat itu seperti band-band punk lainnya. Misal, Joe Strummer dengan gamblang menunjukkannya saat bernyanyi “No Elvis, Beatles, or the Rolling Stones / in 1977,” di lagu “1977.” Sebaliknya, dalam “Ready Steady Go,” Idol dengan santai berikrar, “I was in love with the Beatles / I was in love with the Stones / I was in love with Bobby Dylan / Because I’m in love with rock ’n’ roll.” Dan lewat lagu ini, Idol meletakan salah satu pilar penting bagi pop-punk: perhargaan yang tinggi terhadap songwriting lagu pop. begitulah, pop-punk menyambut dengan tangan terbuka pengaruh-pengaruh musik dari masa prap-punk. “Menurutku, kita harus membangun budaya kita sendiri dan aku pikir punk membantu kita melakukannya,” kata Idol pada New York Rocker. “Tapi kita selalu punya kaitan dengan sesuatu di masa lalu.”

Semangat pembangkangan punk di dekade ‘70an, semenarik apapun itu, masih punya cacat. Kendati keluar dari mulut pembenci kejumudan rock semacam Lydon dan Strummer, punk masih penuh machoisme rock. Punk adalah, setidaknya, sampai saat itu adalah musik yang maskulin. Punk ditulis sepenuhnya oleh laki-laki dan dibuat sedemikian rupa untuk menyalurkan amarah laki-laki hingga mereka terkesan tangguh dan berwibawa. Dengan kata lain, punk pada akhirnya mirip dan musik rock yang katanya mereka tentang.

Pop-punk punya fungsi berbeda. Dari semua band punk angkatan 1978, The Undertones adalah band yang paling subversif. The Undertones dibentuk di Kota Derry, Irlandia Utara. Semua anggota band ini tumbuh di masa penuh kerusuhan sipil yang dikenal dengan nama The Troubles. Di Dublin, Stiff Little Fingers banyak bernyanyi tentang kekerasan dan tragedi yang melingkupi The Troubles. Undertones, sebaliknya, mengambil jalan memutar. Single debut mereka “Teenage Kicks” tak hanya jadi lagu bubblegum punk paling catchy yang pernah dibuat, tapi juga berhasil menghindari kecenderungan lirik-lirk yang menceramahi dan mengagungkan diri ala band-band punk Irlandia Utara waktu itu.

Iklan

“Lagu-lagu kami lebih personal. Kami tak mau mengomentari situasi standar macam the Troubles,” kata gitaris dan penulis lagu utama The Undertones John O’Neill dalam sebuah wawancara dengan majalah Melody Maker pada 1978. O’neill tidak sedikit pun berbohong. “Teenage Kicks” adalah lagu tentang patah hati memilukan yang dinyanyikan dengan suara tenor oleh vokalis Sharkey. Sound gitar di lagu ini sama mentah seperti bagian gitar di lagu Sham 69 mana pun. Akan tetapi, yang membuatnya “Teenage Kicks” jadi lagu punk klasik adalah kontras antara musik mentah ala punk dan sensibilitas pop. yang juga kontras adalah sikap anggota The Undertones—dengan tampang mereka yang konyol, kegemaran memakai sweater rajutan dan gaya rambut anak sekolah—menyangkut gaya hidup punk itu sendiri. “Yang menyebalkan itu jauh dari rumah,” kata O’Neill told Melody Maker saat ditanya kenapa mereka membenci tur. “Tapi justru jauh dari pacar.”

Sejatinya, grup pop-punk tahun 1978 tak selalu apolitis, atau malas mengambil sikap kontroversial karena takut ditinggal fans. Buktinya, tahun itu baik Buzzcocks dan Generation X ikut manggung di gelaran Rock Against Racism, rangkaian konser yang dimaksudkan untuk memerangi penyebaran paham nasionalisme kulit putih khusus dalam komunitas punk dan Inggris pada umumnya. Hanya saja, polemik tentang politik bukan hal yang pertama terpikir oleh band-band pop-punk saat mereka menulis lagu, “Aku rasa susah menjadi partai politik dan band rock and roll dalam waktu bersamaan.” kata Idol pada New York Rocker. Pendapat jelas bisa didebat habis-habisan, tapi di sisi lain bisa menjelaskan kenapa band pop-punk ogah terpaku dengan sloganeering saat menulis lirik.

Iklan

Buzzcocks, Generation X, dan The Undertones mutlak adalah band pop-punk dengan ukuran masa kini. Di tahun 1978, distingsi antara punk dan pop-punk belum begitu jelas. Tak sedikit band punk yang dengan sengaja mencover lagu-lagu pop saat manggung—ada kalanya untuk mencemooh namun tak jarang juga lantaran mereka betulan suka lagu tersebut. The Damned pernah mengcover lagu The Beatles, “Help.” Mick Jones, anggota The Clash yang diam-diam memendam cinta pada musik pop, menulis lagu cinta “1-2 Crush On You.” begitu juga dengan The Vibrators. Band satu ini punya nomor cinta berjudul “Sweet Sweet Heart.” Sementara The Jam sudah lebih dulu menulis lagu romantis lewat “I Need You (for Someone).”

Band-band seperti The Rezillos dan The Lurkers malah lebih dekat dengan pop-punk di album debut mereka. Dua lagu mereka yang dirilis pada 1978—“(My Baby Does) Good Sculptures” dari album debut the Rezillos, Can’t Stand the Rezillos and “Jenny” dari album Fulham Fallout, debut The Lurkes—menyenggol tema cinta-cintaan dengan musik punk yang masih lumayan nonjok.

Belum lagi, banyak band pop-punk yang memainkan musik yang nyaris serupa power-pop, subgenre yang sedang naik daun di saat yang sama. Bedanya, power-pop lahir lebih dulu. Selain itu, kalau ditelusuri adalah sebuah fenomena dari Negeri Paman Sam. Dua band pengusung genre ini Milk ‘n’ Cookies dari New York dan The Nerves dari Los Angeles memainkan lagu-lagu sederhana yang mengingatkan kita pada musik pop tahun 50an dan 60an. Namun, AS tak hanya mengimpor tren power-pop. Pencetus pop-punk, The Ramones, adalah anak AS asli. Predikat The Ramones sebagai pencetus pop-punk makin susah digugat setelah mereka merilis Road to Ruin pada 1978. Berbeda dari tiga album pendahulunya, Road to Ruin, punya sound yang lebih halus. Malah, “Questioningly,” salah satu track dalam album itu, adalah ballad berirama jangly yang bikin nangis. Lagu lainnya, “Don’t Come Close” lebih seru lagi. Tak ada lagi ampli yang disetel mentok. Kini, sebagai gantinya, The Ramones menawarkan lick-lick gitar aduhai.

Iklan

Nyatanya, ada satu band punk yang lebih ngepop dari The Ramones tahun itu. Datang dari Lembah San Fernando: The Dickies. Band ini melepas album pertama mereka The Incredible Shrinking Dickies pada 1978. Seperti The Rezillos di Inggris, The Dickies lebih nyaman bernyanyi tentang kultur pop dan hal-hal yang absurd daripada cinta dan romansa. The Incredible Shrinking Dickies diisi lagu-lagu konyol dan ganjil seperti “Walk Like an Egg” dan “You Drive Me Ape (You Big Gorilla),” yang dinyanyikan dengan vokal snotty punk yang kedengaran konyol. The Dickies pernah berkelakar menyebut musik mereka sebagai “easy listening punk” dalam wawancara dengan majalah Sounds. Meski demikian, The Dickies punya sumbangan besar dalam perkembangan pop-punk: melahirkan bagian pop-punk yang tak melulu ngomongin cinta dan dekat dengan hal-hal yang berbau geek dan nerd. Dengan pilihan estetika punk macam ini, The Dickies dengan percaya diri—dan cuek—memisahkan diri dari band-band di skena punk LA seperti Black Flag, Circle Jerks, and the Germs, yang kelak akan mempopulerkan hardcore.

Tak lama berjarak dari daerah kelahiran The Dickies, sebuah band punk kurang terkenal di Manhattan Beach tengah rajin mengulik materi-materi yang kelak akan jadi track-track dalam album perdana mereka. Siapa nyana band ini akan besar di kancah pop-punk. Kehebatan mereka sebenarnya sudah tercium saat merilis single “Ride the Wild.” nama band itu adalah The Descendents dan mereka akan menjadi pembawa obor pop-punk sepanjang dekade ‘80an, ketika punk didominasi oleh band-band hardcore.

Pop-punk akhirnya benar-benar meledak dan menyita perhatian penggemar musik mainstream berkat Greenday dan album mereka Dookie yang dirilis pada 1994. Seketika sound-sound yang dulu diusung oleh Buzzcocks dan the Undertones kembali digali oleh roster Lookout! Records—mantan label Greenday sebelum dicatut major label—seperti the Queers, Screeching Weasel, dan the Mr. T Experience. Pasca milenium berganti, semua band dari Teenage Bottlerocket hingga the Ergs! telah mengkhatamkan dan memainkan oplosan pop-punk ala Inggris dan AS serta menyesuaikan isi liriknya dengan kegamangan remaja—atau dalam kasus Greenday, politik—masa kini.

Bahkan di awal kelahirannya, pop-punk tak hanya jadi versi punk yang lebih ringan dan mudah dicerna. Pop-punk sama bengalnya dengan varian punk mana pun. Hanya saja, pop-punk memberontak pada aspek-aspek yang membentuk punk itu sendiri mulai dari nihilisme, tampang badboy anak punk, cemoohan punk terhadap melodi hingga sikap yang sok serius ala punk. Dengan kata lain, pop-punk adalah secara teori adalah bentuk pop-punk yang mengkritik punk dengan mendekati sisi eksperimental dan avantgarde musik. Pop-punk menjadi otokritik bagi punk justru lantaran berani mengeksplor kepolosan, kekonyolan, romansa dan hasrat untuk bersenang-senang tanpa akhir. Beberapa pelaku pop-punk adalah anak-anak kampus seni. Sebagian lagi anak jalanan yang main musik. Sebagian ingin jadi rockstar. Ada juga cuma ingin main musik lalu cepat-cepat pulang ke rumah. Tapi, ada satu benang merah dari segala jenis band pop-punk: keinginan mereka untuk membawa punk keluar dari kejumudannya dan negasi diri yang itu-itu melulu. Dan tentu saja, semua band-band tersebut pernah minimal sekali menulis dan menyanyikan lagu cinta. “Yang paling aku benci dari punk adalah konsep tanpa emosinya ujar Billy Idol pada 1978, seperti yang dikutip George Gimarc dalam buku Punk Diary: 1970-1979. “Musik harusnya penuh emosi.”

Karena momentum pada 1978 itulah, popularitas pop punk saat ini jauh mengungguli subgenre punk lainnya.


*Jason Heller adalah penulis buku yang sebentar lagi terbit berjudul: Strange Stars: David Bowie, Pop Music, and the Decade Sci-Fi Exploded. Kalian bisa ajak dia ngobrol lewat Twitter.