Ekspor-Impor Sampah

Australia Masih Membandel Kirim Sampah Bonus Limbah Beracun ke Indonesia

Visy, perusahaan daur ulang sampah milik orang terkaya di Australia, kepergok mengirim sebuah kontainer berisi kotoran hitam penuh belatung ke Batam.
Gavin Butler
Melbourne, AU
Australia Masih Membandel Kirim Sampah Bonus Limbah Beracun ke Indonesia
Foto ilustrasi pengelolaan sampah via Pxher

Pekan lalu aparat Bea Cukai di Pelabuhan Batam, Kepulauan Riau, mendapati sebuah kontainer dari Australia diberi label “non-B3" dari Australia, padahal isinya jauh panggang dari api. Kontainer tersebut justru mengandung semua yang masuk kategori B3, alias “Bahan Berbahaya dan Beracun”, mulai dair limbah medis dan sampah yang dapat mencemari lingkungan, serta membahayakan kesehatan manusia. Jenis limbah ini seharusnya tidak diperbolehkan masuk ke Indonesia. Limbah non-B3 hanya mengacu pada sampah yang aman untuk diimpor dan dikelola di negara penerima.

Iklan

Ternyata saat kontainernya dibuka, aparat bea cukai terkejut mencium bau tidak sedap dan melihat isinya sampah berlumuran kotoran hitam dan belatung, merujuk laporan Fairfax. Limbah seberat 13,7 ton ini berasal dari Kota Melbourne, dikirim pada 21 Mei. Konon sih sudah melalui pemeriksaan terlebih dulu sebelum dikirim ke perusahaan pendauran ulang Indonesia, Royal Citra Bersama.

Perusahaan pengekspor kontainer sampah tersebut adalah Visy—salah satu perusahaan kertas, pengepakan, dan pendauran ulang terbesar di dunia—yang dimiliki orang terkaya di Australia, Anthony Pratt. Visy tidak merespons permintaan VICE untuk konfirmasi dan klarifikasi.

Insiden ini menambah panjang kasus tindakan nakal perusahaan Australia yang diam-diam mengirim sampah beracun ke kota-kota lain di Indonesia. Aparat bea cukai Surabaya, sebelumnya, berencana mengembalikan delapan kontainer lain berisi limbah beracun ke Australia. Kontainer-kontainer ini seharusnya hanya mengandung sampah kertas, tetapi justru mengandung sampah plastik dan B3.

"Sudah diputuskan bahwa delapan kontainer akan diekspor kembali", karena isinya "terkontaminasi limbah B3," kata juru bicara Otoritas Bea Cukai Surabaya.

Kantor Bea Cukai Batam, saat dikonfirmasi The Jakarta Post, berencana mengembalikan 38 kontainer yang terbukti mengandung limbah beracun ke berbagai negara asalnya. Termasuk Australia, Amerika Serikat, dan sejumlah negara Eropa.

Iklan

"Kami menerima surat rekomendasi dari [Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan] mengenai kontainer-kontainer ini. Langkah berikutnya adalah mengirim surat kepada para importir untuk mengekspor kembali [kontainernya] kepada negara asalnya, karena mereka melanggar peraturan," kata Susila Brata, petinggi kantor bea cukai Batam.

Bukan hanya Indonesia, lho yang dicurangi negara maju soal sampah yang ternyata beracun. Negara-negara Asia lain juga mengalami hal serupa. Sejak Tiongkok mengumumkan pada awal tahun lalu tidak akan lagi menerima pengiriman limbah plastik dari luar negeri, banyak negara Barat kesulitan mencari tempat membuang limbahnya.

Pekan ini, Kanada akhirnya menerima kembali kapal kargo berisi 69 kontainer limbah yang dibuang ke Filipina dari 2013 sampai 2014. Sejumlah bangsa-bangsa Asia Tenggara lainnya turut berupaya mengembalikan limbah ke Barat, seperti Malaysia, yang sedang bersiap mengirim limbah plastik kembali ke Australia.

Trevor Evans, Wakil Menteri Pengelolaan Limbah dan Lingkungan Australia, menyatakan menurut hukum Australia, dibutuhkan surat izin khusus buat aktivitas ekspor limbah. Trevor mengungkap pelanggaran peraturan ini harus dikenakan hukuman berat. Termasuk kemungkinan pengembalian limbah ke negara asal.

"Apabila sebuah perusahaan mengekspor limbah macam itu dari Australia tanpa izin, maka tindakan mereka melanggar hukum Australia. Kami siap bekerjasama dengan negara yang menerima sampah berbahaya itu. Besar kemungkinan limbah tersebut akan dikembalikan ke Australia," katanya. "Jika ada perusahaan yang melanggar peraturan… maka dia merusak reputasi industri ini sekaligus mengecewakan warga Australia. Oleh karena itu, peraturan-peraturan ini harus ditegakkan secara memadai."

Follow Gavin di Twitter atau Instagram