Gordon Bishop aktivis anti Orde Baru dan bikin milis mengkritik Suharto, yang keliling dunia pakai pesawat curian.
Semua foto dari arsip pribadi penulis.

FYI.

This story is over 5 years old.

Travel

Ayahku Keliling Dunia Pakai Tiket Pesawat Curian, Sambil Menggulingkan Rezim Suharto

Usai bertemu milisi organisasi kulit hitam Amerika Serikat, Black Panther, ayahku berpetualang mengelilingi dunia. Kisah hidupnya yang luar biasa kini kutulis ulang.

Ayah mempunyai stok kisah-kisah menyerupai mitos dari pengalaman hidupnya. Dia pernah mengajakku berjalan-jalan jam 3 pagi di kota-kota kecil, kemudian bercerita tentang pengalaman gilanya berusaha menggulingkan rezim Suharto; bagaimana dia masuk 'daftar hitam' di Indonesia akibat aktivismenya; serta menceritakan teori bahwa kematian Ibu hasil rencana keji antek-antek rezim Orde Baru. Itulah kenapa keluarga kami selalu tidur dengan tongkat baseball di bawah bantal.

Iklan
1486124396173-Gordon-2

Gordon Bishop, ayah penulis di tahun 70-an. Semua foto dimuat seizin penulis.

Baru-baru ini, aku menemukan informasi perihal Ayah yang lebih mengejutkan lagi: Gordon Bishop (Ayahku) dan mantan pacarnya, Una—anak bangsawan dan seorang model—pernah berkeliling dunia menggunakan tiket pesawat curian. Lucunya kalau bukan karena tiket curian tersebut—serta petualangan yang mereka tempuh—aku tidak akan pernah dilahirkan.

Ayah selalu menceritakan petualangannya—termasuk cerita tiket pesawat curian tersebut—berulang-ulang kali laiknya cerita pengantar tidur. Tapi aku tahu biarpun penuh dengan detail-detail luar biasa, bukan berarti kisahnya selalu akurat. Karena itu aku berusaha keras mengingat kembali semua ceritanya, mengumpulkan ulang data dari jurnal dan foto-foto yang dia tinggalkan. Sejak Ayah meninggal, aku menghabiskan bertahun-tahun berkeliling dunia demi mencari kebenaran tentang hidupnya. Sesuai dengan permohonan terakhirnya, aku juga menyebar abu kremasinya di atas samudra, di berbagai benua. Tubuhnya menjadi bagian dari setiap kota, setiap pantai, dan setiap kenangan.

Tiket pesawat curian Ayah didapatkan suatu malam pada musim panas 1971. Di malam yang penuh hujan tersebut, seorang buronan anggota organisasi Black Panther mengetuk pintu rumah Ayah di Berkeley. Basah kuyup dan tengah mencari tempat bersembunyi, buronan ini menyimpan sebuah pistol dalam lengan jaket kulitnya. Gordon, ayahku, mengajak pria itu masuk rumah dan menawarkan kopi, serta lintingan ganja.

Iklan

"Bolehkah saya bermalam di sini?" tanya anggota Black Panther tersebut.

"Boleh. Tapi anda wajib menyumbang uang ya," kata Gordon.

"Saya punya sesuatu yang lebih berharga daripada uang," kata si personel Black Panther. Dia mengeluarkan sebuah peti kecil dari ranselnya yang basah. Di dalamnya terdapat 60, 90, bahkan mungkin 100 tiket pesawat kosong. "Ada temannya teman yang kerja di Qantas. Dia memberiku semua tiket kosong ini," kata pria itu. "Kamu bisa menggunakan tiket-tiket ini terbang kemanapun di dunia. Kamu tinggal datang ke bandara, minta petugas maskapai mengisi tiketnya. Memang hanya bisa satu tujuan sekali pergi, dan kamu tidak bisa tinggal lebih dari 3 minggu di satu negara. Bersenang-senanglah. Jika kamu sampai bablas terlalu lama tinggal di satu negara karena lupa waktu, hancurkan tiketnya, dan mulai pakai yang baru. Jangan sampai ada yang tahu. Jadi sebetulnya tiket-tiket ini adalah…"

"Saya mengerti," tukas Gordon.

"Silakan ambil tiket sebanyak yang kamu mau. Tapi hati-hati ya. Banyak orang keterusan dan malah punya banyak anak di benua yang berbeda-beda."

Gordon tersenyum, menyambar beberapa lembar tiket kosong, lantas bergegas menyiapkan ruangan kecil sebagai tempat istirahat tamunya malam itu. Gordon kemudian memutar globe, menunjuk sebuah lokasi secara acak. Kebiasaan memandangi globe ini kemudian menjadi bagian dari rutinitasnya setiap malam.

"Pergi yuk," kata pacar ayahku saat itu, Una, setelah mendengar soal tiket-tiket tersebut. "Yuk pergi ke tempat baru. Tempat yang jauh dan eksotis."

Iklan

Selanjutnya, ayahku dan Una puas menyambangi berbagai negara, di bermacam zona waktu dan budaya yang berbeda-beda. Pesona ayah dan kecantikan Una yang memukau membuka banyak pintu bagi teman-teman baru. Mereka bersahabat dengan anggota kerajaan, politikus, seniman, pengusaha, dukun, hingga banyak pemimpin suku-suku pribumi dari seluruh dunia. Berbekal tiket curian tersebut mereka terbang ke Prancis, Italia, Meksiko, Australia, Tahiti, Fiji, Nepal, Brasil, Afghanistan, Singapura, sampai akhirnya tiba di Indonesia. Di setiap negara tujuan, Gordon membeli suvenir kecil, menyimpan buah tangan itu di koper berwarna hijau pucat miliknya. Koper tersebut beserta seluruhnya isinya di kemudian hari dihibahkan padaku.

1486124448835-Gordon-3

Simbol Black Panthers dan foto-foto dari People's Park, Berkeley yang dihadiahkan Ayah kepada penulis.

Di bandar udara Los Angeles—menjelang keberangkatan perdana mereka menggunakan tiket curian—Una berbicara dengan petugas bandara, sementara ayahku ngumpet. Una berbicara penuh percaya diri. Bahasa Inggris Una yang dibumbui aksen Perancis dan Jerman membuatnya terkesan sangat berbudaya. Una juga gesit dan pandai berbicara—kualitas pribadi yang berguna ketika kalian sedang bernegosiasi di sebuah bandar udara internasional. Ayah saat itu berambut panjang, mengenakan eye shadow berwarna biru (yang dia kenakan hampir setiap hari) sibuk bersembunyi di sebuah kios, mengamati upaya Una dari jauh membujuk petugas di loket maskapai. Mengenakan tuksedo, celana cutbray berbahan beludru dan sepatu boot koboi—satu berwarna emas, satu lagi perak—keringat cemas Ayah bercucuran.

Iklan

"Penerbangan berikutnya ke Paris masih enam jam lagi," kata si agen pesawat sambil menyerahkan dua tiket ke Una, setelah negosiasi panjang.

"Gila, kamu sakti banget," kata Gordon pada kekasihnya. Mereka mulus melewati petugas imigrasi. Keduanya merasa lega tidak ditangkap karena satu kekeliruan bodoh, yang biasanya terjadi dalam perjalanan modal nekat. Begitu masuk ke pesawat, Gordon dan Una memesan sampanye, lalu bersulang. "Untuk Unzarella dan Gordonzolla."

Gordon segera nyeletuk, ketika pesawat belum lama mengudara. "Semua yang gratis lebih enak ya."

1486124500587-Gordon-4

Gordon Bishop dan Una

Di Paris, mereka menumpang kendaraan sampai ke Hotel Le Meurice, mengunjungi sahabat mereka, pelukis Salvador Dali. Beberapa tahun sebelumnya, mereka sempat tinggal bareng di kos-kosan dihuni banyak seniman di pinggiran Los Angeles.

"Ahh, siapa lagi kalau bukan The Man Who Plans to Eat a Car! Silakan masuk," kata Dali sembari memilin kumis tipisnya. The Man Who Plans to Eat a Car adalah judul buku kolase yang dibuat oleh Gordon untuk Dali. Buku penuh ilustrasi itu menceritakan kisah seorang maniak otomotif asal Jerman yang berencana memakan mobil. Buku tersebut tergeletak di meja tamu Dali, kertasnya berwarna kecoklatan dan lecek, tanda sering dibaca-baca. "Buku ini mahakarya yang luar biasa," kata Dali.

Tak lama kemudian, Ayah menceritakan pada Dali soal rahasia tiket pesawat curiannya.

"Pergi ke Bali saja," kata Dali dengan tegas. "Ada banyak hal yang ajaib di sana."

Iklan

Dali merobek beberapa gambar dari kertas sketsa, memberikannya ke Gordon. "Nih Buatmu."

Gordon menyimpan sketsa tersebut di koper berwarna hijau miliknya, dijepit di antara kerumunan tiket-tiket pesawat kosong.

1486124533602-Gordon-5

Buku harian Una berisikan foto-foto di Tahiti.

Tujuan Gordon dan Una selanjutnya ternyata bukan Bali, melainkan Kabul.

Awal dekade 70-an, Afghanistan baru saja memperoleh kemerdekaan—era emas untuk modernitas dan reformasi demokrasi. Perempuan diperbolehkan belajar di universitas (dan kadang mengenakan rok mini) hingga bekerja untuk Parlemen. Tak heran turis asal negara-negara Barat berhamburan mengunjungi Kabul. Mereka penasaran ingin menyaksikan "Mistisisme Negara Timur", keindahan arca-arca kuno di Bamiyan, pegunungan berselimut salju, dan kebun-kebun yang terhampar luas seantero Afghanistan.

Gordon dan Una menyambangi jalur sutra, mengunjungi gua tempat patung raksasa Buddha di Bamiyan. Mereka lantas sering bercengkrama bersama turis-turis lainnya di Hotel Sigi, terletak di Chicken Street. Gordon dan Una sehari-hari mandi di Sungai Kabul. Mereka tidur di sebuah ruangan dengan karpet besar bersama 20 atau 30 turis lainnya. Mereka berhubungan intim secara diam-diam. Kaum hippie hedonistik, manusia-manusia nyentrik, sampai turis iseng datang ke Afganistan. Sebagian dari mereka ingin mendalami spiritualisme, berpetualang, atau sekadar kabur dari kehidupan yang monoton. Tidak aneh melihat banyaknya mobil VW Combi memenuhi jalanan pada masa itu. Kabul merupakan salah satu jalur tujuan kaum hippie yang terkenal dan kerap disebut "Parisnya Asia". Banyak orang yang memiliki tiket pesawat curian berlibur ke sini. Lama-lama, banyaknya turis asing justru membuat Una khawatir.

Iklan

"Pergi saja yuk," desak Una. "Nanti kita ketauan loh."

"Santai saja," kata Gordon, "Tidak akan ketahuan."


Tonton dokumenter VICE soal film laga brutal Indonesia dekade 70-80 yang lolos dari sensor Orde Baru:


Gordon menikmati waktunya di Kabul. Dia sering lupa waktu. Dia membiarkan jenggotnya tumbuh dan berjalan dengan kaki telanjang ke mana-mana sampai dasar kakinya kapalan dan keras seperti kulit gajah. Dia mengkonsumsi halusinogen jenis mescaline dan menulis puisi memakai nama alias 'Dubjinsky Barefoot'.

Gordon sering pergi ke pasar, membeli pisau berhiaskan mutiara. Dia juga kerap menulis surat kartu pos yang tidak pernah dikirim—karena terlalu bokek untuk membeli perangko. Kadang-kadang dia bertengkar dengan Una tanpa alasan jelas. Tanpa terasa, tiga minggu berlalu di Kabul. Saatnya bagi mereka meninggalkan Afghanistan. Namun ketika menuju bandar udara, tiba-tiba tanah bergetar. Gempa bumi terjadi dan nyaris semua wilayah utara Afghanistan hancur. Seluruh penerbangan dihentikan sementara.

1486124597458-Gordon6

Una di Afganistan

Saat bandara dibuka kembali, mereka terbang ke India. Ketika sedang menginap di sebuah hotel di Ibu Kota New Delhi, telepon kamar berdering. Rupanya petugas Maskapai Qantas yang menghubungi. Suara di ujung telepon mengatakan pada Una, "Ibu, tolong datang ke kantor kami. Ada masalah dengan tiket anda."

Suara Una bergetar saat menerima panggilan itu. "Aku ingin meninggalkan New Delhi sekarang." Tenggorokannya terasa sempit.

Iklan

"Iya Ibu, tapi anda harus datang ke kantor kami dulu." Nada suara petugas meninggi dan terdengar mengancam.

"Wah kayaknya kita ketahuan nih," kata Una ke Gordon.

Mereka buru-buru merobek tiket yang tersisa, dan nekat pergi ke bandar udara. Di tengah kepanikan, Gordon mengeluarkan tiket kosong baru, memberikannya ke Una. Dia berjalan menuju loket. Di belakang meja petugas, terlihat poster bertuliskan: JANGAN TERIMA TIKET PESAWAT CURIAN YANG DITULIS ATAS NAMA QANTAS DI SAN FRANCISCO TERTANGGAL 10 MEI 1971.

Una berusaha terlihat tenang dan anggun saat menyapa penjaga loket.

"Maaf, madam," kata agen perusahaan penerbangan. "Saya tidak bisa menerbitkan tiket anda. Anda harus pergi ke kantor kami di New Delhi."

"Tolong dong pak," kata Una separuh memohon. "Ada penerbangan ke Bali sejam lagi. Ada orang penting yang harus saya temui di sana."

Wajah petugas pelan-pelan melunak. Dia memberikan dua buah tiket ke Bali.

Una dan Ayah berhasil melewati petugas keamanan. Ketika melewati bea cukai, seseorang menepuk bahu Una. Jantung Una berdebar keras. "Madam, anda lupa membawa tas anda," katanya.

Syukurlah.

Di dalam pesawat, ketika Ayah dan Una tengah merayakan kesuksesan mereka sambil minum anggur, terdengar pengumuman dari kapten kapal. "Penumpang sekalian, bersiaplah untuk mendarat. Kami terpaksa melakukan pendaratan darurat di Mumbai."

"Pesawat ini mendarat karena mereka mau menangkap kita," kata Gordon dengan yakin. Rasa optimis sudah hilang sepenuhnya.

Iklan

Mereka mulai melatih jawaban mereka apabila nanti ditanya petugas. Rute kabur sudah ada di otak mereka. Ketika roda-roda pesawat menyentuh landasan pacu Bandara Mumbai, Gordon dan Una menutup mata pasrah.

Ternyata pesawatnya cuma berhenti untuk isi ulang bahan bakar.

1486124687735-Gordon7

Foto tarian di Bali, Indonesia di 1970-an.

Berdasarkan catatan harian Ayah, ketika mereka mendarat di Bali, sedang terjadi perayaan Kuningan. Itu adalah masa arwah leluhur diyakini pemeluk Hindu Bali sedang turun dari surga.

Setiap kali ditanya orang tentang profesinya, Gordon akan menyebutkan pekerjaan aneh dengan muka serius. Misalnya: "Saya salesman keliling Merkin (wig jembut)—bisnis yang tengah naik daun." Kebanyakan orang percaya saja dengan jawaban tolol itu. Di Bali, Ayah dan Ana menghabiskan sebagian besar tiket curian mereka. Nenek sempat membantu Ayah selama petulangan gila itu dengan mengirimkan uang bulanan seadanya. Tapi Ayah sesungguhnya mendapatkan banyak uang dengan cara menipu orang di bar-bar bandar udara. Dia menjual pil "multi-bahasa" ke orang-orang, sambil mengatakan bahwa pil-pil itulah alasan dia mampu berbicara dalam banyak bahasa.

Gordon dan Una menyewa sebuah sepeda motor di Bali. Mereka juga membeli sarung tradisional. Una menyisipkan kembang sepatu merah di belakang telinga kirinya, seperti layaknya perempuan-perempuan Bali. Mereka menghadiri ritual tarian 'kerasukan' di mana para penduduk desa setempat menusuk dada mereka dengan pedang baja, namun sama sekali tidak terluka. Mereka menghadiri upacara kremasi, penjagalan, pengusiran setan, dan bermacam sesi meditasi. Selama di Bali, Gordon dan Una kerap berkelahi, tapi setelah baikan, kembali memadu kasih di dalam hutan lebat yang terletak di samping bukit, di jalan yang berliku-liku tajam, di sawah, dekat kuil leluhur ataupun pepohonan Beringin yang dianggap suci.

Iklan

Seiring perjalanan spiritual yang semakin mendalam, mereka berdua justru semakin menjauh. Una ingin tinggal di Bali, sementara Gordon mulai gelisah dan berminat mencari tujuan selanjutnya. Hasilnya mereka semakin sering berkelahi tentang hal-hal yang tidak penting. Misalnya soal gaya rambut satu sama lain.

"Cari cewek Jawa yang sabar sana," kata Una ke Gordon, dengan nada setengah sedih. "Aku bukan pacarmu lagi."

Tahun 1973, Gordon meninggalkan Una di Bali bersama pacar barunya—lelaki asli Bali. Dia mengambil peta, lalu membiarkan jari tangan memutuskan tujuan berikutnya: Daerah Istimewa Yogyakarta di sisi selatan Pulau Jawa.

1486124720822-Gordon8

Gordon 'Joyo' Bishop, alias Dubjinksy Barefoot

Tahun 1974, Gordon menyaksikan parade hari kemerdekaan Indonesia di Yogyakarta. Dia dikelilingi ribuan penduduk yang menatapnya terheran-heran. Tak banyak turis Barat menyambangi Yogyakarta pada masa itu. Mereka penasaran dengan kulitnya yang putih dan kaget melihat Gordon makan sate ayam menggunakan tangan kiri.

Gordon mendapat banyak pengalaman baru di Yogyakarta. Bertemu kelompok penari tradisional, mendengar musik Gamelan yang menggetarkan—terutama bunyi Gong yang spiritual—menyaksikan kuda-kuda delman yang kurus, serta pria-pria setempat yang santai tidur di becak mereka di pinggir jalan. Para remaja menyanyikan lagu Bob Dylan saat Raja Jogja diarak dalam kereta kencana bersepuh emas. Rakyat berseru, "Merdeka!" "Merdeka!"

Di tengah keriuhan parade kemerdekaan itulah, terdengar suara gelak tawa yang menggelitik. Gordon lantas menyaksikan sosok seorang perempuan mengenakan gincu berwarna merah dan gaun mini ketat—sebuah pemandangan terlalu modern dan ganjil di tengah kultur Jawa masa itu. Padahal banyak perempuan Yogyakarta pada era 70-an secara sadar menolak pengaruh kultur negara Barat dengan cara mengenakan pakaian tradisional seperti sarung batik dan blus berenda-renda.

Iklan

Bunga anggrek ungu tertanam di rambut perempuan yang mencuri perhatiannya itu. Tulang pipinya yang tinggi membuat perempuan tersebut nampak kuat. Hal ini mengintimidasi sekaligus membuat Gordon bergairah. Perempuan tersebut bergandengan dengan seorang perempuan lain yang tengah menggendong bayinya menggunakan kain batik.
Mereka berjalan mendekati satu sama lain terpaut beberapa sentimeter sebelum akhirnya, saling pandang. Keringat bercucuran dari alis Gordon, tangannya gemetar. Perempuan tersebut mengalihkan pandangannya ke Gordon dan mata mereka saling bertautan. Dia tersipu malu, tapi tidak membuang tatapan matanya. Gordon yang tidak pernah malu-malu terdiam beberapa saat. Mereka saling menggoda menggunakan tatapan mata. Semua kalimat-kalimat gombal yang pernah dia gunakan muncul di kepalanya, tapi tidak ada yang terasa pas, apalagi bahasa Indonesianya saat itu jauh dari fasih. Ketika hendak memperkenalkan diri, lidahnya kelu dan tidak ada kata-kata yang bisa keluar. Saking malunya, Gordon malah pergi untuk membeli rokok dari warung terdekat. Ketika melihat si perempuan hendak meninggalkan lokasi pawai, dia berjalan cepat menuju si gadis idaman. Sayang, gadis yang menyita perhatian Gordon itu terlanjur menghilang di tengah kerumunan.

Selama 34 hari setelah parade tersebut, Gordon menunggu setiap hari di atap istana Taman Sari menggunakan teropong, berusaha menemukan perempuan tersebut. Teman sekamar Gordon, Jono, mengatakan bahwa dia pernah melihat perempuan dengan ciri-ciri tersebut di sekitar Taman Sari.

Iklan

Kabar seputar lelaki berkulit putih nongkrong di menara Taman Sari untuk mencari jodoh segera tersebar ke seantero Yogyakarta. Banyak anak-anak kecil setempat yang penasaran menemani Gordon mencari wanita pujaannya. Banyak yang datang yang menawarkan dirinya ramuan cinta ajaib, mulai dari darah kadal sampai jahe cacah. Gordon menenggak ramuan-ramuan ini dengan senang hati dan penuh harapan. Beberapa kali Gordon terkecoh dan mengenjot sepedanya kencang-kencang ke arah perempuan yang dituju, kemudian sadar perempuan yang dia datangi ternyata sosok berbeda.

1486124759450-Gordon9

Nanies Bishop, Ibu penulis

Tahun 1975 menandai dua tahun Ayah tinggal di Yogyakarta, atau empat tahun sejak petualangannya dimulai dengan Una berbekal tiket bodong. Suatu sore ketika matahari terbenam, ayahku itu berjalan santai sembari menundukkan kepala. Pikirannya tertuju pada tawaran kembali ke Kota New York. Orang tua mengiming-iminginya agar pulang. Mereka bersedia membayar biaya perjalanan pulang sejauh 16 ribu kilometer. Bokek dan kesepian, Gordon mulai mempertimbangkan tawaran ayah dan ibunya.

Di tengah lamunan, Gordon mendongakkan kepalanya. Dia melihat sosok perempuan yang sejak lama dia nanti-nanti. Gordon menyambar teropongnya. Terlihat sosok perempuan—sahabat gadis idamannya—tengah menggendong bayi yang sama. Dia langsung tergopoh-gopoh menaiki anak tangga. Sang perempuan terkejut kemudian tersenyum.

"Sampeyan bule dari parade Merdeka kemarin," kata perempuan tersebut.

Iklan

Gordon kaget si perempuan mengingat dirinya. Dia jadi lebih percaya diri.

"Kirain sampeyan waktu itu lagi lewat saja, kan kebanyakan bule gitu," katanya.

"Tolong," kata Gordon. "Kasih saya alamat temanmu." "Tidak mau ah," kata si perempuan. Tapi, nyatanya si perempuan mengambil sebuah pensil dan menulis di atas kertas struk berwarna pink. "Nih."

Dia menulis NANIES.

"Kalau kamu memang serius, kamu akan menemukannya."

Gordon merasa tertantang. Dia benar-benar mendatangi Nanies. Tanpa pikir panjang melamarnya.

1486124797879-Gordon-10

Nanies dan Gordon saat pesta pernikahan mereka di Yogyakarta, Indonesia.

Tanggal baik pernikahan Gordon dan Nanies disesuaikan dengan kepercayaan adat Jawa. Aku merasakan sejak lama, semacam pertanda, bahwa Ayah akan meninggal pas di hari ulang tahun pernikahan orang tuaku yang ke-32.

1486124875080-Gordon

Una mendengar kabar pernikahan Gordon, lantas segera terbang dari Bali ke Yogyakarta, untuk menghentikan pernikahan tersebut. Ketika Gordon melihat sosok Una, perempuan tinggi berambut pirang mengenakan gaun musim panas berwarna lemon, kenangan masa lalu merasuk kembali. Namun ketika Una bertemu calon istri Gordon—perempuan berdarah biru dan penari keraton Yogya—dia menyerah. Dia menyaksikan kecantikan Nanies yang memukau—tipe kecantikan langka yang membuat seorang perempuan ingin terlihat sepertinya. Una melihat bagaimana Gordon menjaga Nanies seperti harta karun. Gordon sudah bertambah dewasa. Dia bahkan sudah memotong pendek rambutnya.

"Nanies menyentuh jiwaku yang paling dalam," kata Gordon pada Una. "Dia menyeimbangkan jiwaku dan membuatku selalu bahagia. Dia mengubah semua sifat buruk dariku menjadi berharga." Melihat Nanies dan Una duduk bersama dalam satu ruangan merupakan pengalaman luar biasa buat Gordon: dua belahan hatinya berdampingan dengan damai.

Iklan

Nanies, dengan aura Jawanya yang damai merupakan pasangan pas untuk Gordon yang kerap temperamental. Una mendoakan mantan pacarnya agar selamanya berbahagia. Peristiwa ini juga menjadi isyarat bagi Una untuk meninggalkan Indonesia, untuk menutup bab kehidupannya. Dia lantas pulang ke rumahnya di Paris. Bayangan dirinya dan Gordon bergandengan tangan di menyelusuri Laut Merah sempat terbesit di pikiran Una. Sudah tidak ada lagi Unzarella. Tidak ada lagi Gordonzolla. Una resmi keluar dari kehidupan Gordon.

1486124919304-Gordon11

Nanies dan Gordon Bishop

Namun Una tidak pernah benar-benar pergi. Ketika aku masih remaja—tanpa Ibu—Ayah menerbangkanku untuk bertemu Una dua kali setahun. Dia ingin aku merasakan kasih sayang seorang Ibu. Dia mengatakan bahwa Una adalah hadiahnya untukku. Tanpa Una, aku memang tidak akan lahir. Aku mengunjungi Una di rumahnya di Ibiza pada 2007, enam bulan setelah Ayah meninggal.

"Saya ingin memberimu sesuatu," kataku pada Una sembari merogoh ke dalam koper hijau pucat milik Ayah. "Ini adalah abu kremasi Ayah. Saya ingin kamu menyimpan sebagian abunya."

Sebelum aku berkata apa-apa lagi, Una langsung menjulurkan tangannya dan mencelupkan jarinya ke dalam abu tersebut. Dia mengangkat jari lantas menjilat abu tersebut.

"Sekarang Gordon ada di dalam tubuhku. Dia tidak akan meninggalkanku," kata Una.

Aku tertawa. "Kanker merenggut matanya, dadanya dan kaki ayahku. Tapi dia, dalam wujud abu, tetap terbang jauh-jauh kesini. Kamu adalah tujuan terakhirnya."

"Gordon sangat terpesona dengan Ibumu," katanya. "Takdir kadang-kadang memang kejam."

Kami berdua makan paella dan melongok ke luar jendela menyaksikan Laut Mediterania bergejolak di bawah langit malam hari.

"Aku tidak bisa merasakan makanan. Aku hanya bisa merasakan Gordon," kata Una. "Dia tidak mau meninggalkanku."

Sekarang Gordon tidak perlu meninggalkan siapapun. Abunya tersebar di 39 negara—dan akan bertambah—di tengah-tengah orang dan tempat yang dia sayangi. Bahkan kematian tidak bisa menghentikannya berpetualang mengelilingi dunia.


*Catatan tambahan redaksi VICE Indonesia:

Gordon 'Joyo' Bishop tinggal di Jawa Tengah setelah menikahi Nanies. Istri tercintanya meninggal akibat kecelakaan lalu lintas pada 1993. Gordon, yang berteman dengan banyak aktivis pro-demokrasi di Indonesia, meyakini insiden menewaskan istirnya itu didalangi aparat Orde Baru. Joyo, demikian julukan Gordon, pada 1996 lantas mendalami komputer dan Internet. Berbekal komputer itu dia menyebar berbagai informasi tentang Indonesia, terutama yang tidak mungkin muncul di media massa yang diawasi ketat oleh Departemen Penerangan. Informasi dari situs Joyo, yang kemudian diberi nama Joyo Indonesia News, menjadi kanal informasi alternatif bagi pembaca luar negeri maupun aktivis anti-Suharto era 90-an. Gordon mengambil nama Joyo dari Joyoboyo, penyair sekaligus peramal kenamaan Kerajaan Kediri. Jaringan informasi Joyo News memasok lebih dari 80 ribu berita seputar Indonesia kepada ribuan orang yang berlangganan secara cuma-cuma. Ketika kesehatannya menurun, Joyo meninggalkan Indonesia, pulang ke Kota New York. Dia tinggal di sana sampai akhir hayatnya.

Cerita ini dicuplik dari memoar Naomi Melati Bishop.

Follow Naomi di Instagram.