Kesetaraan

Aktivis Afghanistan Melawan Tradisi Perkawinan Anak dengan Lagu Rap

Hampir menjadi korban perkawinan anak, Sonita Alizadeh menciptakan lagu untuk memprotes praktik ini.
Sonita Alizadeh
Foto oleh Josh Separzadeh

Artikel ini pertama kali tayang di VICE US pada Mei 2017.

Kalian juga bisa membaca artikel ini di Majalah VICE edisi Restless Youth.

Perang, kemiskinan, dan segregasi adalah tiga hal yang diketahui Sonita Alizadeh sampai dia berusia 16. Dia tumbuh besar di bawah kepemimpinan Taliban. Keluarganya melarikan diri dari ke Iran ketika Sonita masih 8 tahun. Dia tidak bisa mendapat pendidikan formal karena tidak punya klaim suaka. Akhirnya, Sonita menimba ilmu di sebuah LSM yang berdedikasi mendidik para pengungsi. Di sana, dia menyambi sebagai tukang bersih-bersih kamar mandi. Sonita suka mendengarkan lagu rap di waktu luangnya. Dari situ, dia mengembangkan ketertarikan pada potensi revolusioner dari lagu-lagu protes.

Iklan

Hidupnya berubah drastis saat sang ibu mengumumkan akan menjual Sonita ke keluarga Afghanistan. Mereka membutuhkan $9.000 (Rp125 juta) untuk membeli mas kawin yang diperlukan saudara laki-lakinya. Di Afghanistan, batas usia untuk menikah bagi perempuan yaitu 16 tahun. Akan tetapi, mereka sudah bisa menikah sejak usia 15 apabila mendapat restu dari sang ayah.

Dihadapkan dengan keputusan keluarga yang bisa mengakhiri masa depannya, Sonita menulis lagu rap “Daughters for Sale” untuk mengecam tradisi kuno yang mendukung pernikahan paksa. Berkat bantuan Ghaem Maghami, dia merilis video klip dan terbebas dari kungkungan perkawinan anak. Sutradara film dokumenter asal Iran itu memberikan uang dengan syarat pernikahan Sonita dibatalkan. Mendengar kisahnya, organisasi nirlaba The Strongheart Group memberikan Sonita beasiswa di Wasatch Academy, Utah.

Saya mewawancarai Sonita ketika dia berusia 20. Dia menceritakan betapa musik benar-benar menyelamatkan hidupnya, dan berharap musiknya juga bisa menjadi penyelamat hidup orang lain.

VICE: Saat kamu mulai mendengarkan lagu rap, apakah kamu langsung terpikir jenis musik ini dapat dimanfaatkan untuk memelopori perubahan?
Sonita Alizadeh: Saya tertarik dengan pengaruh musik rap dalam perubahan sosial. Genre ini menguatkan pentingnya masalah yang dihadapi penyanyi. Sangat efektif untuk menceritakan kisahku dan meningkatkan kesadaran publik.

Apakah kamu sudah aktif secara sosial sebelum mulai nge-rap?
Saya merasa harus bersuara menentang ketidakadilan di masyarakat. Awalnya saya berpartisipasi dalam drama teater tentang pekerja anak. Saya mulai menulis puisi dan menjadikannya lagu rap ketika memperhatikan wajah teman-teman perempuanku penuh luka lebam karena menolak dijual untuk dinikahkan.

Iklan

Kamu mungkin sudah dikawinkan secara paksa jika tidak menciptakan “Daughters for Sale”. Menurutmu, seberapa besar dampak dari lagu ini?
Karya dan kisahku telah menginspirasi teman-teman di tanah air untuk membela diri dan melawan pernikahan paksa. Sayangnya, sebagian besar orang yang saya kenal sudah menikah dan punya anak ketika saya tiba di AS. Kalau dilihat dari sisi baiknya, mereka tergerak mengubah jalan hidup putri mereka menjadi lebih baik dan mengajarkan putra mereka tentang kesengsaraan perkawinan anak. Orang-orang di seluruh dunia bilang laguku telah memengaruhi kehidupan mereka. Selain itu, mereka juga terinspirasi untuk menciptakan perubahan di masyarakat.

Para perempuan yang ingin mengakhiri perkawinan anak cenderung menerima tekanan. Apa saranmu untuk mereka?
Risikonya memang tinggi bagi perempuan yang menentang status quo, apalagi jika mereka berada di tengah masyarakat konservatif. Tapi, menyerah sama sekali bukan solusi tepat. Justru para perempuan inilah yang mampu memicu perubahan nyata. Lawan mungkin akan mengintimidasi, tapi mereka tidak bisa membungkam suara kita. Sudah menjadi tugas kita untuk mengaspirasikan suara mereka yang tertindas. Saran saya, jangan pernah menyerah memperjuangkan mimpi dan harapan perempuan-perempuan ini.

Perkawinan anak masih membelenggu perempuan di seluruh dunia. Seperti apa aktivisme kamu dewasa ini, dan apa yang kamu pelajari dari kehidupan barumu di Amerika?
Saat saya baru pindah ke AS, sebagian besar teman sekelasku tidak memahami prevalensi perkawinan anak secara global. Saya berdedikasi mengakhiri praktik ini, tapi saya tidak mengontekstualisasikannya dengan benar. Saya bisa menggali lebih banyak informasi sekarang. Saya mempelajari akar masalahnya di tingkat lokal dan nasional. Saya menceritakan kisahku kepada pakar dan pemimpin, menekankan kondisi ekonomi dan sosial yang mendukung perkawinan anak, dan membongkar narasi keliru hidup perempuan akan lebih baik jika dinikahkan dini. Saya bekerja sama dengan Strongheart Group dan organisasi seperti Girls Not Brides untuk mendesak perubahan kebijakan dan perilaku, dengan fokus pada pendidikan.

Bisakah kamu memajukan kehidupan perempuan tanpa mengubah nilai dan norma masyarakat?
Kemajuan sosial tidak dapat dipaksakan, sehingga harus disalurkan melalui masyarakat sipil. Perkawinan anak disebabkan oleh kemiskinan, kurangnya pendidikan, dan tidak adanya keamanan. Kita perlu mendidik semua orang, mulai dari kelompok yang rentan, tidak memahami risiko perkawinan anak, hingga para pemimpin yang dapat memperbaikinya. Perubahan takkan bisa terwujud tanpa melibatkan keluarga di tingkat akar rumput.

Apa rencanamu setelah lulus?
Saya ingin kuliah, menciptakan musik, dan terus menjadi aktivis. Saya tengah menulis lagu baru tentang mempersatukan Afghanistan. Saya ingin meyakinkan anak muda kalau mereka punya masa depan cerah. Selain itu, saya tertarik membuat tantangan rap global untuk mempersatukan anak muda dari seluruh dunia. Mereka akan ditantang menulis lagu yang tujuannya mengakhiri perkawinan anak.