FYI.

This story is over 5 years old.

#NamaBaikKampus

Nama Baik Kampus: Dosen Mesum Sulit Dipecat, Tak Ada Sistem Pelaporan Korban Kekerasan Seksual

Kasus dosen mesum terungkap di Undip dan UGM. Penelusuran VICE, Tirto, dan Jakpost menunjukkan tak ada regulasi soal penanganan kekerasan seksual. Kemristek Dikti dan kampus negeri kadang terbelenggu aturan ASN.
Aksi mahasiswa UGM mendukung korban pelecehan seksual Agni
Aksi mahasiswa UGM mendukung Agni. Foto dari arsip BPPM Balairung.

Dias, alumnus Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Diponegoro, segera teringat pengalaman buruknya sendiri setelah membaca laporan skandal kekerasan seksual di Universitas Gadjah Mada tahun lalu. Dias pernah mendapat pelecehan dari dosen yang untuk kepentingan artikel ini disebut Kodir.

Dias yang saat itu sudah hampir menyelesaikan skripsi, bertemu Kodir dan ditawari bimbingan ulang. Saat bimbingan paha, tangan, dan punggung Dias diraba sang dosen. Tindakan Kodir membuatnya kaget. Dias berontak saat dosen tersebut berusaha menciumnya. Dias mengaku pernah mengadu ke kepala program studi soal perilaku sang dosen, tapi tak ada tindakan riil diambil oleh kampus.

Iklan

Tirto.id yang menelusuri laporan tersebut untuk kolaborasi #NamaBaikKampus bersama VICE Indonesia dan the Jakarta Post, menemukan fakta bila laporan terhadap dosen Kodir tidak hanya berasal dari Dias. Ada beberapa mahasiswa lainnya yang mengalami hal serupa. Hingga lulus, Dias gagal mendapatkan rasa aman yang mestinya bisa kampus pastikan, begitu pula adik-adik angkatan Dias yang ternyata mengalami hal serupa dari sosok dosen yang sama.

Saat dikonfirmasi oleh Tirto.id, Dekan Fakultas Ilmu Budaya Undip Nurhayati menyatakan melalui pesan singkat WhatsApp, bahwa dugaan pelecehan oleh Kodir sudah selesai. Ia menolak memberi komentar dengan alasan kasus Dias terjadi pada 2016.

Saat Tirto bertanya adakah mekanisme laporan pelecehan seksual di internal kampus, Nurhayati tidak bersedia menjelaskan rinci. "Evaluasi kinerja dosen dilakukan melalui alat kode etik dosen dan ASN [Aparatur Sipil Negara]. Apabila ada pelanggaran, penanganannya sesuai dengan kode etik."

Keterangan serupa disampaikan oleh salah satu Kepala Program Studi Fakultas Ilmu Budaya Undip, yang meminta tak ditulis namanya. "Belum ada kasus-kasus [pelecehan seksual] seperti itu yang [pelakunya] sampai dipecat. [Pemecatan] itu urusan negara."

Topik kekerasan seksual di kampus baru benar-benar memicu perbincangan publik setelah terkuak skandal yang dialami mahasiswi peserta kuliah kerja nyata (KKN) periode Juni 2017 Universitas Gadjah Mada di Maluku.

Iklan

Di banyak grup WhatsApp peserta KKN, beredar desas-desus ada mahasiswi yang dilecehkan. Badan Penerbitan Pers Mahasiswa UGM, Balairung, menelusuri desas-desus kekerasan seksual saat KKN. Tim redaksi menemukan fakta bila kasus kekerasan seksual itu benar terjadi pada mahasiswi yang disamarkan namanya menjadi Agni. Pelakunya sesama mahasiswa peserta KKN lainnya yang populer dengan inisal HS. Balairung kemudian menerbitkan laporan yang memicu debat dan perbincangan nasional pada 5 November 2018, dengan judul Nalar Pincang UGM atas Kasus Perkosaan.

Simpati bermunculan di medsos, aksi mahasiswa digelar. Namun, di mata jurnalis yang pertama kali menulis laporan tersebut, respons paling menyedihkan datang dari rektorat.

"Kalau yang percaya dan berpihak pada Agni banyak sebenarnya, sayangnya mereka enggak ada di tataran pembuat kebijakan,” kata Citra Maudy, jurnalis Balairung penulis laporan tersebut kepada VICE. "[Sedangkan] para pengambil keputusan mengakui ini pelecehan seksual saja tuh kayaknya belum."

Agni dan Dias sempat ragu melaporkan pelecehan serta kekerasan seksual yang mereka alami ke petinggi kampus. Alasannya mirip: mereka tidak yakin ada mekanisme pengananan kasus yang jelas seandainya mereka melapor ke kampus. Pilihan melapor ke polisi ternyata juga tidak menerbitkan rasa aman bagi penyintas.

Survei daring yang dilakukan Lentera Sintas Indonesia menunjukkan 93 persen korban pelecehan seksual di Indonesia enggan melaporkan kasusnya ke polisi. Mereka beralasan takut disalahkan, takut tidak didukung keluarga, dan merasa ada ancaman atau intimidasi.

Iklan

Lemahnya penanganan laporan mahasiswa atas perilaku dosen juga terjadi di Fakultas Ilmu Sosial Politik, UGM, setahun sebelum kasus Agni. Kasus dosen berinsial EH, yang diduga terlibat pelecehan seksual dan sempat ditulis The Jakarta Post pada 2016, ternyata tak terselesaikan. EH masih berada di kampus, walaupun telah menerima sanksi dilarang mengajar.

EH sempat diminta melakoni pendampingan wajib di Rifka Annisa Women Crisis’s Center. Dia juga dilarang membimbing skripsi. Setelah kasus Agni mencuat, Fisipol meminta EH mengajukan surat pengunduran diri.

Dari laporan the Jakarta Post, hingga 25 Februari 2019, EH masih terlihat di kampus. Nur Rachmat Yuliantoro, Ketua Departemen Hubungan Internasional Fisipol UGM, membenarkan kabar bila EH masih di kampus walau statusnya dilarang mengajar.

"Rumit juga karena secara status EH kan PNS, masih menunggu bagaimana universitas bersikap dalam hal ini," kata Rachmat kepada The Jakarta Post untuk Kolaborasi #NamaBaikKampus.

Komisi Nasional Perempuan menyebutkan data kasus pelecehan seksual di lingkungan pendidikan, termasuk kampus, amat minim. Sepanjang 2018, lembaga ini mencatat ada 406.178 laporan kasus kekerasan seksual, meningkat 14 persen dari tahun sebelumnya. Sayangnya, data itu secara makro hanya memisahkan kejadian di ruang publik dan privat. Data yang mereka punya sekarang belum menggambarkan sebaran persoalan yang sebenarnya di tingkat kampus.

Iklan

"Jika jumlahnya relatif kecil itu adalah fenomena gunung es. Karena memang bukan kejadiannya kecil, tapi karena banyak yang menyembunyikan," kata Budi Wahyuni selaku Komisioner Komnas Perempuan kepada VICE. "Setidaknya sudah ada [data awal] sebagai gambaran minimal."

Untuk mengetahui respons pemerintah soal kasus Agni di UGM—ditambah pengakuan Dias—VICE menemui Ismunandar, Direktur Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan, Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi.

Ismunandar menjelaskan sistem pendidikan tinggi yang dianut Indonesia bersifat otonom. Artinya, penyelesaian persoalan kemahasiswaan, termasuk kekerasan seksual, merujuk pada statuta kampus masing-masing, yang di dalamnya berisi kode etik seluruh sivitas akademika.

Ismunandar yang dilantik pada akhir November 2019, tak lama usai berita Balairung terkait kasus Agni mencuat, mengakui Kemristekdikti belum memiliki aturan khusus menangani laporan kekerasan seksual yang terjadi di kampus. Dikti, menurutnya, baru akan mengintervensi sebuah kasus jika dianggap mendesak.

"Diharapkan kan karena memang ini institusi pendidikan dalam kaitan dengan disiplin di dalam institusi pendidikannya, kita harapkan perguruan tinggi menyelesaikannya,” ujar Ismunandar kepada VICE. "Tapi kalau dalam hal tertentu di mana ‘oh dipandang kita perlu [intervensi]’ bisa saja. Kita lihat kasusnya."

"Tentu saja kita sayangkan, yah kejadian seperti [di UGM] terjadi. Tapi sebagaimana kehidupan, kadang-kadang ada masalah. Yang tentu yang kita harapkan adalah penyelesaian yang terbaik dari kampus."

Iklan

Dikti melempar bola panas pada masing-masing perguruan tinggi saat berurusan dengan masalah kekerasan seksual, yang melibatkan dosen, mahasiswa, ataupun pekerja di kampus. Faktanya, mekanisme pelaporan jelas dari masing-masing kampus belum tersedia, setidaknya mengacu pada keputusan kampus negeri seperti UGM dan Undip.

Di Undip saja, merujuk keterangan Nurhayati, tidak ada aturan spesifik di lingkungan akademik spesifik menyebut “pelecehan seksual” atau "kekerasan seksual" sebagai pelanggaran serius. Alhasil kampus hanya bisa merujuk pada aturan-aturan etika dosen bila akhirnya akan menjatuhkan sanksi.

Kekosongan aturan ini tak bisa terus dilempar Kemristek Dikti ke tiap universitas. Pemerintah pusat wajib mendorongnya. "Universitas harus menjamin keamanan mahasiswa dan mahasiswinya yang datang," kata Nadia Karima Melati kepada VICE, selaku pegiat organisasi pendamping korban pelecehan seksual di Universitas Indonesia. Terlebih pemerintah pusat, menurut Nadia, punya posisi tawar lebih untuk mendorong perbaikan di kampus-kampus. "Syarat akreditasi harusnya adalah kampus juga memberikan mekanisme dan dorongan untuk pencegahan kekerasan seksual," ujarnya.

Dari analisis Nadia, ada tiga faktor yang membuat kasus pelecehan dan kekerasan seksual di lingkungan kampus terus terjadi. "Di pihak kampus itu tidak ada posko untuk melapor. Kedua, tidak ada sanksi sehingga, kalau gue ngelapor, terus apa? Dan ketiga, enggak ada pendokumentasian." Selama tak ada data, menurut Nadia, pihak universitas akan punya ruang berkilah. "'Enggak kok, kampus kami baik-baik saja. Kampus kami bebas dari pelecehan seksual'."

Karena itu pula, beberapa penyintas—termasuk Agni—terpaksa memilih opsi “damai”, yang seringkali dituntaskan lewat mekanisme tertutup.


Laporan ini adalah bagian dari seri laporan mendalam #NamaBaikKampus. Seri liputan ini proyek kolaborasi Tirto.id, the Jakarta Post, dan VICE Indonesia terkait berbagai dugaan kekerasan dan pelecehan seksual di perguruan tinggi di Tanah Air.

Jika kamu pernah mengalami kekerasan seksual dan berkenan berbagi cerita, silakan isi testimoni lewat tautan ini.