Upaya Penggembosan Mengintai Aliansi Buruh-Mahasiswa Penolak Omnibus Law UU Cipta Kerja
Mahasiswa dari berbagai kampus kembali menggelar aksi menolak UU Cipta Kerja di Silang Monas, Jakarta Pusat, pada 20 Oktober 2020. Foto oleh Bay Ismoyo/AFP
Kontroversi UU Cipta Kerja

Ancaman 'Politik Pecah Belah' Mengintai Aliansi Buruh-Mahasiswa Penolak Omnibus Law

Sebagian organisasi buruh dan mahasiswa berkukuh memilih strategi unjuk rasa, mengabaikan uji materi di MK. Tersebar rumor 'politik belah bambu' oleh pemerintah. Bisakah energi aliansi ini terus dijaga?

Sinar matahari sedang kuat-kuatnya menyengat jalanan, saat sepuluh laki-laki bergerak mendekati kawasan Patung Arjuna Wijaya, atau biasa dijuluki monumen Patung Kuda, Jakarta Pusat. Satu orang bertindak sebagai pemimpin mengenalkan diri lewat megafon, saat jarum jam menunjukkan pukul 12.45 WIB.

“Kami adalah Gerakan Soekarno Muda,” teriaknya, yang segera menarik perhatian wartawan yang duduk-duduk di sekitar Patung Kuda siang itu, menantikan momen unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja di tengah peringatan satu tahun pelantikan Presiden Joko Widodo dan Wapres Ma’ruf Amin.

Iklan

“Kami menyampaikan mosi tidak percaya kepada pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin.”

Setelah berorasi, massa Gerakan Soekarno Muda membakar ban secara simbolis, memprotes UU Cipta Kerja. Aksi mereka diabaikan oleh rombongan demonstran lain, lebih dari 300 orang, yang dalam momen bersamaan menyemut di sekitar Patung Kuda. Barisan yang lebih besar ini merupakan Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI). Semakin sore, peserta aksi yang datang menyusul mencapai ribuan orang, dari beragam organisasi.

Massa BEM SI dan Gerakan Soekarno Muda tidak membaur selama berada di lokasi unjuk rasa. Selain itu, ketika buruh datang, lokasi demonstrasi terpecah menjadi beberapa titik, terutama di silang Monas serta depan kantor Indosat.

Seorang orator yang memakai jaket almamater kampus di ibu kota mengambil mikrofon, meminta teman-temannya berbaris. Ia mengingatkan agar rekan-rekannya selalu waspada terhadap penyusup. Demonstrasi Selasa (20/10) lalu bukan pertama kalinya BEM SI mengingatkan peserta dari elemen mahasiswa mengantisipasi sosok asing, yang diduga memiliki kepentingan selain menuntut pencabutan UU Cipta Kerja lewat unjuk rasa damai.

WhatsApp Image 2020-10-20 at 13.17.52.jpeg

Massa mahasiswa mulai berkumpul di sekitar patung kuda selepas jam 12.30 WIB. Foto oleh Rosa Folia/VICE

Pemagaran macam ini sudah dirintis sejak aksi pada Jumat (16/10) pekan lalu. Kala itu BEM SI hanya mengizinkan mahasiswa dengan jas almamater masuk dalam barisan. Para orator bergantian menginstruksikan peserta yang berdiri di sisi terluar membentuk pagar, sehingga mempertegas asal peserta yang baru datang.

Iklan

Di media sosial, BEM SI dituding mulai bersikap eksklusif dan tidak bersolidaritas dengan gerakan sipil lain yang hendak menyukseskan aksi menolak UU Cipta Kerja. Persepsi negatif macam ini disadari beberapa orator mahasiswa yang berdiskusi di samping mobil pengeras suara. Mereka lalu menegaskan BEM SI dan Gerakan Soekarno Muda memiliki tujuan yang sama. “Jangan sampai ada konflik horizontal di antara kita,” ujar seorang koordinator kepada massa.

Tudingan mahasiswa ogah membaur dengan elemen demonstrasi lain ditepis Koordinator Pusat Aliansi BEM SI Remy Hastian. “Ini hanya dinamika di lapangan saja,” kata dia kepada VICE, lewat pesan WhatsApp. “Dalam konsolidasi dan teklap [teknis lapangan] enggak ada pengkhususan memakai almet [almamater] saja.”

Dua mahasiswa di lokasi aksi, yang menolak menyebutkan nama atas alasan privasi dan menghindari pemantauan aparat, mengatakan pada VICE keputusan BEM SI mewajibkan mahasiswa memakai almamater sekadar strategi mengamankan situasi lapangan. Mahasiwa enggan kembali dituduh ditunggangi kepentingan politik tertentu.

Terbukti demonstrasi yang terjadi di sekitar kawasan Patung Kuda pada 20 Oktober berlangsung damai, meski massa yang lebih dari 2.000 orang kemarin dihalangi aksesnya berunjuk rasa dekat Istana Negara.

Sempat terjadi insiden pelemparan petasan ke polisi oleh sejumlah pemuda, serta beberapa provokasi lain dilakukan segelintir orang yang sejak awal tak berada di barisan mahasiswa, namun kondisi tidak sampai rusuh. Ini semua belum termasuk penangkapan peserta aksi di bawah umur dilakukan polisi tanpa seragam, yang berusaha membaur dengan massa.

Iklan

Tuduhan terhadap ketulusan peserta aksi sempat dilayangkan secara terbuka oleh Menko Perekonomian Airlangga Hartarto. Menteri mewakili Partai Golkar itu mengklaim aksi para buruh dari sejumlah serikat pekerja telah disusupi aktor-aktor yang ingin menggoyang stabilitas politik Indonesia, memakai kedok omnibus law. Dia tak pernah merinci siapa sosok yang dimaksud.

“Jadi, kita tahu siapa yang menggerakkan. Kita tahu siapa sponsornya. Kita tahu siapa yang membiayainya,” kata Airlangga dalam wawancara dengan CNBC Indonesia. Pejabat lain yang mengeluarkan tudingan serupa adalah Menkopolhukam Mahfud MD.

“Dari pernyataan intelijen, kita sudah punya siapa ketemu siapa, ngomong apa, di mana, itu semua ada,” klaim mantan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) kepada Mata Najwa minggu lalu.

Tiga pekan setelah Omnibus Law secara sepihak diloloskan jadi undang-undang oleh DPR, penolakan lewat demokrasi jalanan masih kencang. Namun, fragmentasi mulai muncul. VICE mengamati ada tujuh panggung orasi berbeda di sekitar kawasan Patung Kuda, pada 20 Oktober, meski semuanya menyebar pesan yang sama menolak Omnibus Law.

Selain mahasiswa, dalam aksi tempo hari di kawasan Patung Kuda juga datang Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI), yang menuntut agar Presiden Joko Widodo mencabut undang-undang kontroversial tersebut. Pada hari yang sama, ratusan pekerja dari serikat berbeda melakukan demonstrasi di area Tugu Tani, Jakarta Pusat.

Iklan

Dibanding unjuk rasa nasional 8 Oktober yang berujung kericuhan di beberapa titik selepas maghrib, massa aksi kali ini jauh lebih disiplin. Nyaris semua massa membubarkan diri setelah lewat pukul 18.00 WIB.

Menurut salah satu peserta aksi, pulang sebelum malam adalah cara mereka menghindari tudingan memicu kerusuhan, yang seringkali dilakukan sosok misterius ketika matahari sudah tergelincir di ufuk barat. Namun saat aksi di Jakarta berjalan lancar dan relatif tanpa konflik, situasi mencekam terjadi dalam aksi serupa provinsi lain.

Massa di Jambi, yang turut menggelar demo pada 20 Oktober, menjadi sasaran tembakan gas air mata oleh polisi. Warga yang turut jadi korban serangan aparat merasa tidak terima, lalu memprotes kepolisian. Di Surabaya, di hari yang sama, sebanyak 167 orang ditangkap karena dituduh berbuat ricuh saat menolak omnibus law.

Sebagian peserta aksi mengakui motor aksi berbeda-beda bakal mendatangkan tantangan tersendiri, terutama bagi kubu yang memakai strategi demonstrasi menolak pengesahan UU Cipta Kerja.

Rahmat, seorang aktivis serikat pekerja yang menyembunyikan identitas asli karena alasan keamanan, saat dihubungi VICE mengakui fragmentasi mulai jadi pembahasan internal dari pihaknya. Sejauh ini dia yakin pesan yang sampai ke pemerintah maupun masyarakat masih sama, yaitu ada kelompok gigih menuntut UU Cipta Kerja dibatalkan.

Challenge-nya kan di sini. Fragmentasi-fragmentasi ini, gimana caranya supaya di situasi kayak gitu [di lapangan], tetap membuat kampanye ini [menolak UU Cipta Kerja] meluas dan dirasakan mendalam oleh publik,” ucapnya. “Pandanganku sih as long as mereka menolak Omnibus Law, ya enggak apa-apa dengan cara masing-masing.”

Iklan

Perpecahan yang sudah terasa saat ini lebih terkait strategi melawan di masa mendatang. Sebagian serikat buruh berkukuh akan terus menggelar aksi, seperti BEM SI. Sementara beberapa lainnya akan menempuh uji materi di Mahkamah Konstitusi.

Lewat rilis pers yang diterima VICE, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menempuh jalur ketiga: menyatakan permohonan legislative review (uji ulang legislasi) kepada DPR RI. Organisasi tersebut juga mengumumkan bakal melakukan aksi di depan parlemen pada bulan depan.

Selama ini, tiga serikat yang jadi motor utama penolakan omnibus law adalah KSPI, Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI), dan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI). Ketiganya tidak terpantau hadir secara resmi dalam unjuk rasa bersama mahasiswa pada 20 Oktober di Jakarta.

serikat buruh.jpg

Serikat buruh besar mulai berbeda sikap dan tak semua turun aksi pada 20 Oktober lalu. Foto oleh Bay Ismoyo/AFP

Salah satu pegiat serikat buruh di Jakarta Utara, saat dihubungi VICE, mendengar kasak-kusuk aroma perpecahan. Muncul rumor bila petinggi serikat buruh tertentu menjalin komunikasi dengan pemerintah di balik layar. Investigasi Majalah Tempo mencapai kesimpulan serupa. Ada upaya penggembosan yang dijalankan pemerintah, dengan cara melobi elit-elit serikat buruh berpengaruh, sehingga sebagian organisasi tak lagi meneruskan strategi menurunkan massa ke jalanan.

Rahmat menyatakan perbedaan sikap tiap organisasi saat melawan omnibus law adalah risiko alamiah. Serikatnya sendiri memilih terus melancarkan unjuk rasa secara konstan, sampai UU tersebut dicabut oleh pemerintah.

Iklan

“Kita sih enggak percaya ya dengan jalur court atau apa pun istilahnya, kayak legislative review tadi,” kata Rahmat. “Sebenarnya poin [menolak] judicial review itu karena akan memakan waktu lama. Keburu buruh dieksploitasi, masyarakat adat kehilangan tanah.”

Aliansi BEM SI termasuk yang meneruskan aksi sebagai strategi penolakan. Organisasi ini memberi waktu 8x24 jam kepada pemerintah agar mencabut Omnibus Law. Jika tidak dikabulkan, mereka berjanji kembali ke jalan membawa jumlah massa lebih besar pada 28 Oktober mendatang, bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda.

Aksi-aksi mahasiswa di berbagai provinsi berlangsung silih berganti, tanpa terkonsentrasi secara nasional. Di Samarinda, Kalimantan Timur, gabungan organ mahasiswa baru kembali bergerak pada Rabu (21/10), jeda sehari dibanding aksi terpusat di Jakarta kemarin.

Mahasiswa sejauh ini belum memikirkan strategi lain seandainya presiden berkeras tidak mendengarkan tuntutan pencabutan UU sapu jagat tersebut.

“Terkait hal tersebut belum ada dibahas,” kata Menteri Sosial dan Politik BEM Universitas Mulawarman Muhammad Akbar saat dihubungi VICE. “Statement kawan-kawan di awal sepakat untuk terus melakukan aksi sampai UU ini dicabut.”

Demi menjaga energi perlawanan, Rahmat sendiri meyakini cara terbaik adalah menggabungkan semua pendekatan. Selain turun ke jalan, masyarakat perlu terus mendapatkan edukasi tentang risiko UU Cipta Kerja lewat beragam kampanye secara online maupun offline. Teknisnya tidak perlu dikomando, melainkan berjalan secara simultan oleh semua pihak.

“Caranya menjagai kampanye ini murni, enggak ada tunggangan politik dan lain-lain, [sekaligus menjelaskan] ada masa depan yang dipertaruhkan,” jelasnya.

Rahmat bilang juga mulai berkembang wacana taktik pembangkangan sipil di kalangan buruh jika memang diperlukan. Hanya saja, bentuknya yang masih belum dipastikan.

“Kuncinya kampanye dirasakan secara luas oleh rakyat, bisa jadi civil disobedience itu akan kita lakukan. Di buruh gimana, di mahasiswa gimana, kawan-kawan akademisi gimana,” tambahnya. “Undang-undang ini kalau [substansinya] bai enggak mungkin menimbulkan kemarahan publik.”