FYI.

This story is over 5 years old.

Seni Memangkas Kepala

Mimpi-Mimpi Sang Guru Seniman Pangkas Rambut Garut

Di Banyuresmi, Garut, keahlian pangkas rambut seakan mengalir dalam darah anak-anak sana. Seorang lelaki mendirikan sekolah buat calon seniman pangkas muda dari berbagai kota lain, termasuk narapidana.
Sekolah pangkas rambut di Garut.
Penulis jadi bahan latihan murid Abah Atrok di Garut. Semua foto oleh Arzia Tivany

Tiap daerah seakan punya profesi stereotipenya masing-masing: Tegal dengan pedagang martabaknya, Pulau Madura menghasilkan pengusaha besi tua, sementara Garut memasok ahli pangkas rambut lelaki, menangani estetika jutaan kepala di republik ini. Kedigdayaan Garut dalam perkara potong-memotong rambut bisa ditengok hingga tiga dasawarsa lalu, saat bisnis ini masih lekat dengan singkatan plesetan DPR, alias Di bawah Pohon Rindang.

Iklan

Sebutan itu bukan tanpa sebab. Dulu, seniman cukur tak selalu membuka jasa cukur rambut di lokasi permanen atau bekerja di barber shop di kota besar—seperti lazim kita temui sekarang. Banyak anggota 'DPR' memasang plang besar-besar bertuliskan “ASGAR”, akronim 'ASLI GARUT' sebagai jaminan mutu.

Saat aku tiba di Garut, tradisi “DPR” ini segera kutemukan, dalam kegiatan cukur massal. Namun, pemandangan itu tidak lagi kusaksikan di bawah pohon rindang, melainkan di lorong sebuah sekolah dasar.

Ada enam seniman cukur berjajar, masing-masing menangani satu per satu orang bersenjatakan alat cukur listrik. Mereka dikelilingi bocah SD yang mengantre pangkas bergiliran. Beberapa bocah saling berebut sisir. Hari itu, model rambut yang dijuluki “rambut Tintin” jadi favorit banyak anak.

1548144285260-DSC_4163_WEB_SIZED

Murid-murid Abah Atrox menggelar bakti sosial, memangkas rambut anak SD

"Ajang mencukur rambut anak-anak di sekolah ini kita lakukan setiap hari, untuk melatih mental mereka,” kata Alif Lukman Nurhakim, pengajar di Abah Atrox Barber School. "Bisa dilihat mereka tahan sama tekanan atau tidak dari anak-anak sambil mencukur banyak orang."

Cukur massal ini rutin dilakukan nyaris setiap hari, kecuali Jumat, oleh Barber School Abah Atrox. Sekolah ini merupakan sekolah pertama di Garut, bahkan mungkin di Indonesia, yang memberi pelatihan langgam cukur tradisional. Nama “Abah Atrox” diambil dari Bahasa Sunda yang berarti “atrok-atrokan” alias berpindah-pindah. Murid Abah Atrox realitasnya memang berpindah dari satu sekolah ke sekolah lain di seantero Garut, mempraktikkan latihan pangkas rambut sekaligus memberi layanan cukur cuma-cuma bagi anak-anak sekolah.

Iklan

Legenda kejayaan seni cukur rambut Garut bermula di Kecamatan Banyuresmi. Dari ribuan pakar cukur desa itu, saat ini yang paling disegani adalah Rizal Fadhillah. Julukannya sehari-hari, Abah Atrox, diabadikan sebagai nama sekolah cukur tradisional yang dikudatangi.


Tonton dokumenter VICE tentang sejarah munculnya lipstik warna hitam yang tak disangka-sangka:


Sebenarnya pemangkas rambut asal Garut bangga belum lama merengkuh profesi yang jadi stereotipe Banyuresmi tersebut. Pernah ada masa sebutan asgar terasa merendahkan, karena mencukur dipandang profesi yang tidak menjanjikan secara ekonomi.

"Awal-awal dekade 90-an sampai 2000, ada ketidakpedean ketika mengakui diri berprofesi sebagai tukang cukur. Jarang ada yang ngaku karena merasa nggak bergengsi," ujar Abah Atrox.

Pandangan merendahkan itu tentu muncul sebelum hipster-hipster perkotaan merasa wajib potong undercut, dan tradisi barbershop tak sepopuler sekarang. Abah Atrox berusaha mengubah imej profesi yang digelutinya. Dia membuat anak didiknya bangga, serta siap melayani potong rambut dalam langgam apapun: baik itu metode tradisional ataupun yang sudah modern ala barbershop.

"Saya selalu mengatakan di publik bahwa kami ini bukan tukang cukur, tapi seniman pangkas. Karena akhirnya ini kan ilmu rasa," kata Abah Atrox. "Dulu disebutnya tukang cukur, seakan-akan posisinya rendah banget, makanya enggak maju-maju."

Murid Abah Atrox kebanyakan datang dari luar Garut. Saat aku datang untuk wawancara, ikut nimbrung Achmad Rofingi, sengaja merantau dari Magelang demi berlatih cukur. Mereka yang datang dari luar Garut seperti Achmad bisa tinggal di lantai atas rumah Abah Atrox yang dialihfungsikan sebagai mess.

Iklan
1548144364472-DSC_4254_WEB_SIZED

Rizal Fadhillah alias Abah Atrox di rumahnya.

Sekolah ini memungut bayaran, tapi relatif terjangkau. Hanya perlu Rp2,5 juta untuk mengikuti 35 kali pertemuan ditambah fasilitas tinggal. Saat banyak orang dari luar daerah datang ke Banyuresmi belajar mencukur, sebagian besar penduduk Banyuresmi sudah merantau ke luar kota bekerja di berbagai barbershop ternama di kota besar, termasuk Jakarta dan Bandung.

Cukur rambut seakan mengalir dalam darah anak muda Banyuresmi. Keahlian potong rambut ini diwariskan turun-temurun alami, tanpa ada yang sanggup melacak awal mulanya. Karenanya, ketika Abah Atrox memutuskan bikin tempat pelatihan cukur empat tahun lalu, banyak orang menganggapnya aneh.

Masyarakat Banyuresmi berpikir tak akan ada orang yang datang berlatih karena hampir semua anak-anak di kampung jago memangkas rambut tanpa ikut sekolah. Sebetulnya mimpi besar Abah Atrox bukan untuk mendidik anak muda Banyuresmi, melainkan buat orang banyak di luar sana yang sulit memiliki pekerjaan. Sejak awal, dia berharap yang belajar memangkas rambut adalah perantau seberang pulau. Kini, cita-cita awalnya tercapai. Murid Abah Atrox datang dari Batam, Padang, Palembang, Kalimantan, hingga Maluku.

Salah satu cita-cita lain, yang kini dia perjuangkan, adalah membuat sekolahnya bisa merangkul lebih banyak bekas narapidana. "Saya pengin bikin pelatihan buat orang yang baru keluar penjara juga," ujarnya. "Saya paham banget orang yang keluar dari penjara enggak mudah untuk diterima masyarakat. Nyukur kan enggak ditanya ijazah, atau lulusan mana, enggak perlu SKCK."

Iklan

Rencana Abah Atrox itu sayangnya terkendala perizinan. Jika ingin merangkul bekas pesakitan, dia diberitahu birokrat harus mengurus izin untuk barber school-nya, wajib diakui Kementerian Tenaga Kerja sebagai Lembaga Pelatihan Kerja. "Aturan seperti itu yang abah tidak kuasai, keterbatasan pemahaman untuk mengurusnya. Makanya abah enggak pernah ngurus," ujarnya. "Kita bukan bergerak dari lembaga pemerintah, abah membuka ini akibat dorongan dari hati ingin berbagi ilmu pada masyarakat."

Setelah pertama kali mendengar tenarnya Banyuresmi beberapa tahun lalu, aku ingin mampir ke sini. Kini, tak kusia-siakan kesempatan menjajal keterampilan seniman pangkas setempat. Masalahnya aku baru mewarnai rambut sebulan sebelum datang, dan aku masih suka dengan warnanya. Aku tidak membayangkan rambutku bakal dipotong secara ekstrem. Abah Atrox punya solusi. "Di-mullet aja rambutnya. Bawahnya aja biar mirip Kenshin [karakter anime Rurouni Kenshin-red]."

Abah mengantarkan menuju rumah yang sekaligus ia ubah jadi sekolah pangkas rambut naik sepeda motor. Dalam perjalanan, aku diajak jalan-jalan sebentar menuju komplek perumahan seniman cukur yang segera diresmikan oleh Presiden Joko Widodo. "Abah juga mau ngambil rumah nih di sini, anak abah kan banyak ya. Doakan semoga bisa."

Perumahan ini jadi simbol betapa profesi cukur rambut adalah motor penggerak ekonomi Banyuresmi. Sebenarnya bukan itu saja. Motor kami melewati jalan aspal, menurut Abah Atrox satu-satunya yang ada di desa tempat tinggalnya. Banyuresmi, seperti wilayah lain di Indonesia, mengalami ketimpangan pembangunan yang ekstrem. Banyak sarana dasar belum dibangun, tanpa alasan jelas. Jalan aspal mulus itu bisa terwujud berkat kedekatan seniman cukur langganan Gubernur Jawa Barat pada masa Orde Baru. Masjid, dan berbagai fasilitas bantuan lainnya termasuk di desa dibangun dari patungan warga yang mencari nafkah dari bisnis cukur rambut.

Iklan

"Siapa yang bisa mem-by-pass birokrasi pembangunan jalan kalau bukan seniman cukur Garut?" kata Abah Atrox.

1548143438457-DSC_4165_WEB_SIZED

Piranti andalan para seniman cukur tradisional

Di rumah Abah Atrox, aku segera bersiap jadi pelanggan perempuan pertama di sana. Aku memutuskan hanya memangkas sisi kanan bawah rambutku. Murid Abah Atrox asal Banten, Dian Firmansyah—yang belum seminggu belajar—diberi tugas memotong rambutku, sambil dibantu Alif, sang pelatih cukur senior. Dian mengaku masih kaku dan takut gerakan guntingnya justru malah merusak rambutku.

Aku berusaha menenangkannya, dengan bilang sebetulnya aku tak terlalu peduli pada rambutku. Lantaran Dian gugup tak berkesudahan, Alif yang menyelesaikannya dengan solusi amat jenial, membuat penampilanku tetap layak dilihat. "Nih saya kasih jalan kutu biar keren, harus dikerok pakai pisau," ujarnya.

Sambil mencukur, Alif banyak bercerita padaku berbagai perubahan besar di kampungnya yang hadir berkat keahlian warga cukur. Alif adalah sarjana yang pernah bekerja di bidang perbankan di Jakarta. Ia meninggalkan hidup yang nyaman mengurus neraca, demi memperdalam seni mencukur.

"Dulu orang di sini pendidikannya paling hanya sampai SMA, sekarang banyak orang yang sudah bisa kuliah, dan pada akhirnya pola pikir masyarakat di sini pun berubah," ujar Alif. "Jadi, walaupun pejabatnya korup, di Banyuresmi soal lapangan pekerjaan kita bikin sendiri. Seniman cukur itu orang bebas. Seniman cukur enggak bisa ditekan."

1548143487483-DSC_4335_WEB_SIZED

Penulis berpose bersama Abah Atrox di kediamannya.

Sore itu, aku puas karena bisa memperoleh penampilan baru dengan rambut yang lebih marvelous. Tapi aku tak sekadar mampir bercukur, karena yang lebih banyak kuperoleh justru pengalaman melihat sekelompok orang bebas berhasil menciptakan harapan dan kemungkinan bagi diri dan komunitasnya sendiri, tanpa bergantung pada pihak lain.

Abah Atrox menengok hasil rambut baruku dan ikut gembira. Menurutnya, tak ada kepuasan terbesar bagi seniman cukur, selain pelanggan yang bahagia berkat rambut barunya.

"Mencukur buat saya itu berkarya untuk memuaskan orang. Harus ada rasa cinta, tanpa cinta kita hanya akan jadi pekerja dan seni kita enggak akan keluar," kata Abah Atrox. "Ketika orang sudah lihat di kaca wajahnya beda dari waktu dia datang, lalu berubah penampilannya, melihat cermin sambil tersenyum-senyum, itu yang membanggakan. Itu ibadah.”