Iskandar Mengingatkan Kita Betapa Pangan Adalah Simbol Kedaulatan
Semua foto oleh penulis.

FYI.

This story is over 5 years old.

Pangan

Iskandar Mengingatkan Kita Betapa Pangan Adalah Simbol Kedaulatan

Berkat usaha keras Iskandar Waworuntu mengembangkan permakultur, Barack Obama pun memilih makan di Resto Bumi Langit Yogyakarta.

Tangan Suratmi tampak sibuk meracik bumbu di dapur restoran Bumi Langit. Dia belum istirahat sedari pagi. Tak seperti biasa, restoran tersebut terlihat sangat ramai sore itu. Tempat duduk penuh. Pengunjung datang dan pergi. Salah satu musababnya, restoran berbentuk pendapa Jawa menjadi lokasi makan siang rombongan mantan presiden AS Barack Obama di sela kunjungannya ke Indonesia pekan lalu. Popularitas Bumi Langit segera meroket.

Iklan

Bumi Langit terletak di Kabupaten Bantul, sekira 20 km dari pusat kota Yogyakarta. Lokasinya berada di bukit Imogiri, yang lebih dikenal sebagai makam raja-raja Mataram. Orang mungkin lebih mengenal tempat itu sebagai restoran yang menyajikan masakan jawa berbahan organik.

Tapi yang kadang luput dari perhatian orang, tempat tersebut adalah salah satu pionir permakultur di Indonesia—sebuah sistem pertanian yang tak cuma memerhatikan sisi organik yang sehat tapi juga pendekatan sosial yang lebih manusiawi.

"Bagi saya bertani adalah cara hidup yang melibatkan semua aspek kehidupan," ujar pemilik Bumi Langit, Iskandar Waworuntu, yang akrab disapa Pak Is. "Karena pangan adalah bagian paling mendasar dalam kehidupan. Makanan menentukan perilaku manusia."

Dibanding restoran di perkotaan, nama Bumi Langit tak terlalu bergaung, hingga Obama datang berkunjung, menyantap makanan yang gosipnya menghabiskan duit Rp 4 juta untuk dua belas orang dalam rombongannya. "Saya malah jadi mawas diri setelah Obama datang. Kini restoran jadi ramai, saya harus berhati-hati," kata pria yang berusia nyaris 60 tahun itu.

Iskandar pertama kali berkenalan dengan permakultur pada 1995 di Bali setelah apa yang disebutnya "pencarian yang bukan kebetulan." Sejak memutuskan keluar dari bangku SMP, Iskandar muda dengan idealisme yang berkobar bertualang dari Jawa hingga Sumatera. Pencarian identitas ini baginya tak bisa ditemukan di bangku sekolah.

Iklan

Dia pernah bergabung dengan Bengkel Teater pimpinan WS Rendra di Yogyakarta. Namun dirinya menyadari bahwa bertanilah satu-satunya hal yang menarik baginya. Ironisnya, Iskandar bukan berasal dari keluarga petani. Ketertarikannya muncul karena pertanian dipandang sebagai model perekonomian yang bisa bertahan sendiri tanpa dikekang oleh suatu sistem mapan yang cenderung menghisap masyarakat.

Dia pun mulai bereksperimen dengan permakultur. Dia memilih Yogyakarta sebagai lokasi paling pas pada akhir 2006. Di lahan seluas tiga hektar, Iskandar mendirikan komunitas Bumi Langit.

Iskandar juga menggandeng warga sekitar untuk menerapkan teknik pertanian berbasis organik. Nyaris tak ada pemakaian zat kimia buatan dalam proses bertani dan beternak di Bumi Langit. Iskandar percaya bahwa apa yang diambil dari bumi, harus bisa dikembalikan lagi ke tanah.

Semua limbah dikelola secara cerdas. Kotoran binatang dan manusia dijadikan biogas. Sementara ampasnya, dijadikan penggemuk cacing. Sisa-sisa makanan dan dedaunan kering dijadikan pupuk kompos.

Untuk urusan gaya hidup, Iskandar tak pernah memakai plastik sebagai pembungkus. Bahkan untuk urusan mandi dan mencuci juga menggunakan sabun yang dibuat sendiri. Iskandar pun lebih memercayai energi matahari sebagai sumber utama. Tak ada listrik dari PLN di komunitas tersebut, semua energi dialirkan dari panel tenaga surya, atau jika kepepet menggunakan tenaga diesel.

Iklan

Sore itu Iskandar yang mengenakan kaus berwarna hitam dan sarung hijau berbaik hati mengajak saya berkeliling. Di usianya yang hampir menginjak kepala enam, Iskandar masih turun tangan mengurus kebun bersama kedua anaknya, relawan, dan warga sekitar.

"Kita sedang dalam keadaan tidak berdaulat untuk urusan pangan," tegas Iskandar sambil berjalan menyusuri jalan setapak berbatu. "Kita semakin tidak tahu asal usul makanan kita. Kita semakin tergantung pada industri."

Setiap bulan, Bumi Langit juga membuka kelas permakultur untuk umum. Selama 13 hari, mereka yang bergabung terjun langsung mempraktikan pertanian organik. Muridnya datang dari berbagai golongan, dari karyawan sampai akademisi. Tak sedikit pula yang datang dari negara lain.

"Saya ingin mengajak anak muda untuk kembali pada nilai-nilai keluhuran, tidak cuma soal bercocok tanam, tapi juga menerapkan etika dan nilai sosial, bagaimana kita bisa berlaku adil terhadap sesama dan alam," tutur Iskandar.

Bumi Langit, yang masih dikelilingi hutan yang cukup sejuk, memakai sistem terasiring. Beberapa meter di bawah restoran, terdapat beberapa bangunan dan peternakan. Soal bangunan, Iskandar juga menerapkan prinsip yang sama dengan bertani. Kayu yang dipakai untuk rumah, hanya memakai kayu dari pohon yang dibudidayakan manusia, seperti pohon kelapa.

Rumah-rumah tersebut cukup asri dengan corak Jawa yang kental. Hanya ada beberapa orang yang terlihat beristirahat di sekitar situ. Di depan saya terhampar kebun sayur-mayur dan kolam ikan. Ayam-ayam terlihat bebas berkeliaran. Tak ada kegiatan bertani saat itu.

Iklan

"Lantas bagaimana pak menyikapi keterbatasan lahan di kota jika saya ingin mempraktikkan permakultur?" Tanya saya.

"Lahan bukan masalah. Permakultur juga bisa diterapkan dalam sistem urban farming," jawab Iskandar.

Beberapa orang yang ternyata adalah santri dari sebuah pondok pesantren di Lamongan, Jawa Timur kemudian turut bergabung dalam tur singkat tersebut.

"Kami ke sini sebenarnya untuk belajar apa itu permakultur," ujar salah seorang santri yang saya taksir berusia 20 tahunan. "Syukur jika bisa diterapkan di pondok pesantren kami. Kegiatan tersebut bakal bermanfaat bagi santri."

Setelah delapan tahun berjalan, pada 2014 Iskandar memutuskan membuka restoran Bumi Langit. Ide itu datang dari kawannya, yang lama-lama segan karena selalu disuguhi masakan yang berasal dari kebun Bumi Langit setiap datang berkunjung.

Stok sayur-mayur dan lauk pauk yang dihasilkan Bumi Langit bisa dibilang masih terbatas. Untuk mengatasinya, Iskandar mengambil hasil bumi tersebut dari petani sekitar yang menjadi rekanan, sehingga baku mutu tetap terjaga.

Tiba saatnya pulang setelah 30 menit berkeliling. Saya langsung teringat menu yang terpampang di depan restoran yang sempat menggoda pikiran. Menu hari itu menyajikan Ayam Goreng Bahagia dan Ayam Geprek Kecombrang.

Saya memesan menu yang kedua, berupa ayam goreng yang dimemarkan dan ditaburi bunga kecombrang yang konon memiliki banyak khasiat bagi tubuh. Sebagai penyegar, saya memesan kefir selai buah dan es krim mangga yang terbuat dari santan murni. Semuanya khas bikinan rumah tanpa tambahan penyedap rasa berlebihan.

Untuk sesaat, saya bisa merasakan seperti apa rasanya menjadi Obama. Sepertinya tak terlalu buruk.