FYI.

This story is over 5 years old.

Perdamaian dunia

Akui Yerusalem Sebagai Ibukota Israel, Hamas Anggap Trump Serukan Perang

Keputusan Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel adalah sebuah “pernyataan perang,” ujar pemimpin Hamas kamis lalu, sembari menyerukan perlawanan terhadap Israel.
diambil dari VICE News

Pernyataan keras dari pemimpin grup Islamis Palestina itu diutarakan saat bentrokan sebagai bentuk protes terjadi di kawasan Tepi Barat dan Gaza. Ismail Haniyeh mengungkapkan bahwa pidato Trump pada Kamis lalu yang menganulir kebijakan AS terhadap Palestina dalam tujuh tahun terakhir ini telah “membunuh proses perdamaian” yang berlangsung di Palestina. “Keputusan pemerintah AS adalah semua agresi, sebuah pernyataan perang pada kami,” katanya. “Kami akan segera melancarkan serangan intifada ke hadapan zionis musuh kami.” Haniyeh juga menegaskan bahwa anggota Hamas telah diinstrusikan untuk mempersiapkan diri “menerima perintah yang mungkin diberikan untuk mengkonfrontasi bahaya strategis yang mengancancam Yerusalem dan Palestina.” Tanggapan Haniyeh keluar selagi kerusahan sebagai bentuk protes meletus di wilayah Palestina kamis lalu. Warga Palestina turun ke jalan, membakar bendera AS dan Israel serta meneriakkan slogan-slogan anti Trump. Di Bethlehem, aparat Israel terpakasa menggunakan gas air mata dan water canon untuk membubarkan para pengunjuk rasa yang membakar ban dan melemparkan batu. Sementara di dekat Ramallah, aparat Israel harus menggunakan gas air mata dan granat kejut. Unjuk rasa yang dilakukan pasca aksi protes Kamis kemarin menyebar ke Iraq, Yordania, Tunisia dan Turki, di mana 1.000 orang berkumpul di luar konsulat AS di Istambul meneriakkan “Down with America.” Aksi protes diperkirakan akan makin hebat setelah Hamas menyeru pada seluruh muslim dunia untuk menjadikan Ju’mat ini sebagai “hari kemarahan.”

Iklan

Merespon situasi seperti ini, Israel memperkuat pasukannya di Tepi Barat guna bersiap-siap menghadapi aksi protes atau perlawanan yang lebih sengit.

Status Yerusalem adalah masalah utama dalam konflik antara Isreal dan Palestina. Kedua negara mengklaim Yerusalem sebagai ibukota mereka. Status final kota itu rencananya akan ditetapkan dalam babak-babak negosiasi dalam mencapai solusi dua negara. Kritik yang dilayangkan terhadap keputusan Trump—nyaris semua seluruh komunitas global mengutuk keputusan Trump—menunjukkan bahwa ucapan Trump berpeluang menghancurkan prospek perdamaian dan membahayakan keamanan nasional Negeri Paman Sam sendiri.
Harakat Hezbollah al-Nujaba, milisi Irak yang didukung oleh Iran, mengatakan keputusan Trump bisa jadi “dalih sahih” untuk menyerang pasukan AS. Dalam kesempatan lain Ayatollah Ali Sistani, Ulama Syiah berpengaruh di Irak, mengatakan pada Kamis lalu bahwa tindakan AS “telah menyakiti ratusan ribu warga Arab dan umat muslim.”
Andreas Krieg, pakar kajian Timur Tengah di King’s College London, mengatakan pada VICE News guna memenuhi hasrat kaum konservatif dan golongan relijius kanan AS, Donald Trump telah melewati apa yang dianggap garis merah oleh komunitas muslim global.

“Bagi sebagian besar Muslim di dunia, Kubah Shakrakh adalah tempat tersuci ketiga dalam ajaran Islam, yang boleh diserahkan begitu saja,” katanya. “Inilah kenapa presiden AS terdahulu tak mau menyerah pada tekanan kelompok neokonservatif Yudeo-Kristen untuk menjadi “ibukota abadi negara Yahudi.”
Krieg menambahkan bahwa keputusan Trump akan menambahkan domestik bagi sekutu-sekutu AS di Timur Tengah seperti Arab Saudi, Yordania dan Uni Emirate Arab, meregangkan hubungan mereka dengan Washington dan membahaykan kebijakan AS di kawasan yang selalu bergejolak itu. Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa dijadwalkan bertemu Jum’at waktu setempat guna membahas keputusan Donald Trump ini.