FYI.

This story is over 5 years old.

Rohingya

Laporan Terbaru Membenarkan Terjadi Kekerasan Sistematis Pada Muslim Rohingya

Dua laporan kredibel menyatakan pemerintah Myanmar terlibat dalam pembunuhan, kekerasan seks, dan penyiksaan pada etnis minoritas di Negara Bagian Rakhine.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE News.

Menurut dua laporan baru, diketahui bahwa pemerintah Myanmar membunuh, menyiksa dan melakukan kekerasan seksual terhadap kaum minoritas Muslim Rohingya yang tinggal di Negara Bagian Rakhine, Barat Laut Myanmar.

Laporan pertama ditulis oleh PBB biarpun pemerintah Myanmar menolak memberikan "akses lengkap ke daerah-daerah perlakuan biadab ini terjadi" terhadap utusan khusus PBB. Dokumen PBB tersebut menyebutkan secara detail pembunuhan dan penyiksaan yang dilakukan terhadap anak-anak Rohingya, mulai dari yang berumur hanya delapan bulan, hingga kaum manula berumur 80 tahun.

Iklan

Penemuan "pelanggaran HAM terhadap populasi Rohingya ini," sebut Komisioner Tinggi HAM PBB Zeid Ra'ad Al Hussein menunjukkan sebuah "kejahatan terencana terhadap nilai-nilai kemanusiaan." Zeid menghimbau komunitas internasional untuk membujuk Myanmar menghentikan "operasi militer" mereka.

"Tingkat kekejaman yang dialami anak-anak Rohingya ini tidak masuk akal," tulis Zeid. "Agenda nasional macam apa yang berusaha diraih lewat kekejaman semacam ini?"

Laporan kedua yang dirilis hari Senin oleh Human Rights Watch sama mengerikannya. Di laporan tersebut, terpapar bagaimana tentara dan polisi penjaga perbatasan Burma melakukan "pelecehan seksual, pemeriksaan tubuh yang invasif, pemerkosaan, pemerkosaan massal" di desa-desa penuh warga Rohingya di distrik Maungdaw, Rakhine utara. Sebelumnya, HRW sempat merilis foto satelit yang mengindikasikan paling tidak 1.500 rumah penduduk Rohingya telah dihancurkan dalam beberapa bulan terakhir. Beberapa aktivis bahkan mengatakan bahwa angka tersebut terlalu sedikit, dan menyebutkan bahwa hampir 2.000 rumah telah dihancurkan.

Kedua laporan tersebut merupakan yang terbaru dalam rangkaian tuduhan pelanggaran HAM yang diajukan terhadap tentara dan personil penjaga perbatasan Myanmar di negara bagian Rakhine. Dugaan kekerasaan oleh polisi, penggusuran paksa, dan pembunuhan sistematis bermunculan setelah insiden pembunuhan sembilan anggota kepolisian di Maungdaw terungkap tanggal 9 Oktober lalu.

Iklan

Awalnya, pihak tentara Burma mengaku mereka hanya merespon ancaman sekte jihadis Rohingya yang menyebut diri sebagai Harakah al-Yakin. Namun dalam kenyataannya, "operasi pembersihan" ini berubah menjadi pelanggaran berbagai HAM yang mengancam nilai-nilai kemanusian, menurut analisa PBB dan Amnesty Internasional.

Juru bicara pemerintah Myanmar, Aye Aye Soe, mengatakan pihaknya "menanggapi serius tuduhan-tuduhan tersebut" dan akan "melakukan penyelidikan." Tapi tiga hari setelah laporan PBB dirilis, tidak ada sedikitpun jejak isu Rohingya dibahas di koran nasional milik pemerintah Myanmar. Akhir tahun lalu, pejabat resmi pemerintahan Myanmar terang-terangan menyangkal dugaan pelanggaran HAM di Rakhine, lalu melancarkan kampanye balasan yang mencantumkan sebuah laporan "independen" di bulan Desember, membahas "rumor" kekerasan seksual dan klaim "Tuduhan Pemerkosaan Palsu" di Rakhine.

Semua laporan-laporan ini merupakan bagian dari sejarah penderitaan kaum minoritas Muslim Rohingya yang sudah berabad-abad terjadi.

Siapa Sebetulnya Etnis Rohingya

Akar penderitaan kaum Rohingya berasal dari persengketaan tentang asal muasal lokasi geografis kelompok minoritas ini. Kaum Rohingya mengaku telah tinggal di Rakhine semenjak abad ke 18. Klaim mereka ini juga ada bukti-bukti dokumen sejarah. Tapi junta militer yang menguasai Myanmar dari 1962 hingga 2010 mengecap Rohingya sebagai imigran ilegal dari Bangladesh dan menghapus mereka dari buku sejarah Myanmar. Di tahun 1980an, Jenderal Myanmar menulis ulang hukum kewarganegaraan yang menyangkal keberadaan kaum Rohingya secara resmi. Hal ini menelantarkan Rohingya sebagai salah satu populasi tanpa status terbesar di Bumi, dan tentunya membatasi hak-hak dan kebebasan mereka.

"Ini lebih masalah etnik, bukan agama," kata Joshua Kurlantzick, seorang anggota senior Dewan Hubungan Internasional.

Iklan

Kini, hampir satu juta penduduk Rohingya di Rakhine tinggal di dalam kondisi buruk, dalam desa-desa yang diawasi tentara militer setiap saat. Sekitar 120.000 penduduk Rohingya telah ditangkap dan dikurung di kamp pengasingan semenjak kekerasan yang terjadi di negara bagian tersebut di tahun 2012. Kala itu, tiga lelaki Rohingya dituduh memerkosa seorang perempuan pemeluk agama Buddha.

Kekerasan yang terjadi pada 2012 tersebut mengakibatkan 200 orang meninggal dan sekitar 200.000 orang terusir dari kampung halamannya. Pelarian Rohingya dimanfaatkan para pelaku perdagangan manusia, mengakibatkan krisis pengungsi regional besar-besaran—puluhan ribu penduduk Rohingya berusaha kabur menggunakan kapal kayu reyot melewati Teluk Benggala antara 2012 hingga 2015. Mereka berusaha mendarat di Thailand, Malaysia, Indonesia atau Filipina.

Kenapa Sekarang Terjadi Kekerasan Pada Rohingya?

Sejak kasus pembunuhan sembilan polisi Burma pada tanggal 9 Oktober 2016 dan aksi pembalasan yang dilakukan oleh pihak militer Myanmar, sekitar 69.000 penduduk Rohingya berhasil mendapatkan perlindungan suaka di Bangladesh. Menurut laporan PBB, diduga sudah ada lebih dari 500.000 orang pengungsi Rohingya di Bangladesh, baik yang terdaftar maupun tidak. Sekitar 23.000 warga Rohingya masih terjebak di dalam Rakhine.

Di periode yang sama, tentara Myanmar menutup distrik Maungdaw dari pihak luar, mengakibatkan sekitar 160.000 warga sipil tidak bisa mendapat bantuan kemanusiaan. Tiga bulan kemudian, akses bantuan kemanusiaan mulai bisa kembali masuk setelah banyaknya laporan kasus malnutrisi parah.

Iklan

"Tragedi kemanusiaan berwujud pembantaian etnis dan kejahatan kemanusiaan tengah terjadi di Myanmar," tulis Malala Yousafzai, Muhammad Yunus, dan sembilan pemenang Nobel Prize lainnya lewat sebuah surat terbuka ke Dewan Keamanan PBB di akhir Desember lalu. Surat tersebut mengkritik kegagalan pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi untuk mengambil "langkah inisiatif untuk memastikan terpenuhinya hak-hak kewarganegaraan kaum Rohingya secara adil," dan mendorong PBB untuk segera beraksi.

Sayangnya, Suu Kyi, pemenang Hadiah Nobel Perdamaian yang pernah menghabiskan 15 tahun di sebagai tahanan politik junta militer Myanmar, menghadapi tantangan dari pihak militer Myanmar dan terlihat enggan untuk terlibat dalam isu kontroversial ini.

"Pihak militer Myanmar yang pernah berkuasa selama lima dekade masih mempunyai kekuasaan yang besar di sana," kata Kurlantzick. "NLD (partai politik Suu Kyi) mengalami kesulitan untuk mengambil tindakan."

Sikap politik pribadi Suu Kyi terhadap Rohingya juga dipertanyakan. Tahun lalu, dia tertangkap sedang marah-marah kepada stafnya menggunakan mikrofon yang masih menyala karena mereka membiarkan Suu diwawancarai oleh seorang Muslim.

Konsekuensi Insiden ini Pada Myanmar

Daniel Russel, asisten menteri Luar Negeri AS yang menangani Masalah Asia Timur dan Pasifik, belum lama ini memperingatkan apabila kekejaman terhadap kaum Rohingya terus berlanjut, hal ini dapat memicu munculnya kaum ekstremis Islam di Myanmar dan di negara-negara sekitarnya.

Biarpun sulit untuk menduga seberapa luas militerisasi telah menyebar di kalangan penduduk Rohingya, para ahli menduga paham ekstremisme sudah mulai menyebar di kalangan Rohingya. Biarpun para ahli setempat mengatakan bahwa kelompok-kelompok ekstrem ini masih kecil dan tidak terorganisasi, sebuah laporan dari International Crisis Group menyebutkan bahwa Harakah al-Yakin—kelompok jihadis ekstrem Rohingya—menerima bantuan dana dari Arab Saudi dan Pakistan. Kelompok ekstrem ini juga kabarnya dipimpin oleh seorang penduduk Rohingya kelahiran Pakistan yang ayahnya besar di Mekah.

Iklan

Pria tersebut, dikenal sebagai Ata Ullah, sering terlihat di berbagai video online yang dirilis grup ekstrem tersebut Oktober dan November lalu. Melalui video-video tersebut, Harakah al-Yakin membeberkan misi mereka: untuk mengembalikan hak-hak dasar penduduk Rohingya.

"Namun bisa saja misi ini akan berubah sebagai bentuk usaha lebih jauh melegitimasi agama yang mereka anut mengingat hubungan mereka dengan berbagai kelompok jihadis internasional," tulis laporan International Crisis Group tersebut.

Apa yang akan terjadi selanjutnya?

Tekanan dari pihak internasional terus menumpuk. Sepanjang bulan September-November lalu ketika aksi kekerasan terhadap penduduk Rohingya memuncak di Myanmar, aksi protes solidaritas bermunculan di negara-negara tetangga dengan populasi Muslim tinggi seperti Bangladesh dan Malaysia. Protes juga terjadi di Indonesia, lengkap dengan ancaman pengeboman keduataan besar Burma di Jakarta. Ini menyebabkan Suu Kyi membatalkan kunjungan diplomatiknya ke Indonesia akhir November lalu.

Kembali munculnya berita kekerasan Myanmar terhadap penduduk Rohingya menyebabkan adanya keretakan antara Myanmar dengan negara-negara tetangga. Kritik paling keras dilontarkan Perdana Menteri Malaysia Najib Razak yang menuduh Myanmar melakukan genosida dan meminta dunia internasional segera mengambil tindakan.

Selama ini, Suu Kyi "harus mengesampingkan isu kebangkitan paham anti-Muslim, dan anti-Rohingya untuk mencapai tujuan politiknya," kata Greg Poling yang bekerja di Center for Strategi and International Studies. "Namun isu ini telah berkembang sedemikian besar dan tidak bisa dihiraukan lagi. Apabila tidak ditangani, masalah ini akan bertambah buruk… Dilema semacam ini tidak akan hilang begitu saja."

Laporan terakhir PBB sudah disebut-sebut sebagai "titik balik yang bisa mengubah nasib Rohingya" dan akan memaksa Suu Kyi dan para petinggi Myanmar untuk menghadapi masalah yang selama ini mereka hindari.

"Situasi semacam ini sudah sering terjadi," kata Poling. "Sebuah pemerintahan yang memperbolehkan penindasan atas nama terorisme internasional justru menghasilkan sarang kelahiran bagi bibit terorisme yang mereka berusaha lawan."