Sepakbola Membuat Napi Penjara Paling Angker di Uganda Tetap Waras

FYI.

This story is over 5 years old.

sepakbola dan masyarakat

Sepakbola Membuat Napi Penjara Paling Angker di Uganda Tetap Waras

Penjara Luzira ibarat Nusa Kambangannya Uganda. Banyak napi yang kembali masuk penjara gara-gara mengulangi kesalahan serupa. Sepakbola antar napi berperan besar membuat para napi terjauh perilaku beringas kriminal kelas kakap.

Seiring peluit akhir ditiup dalam pertandingan semi-final antara ‘Liverpool’ dan ‘Chelsea’, jelas sudah siapa pemain terbaik pertandingan tersebut. Dia mencetak hat-trick dengan kaki telanjang. Benon Luyima, 28 tahun, sudah bergabung bersama Liverpool selama delapan tahun dan kontraknya masih tersisa empat tahun. “Apa kejahatanmu?” tanyaku. “Pembunuhan,” ujar Benon. “Saya memergoki istriku dengan lelaki lain dan tidak sengaja memukul dia. Dia meninggal.” “Tidak sengaja?” “Maksudnya, saya tidak bermaksud membunuhnya.”

Iklan

Ini bukanlah sebuah wawancara olahraga pada umumnya, tapi ya memang ini juga bukan pertandingan olahraga pada umumnya. Benon baru saja mengamankan jatah babak final bagi timnya di turnamen sepakbola penjara paling maju di Uganda. Event ini bukan hanya terkenal akibat kualitas sepakbolanya yang tinggi, tapi juga efeknya membuat Uganda negara dengan angka residivisme terendah di satu benua Afrika.

Benon dihukum 12 tahun penjara di Luzira dan mengatakan bahwa sepakbola telah mengajarinya cara mengendalikan emosi. “Ketika saya keluar nanti, saya ingin bisa meminta maaf ke keluarganya dan berharap suatu hari mereka bisa memaafkan saya,” ujarnya. Ketika ditanya apa yang akan dia lakukan apabila situasi tersebut terulang lagi, dia menjawab, “Saya akan pergi saja. Saya tidak mau kembali ke sini.”

Benon adalah salah satu dari 3.000 lelaki dalam penjara keamanan maksimum Uganda. Berlokasi di sebuah bukit di luar ibu kota, Kampala, tembok penjara setinggi 20 meter sangatlah mengintimidasi. Di dalam penjara, para tahanan berpakaian seragam berwarna jingga atau kuning. Ini dulu digunakan untuk membedakan siapa yang sudah dijatuhi hukuman dan siapa yang belum, tapi karena angka tahanan yang menunggu pengadilan melebihi 50 persen, sistem ini kemudian diabaikan.

Masuk ke penjara lebih dalam, semakin tidak terlihat bentuk-bentuk kekuasaan. Tidak ada sipir, jumlah tahanan jauh melebihi mereka. Ternyata semua tahanan harus menyelesaikan tugas agar penjara bisa terus beroperasi. Ada yang membawa kayu dari halaman ke dapur, ada yang menggunakan kapak untuk membelahnya menjadi kayu bakar. Tungku harus terus menyala agar para tahanan bisa memasak. Para tahanan yang lebih tua mengurusi penanaman bayam dan kentang, dan di klinik, para tahanan memberikan obat bagi pasien. Dibandingkan dengan penjara AS dan Inggris, besarnya tingkat tanggung jawab yang diberikan ke tahanan sangat luar biasa. Dan lebih hebat lagi, tidak banyak yang berperilaku agresif.

Iklan

Kepala penjara, Wilson Magomu, meyakini bahwa menjaga para tahanan sibuk sangat penting untuk kelangsungan penjara yang positif. Dan statistiknya memang mendukung ucapan dia. Dari seluruh tahanan, hanya 30 persen jadi residivis alias masuk ke penjara lagi karena mengulangi kesalahan serupa. Bandingkan dengan Inggris dan AS yang bertengger di angka 46 dan 76 persen. “Di negara-negara tersebut, masyarakatnya cenderung menghukum,” ujar Magomu. “Orang merasa mereka tidak ada hubungan dengan kriminal, tapi alasan mereka di sini adalah untuk direhabilitasi. Apabila seseorang menganggur, mudah sekali bagi mereka untuk terlibat dalam perbuatan negatif.”

Para lelaki ini ditahan atas kejahatan yang serius—tertuduh serangan Kampala Juli 2010 ditahan di sini—dan beberapa lainnya menghadapi hukuman hingga 25 tahun penjara. Untuk alasan inilah, mengalihkan perhatian mereka dari hukuman dirasa perlu. “Mereka sudah dihukum; kami tidak mau menghakimi di sini.” Magomu merasa pendekatan yang liberal adalah yang terbaik. “Hanya ada beberapa sipir di sini; mereka bisa dengan mudah mengalahkan kami.”

Di tengah sistem liberal ini adalah liga sepakbola penjara, berisikan sepuluh tim yang menggunakan nama tim-tim sepakbola terbesar Eropa, di antaranya: Liverpool, Manchester United, Chelsea, Arsenal dan Barcelona. Setiap tim memiliki 20 pemain dan penggemar loyal sendiri-sendiri.

Di hari pertandingan, pelataran penjara diubah menjadi lapangan sepakbola. Marka-marka lapangan digambar menggunakan benang dan tepung putih. Gawangnya dibuat menggunakan tali jemuran dan jala. Seiring kedua tim yang bertanding berganti baju mengenakan seragam olahraga replika masing-masing, kehidupan para tahanan ini seolah berhenti sesaat. Para tahanan lainnya mengerubungi sisi lapangan. Selama 90 menit, penjara tersebut berubah menjadi sebuah stadium. Para penonton berteriak kencang dan bersorak untuk tim favoritnya. Liverpool bukanlah satu-satunya tim beranggotakan seorang pembunuh. Lawan mereka di final, Manchester United, memiliki striker bintang, Jackson. Dia adalah seorang nelayan yang tidak sengaja membunuh seseorang ketika sedang bertengkar. Dia menunjukkan kami bengkel pertukangannya, tempat dia bekerja, dan menjelaskan bagaimana dia belajar banyak keterampilan baru di sana.

Iklan

Keterbukaan Jackson, dan hampir semua tahanan lainnya dalam membahas kejahatan mereka membuat interaksi dalam penjara ini menonjol dibanding penjara lainnya yang pernah saya kunjungi. Para sipir mengatakan ini disebabkan oleh rasa hormat. Mereka meyakini biarpun seseorang mungkin sudah membunuh orang lain, bukan berarti mereka selamanya pembunuh. Pengampunan harus memainkan peran dalam pengalaman penjara setiap orang.

Tapi tentu banyak tahanan yang bersikeras mereka tidak bersalah. Contohnya striker kunci Manchester United, Joel. Lelaki berumur 21 tahun tersebut ditangkap atas pencurian bersenjata dan telah menunggu lebih dari setahun untuk diadili. Kisahnya mengungkap isu yang lebih dalam di Uganda. Dia adalah satu dari 1.500 lelaki di Luzira yang menunggu untuk diadili. Kehidupan mereka mengambang secara hukum karena sistem keadilan Uganda kesulitan memproses semua tuduhan tersebut. Biarpun merasa tidak layak masuk penjara, Joel memanfaatkan waktunya di sini dengan baik. Dia banyak belajar dan bermain sepak bola untuk mengalihkan dirinya sendiri dari waktu menunggu yang tidak jelas. Di luar penjara, edukasinya juga tidak buruk, tapi di dalam sini, dia mempelajari geografi, teknologi dan bermimpi menjadi seorang ahli komputer ketika sudah besar nanti.

Saya bertanya ke Joel apabila dia merasa butuh rehabilitasi. “Iya, sepertinya begitu,” ujarnya. “Saya dulu sering merokok dan minum-minum.” Sesuai dengan kultur penahanan diri yang kuat di Uganda, dia melihat pelanggaran-pelanggaran minor ini sebagai sesuatu yang bisa diperbaiki sambil menunggu dipanggil pengadilan.

Iklan

Ini bukan berarti dia dan tahanan lainnya puas dengan realita berada di dalam penjara atau mati rasa terhadap keadaan. Mau tahu seperti apa kamar para pesepakbola ini? Sebuah bangsal besar tanpa partisi, berisikan 300 lelaki yang tidur di atas matras lantai. Biarpun kepala penjara menyadari betapa tidak manusiawinya keadaan ini, dia menyalahkan kurangnya sumber daya sebagai penyebab.

Di awal kunjungan kami ke Luzira, kami sangat diatur, tapi beberapa hari kemudian, kami diberikan lebih banyak kebebasan. Para tahanan mulai mendekati kami dan berbisik bahwa kondisi di sana sangat parah, dan kultur kontrol plus intimidasi lah yang membuat penjara ini berjalan lancar. Mereka meminta kami menyebarkan seperti apa rasanya kehidupan sebenarnya dalam Luzira, penjara tempat tahanan hanya menerima satu hidangan bubur sehari, setiap harinya. Mereka menyelipkan nomer telepon kerabat mereka ke kami lewat potongan kertas, dibungkus buru-buru dan diberikan lewat jabat tangan. Mereka khawatir “mata-mata” yang mengawasi kami akan melihat transaksi ini.

Ketika membicarakan “mata-mata”, mereka merujuk ke lelaki seperti Opio Moses, seorang mantan petugas polisi yang sudah menghabiskan 18 tahun di penjara akibat pembunuhan. Setelah membunuh penyerangnya ketika membela diri, dia mengarahkan pistol ke dirinya sendiri. Setelah berhasil melewati usaha bunuh diri ini, dia dipenjara dan kini menjabat sebagai kepala bangsal psikiatrik dan CEO dari liga sepakbola penjara, Upper Prison Sports Association. Dia menulis buku peraturan sepakbola penjara dan mengorganisasi berbagai liga dan turnamen. Sebagai pamrihnya, dia mendapat privilese, seperti kesempatan melihat anaknya secara langsung, tanpa dibatasi jeruji besi. Dia juga mendapat lebih banyak makanan dan diberikan sebuah kasur, alih-alih matras.

Iklan

Arsenal gagal melaju ke final, nasibnya tidak beda jauh dengan Arsenal beneran di liga Premier.

Di bawahnya, ada sepuluh “pemimpin,” yang melakukan berbagai pekerjaan dan berperan sebagai mediator antara para tahanan dan sipir penjara ketika isu “ketidakadilan” muncul. Tapi ini hanya menceritakan satu sisi dari peran mereka. Faktanya, mereka memonitor situasi dari setiap bangsal dan melaporkan masalah ke sipir. Mereka juga mendapat hadiah untuk ini. Di bawah mereka adalah manajer tim, termasuk Kapten Brian Massete, yang telah berada dalam penjara selama 25 tahun. Para pesepakbola dilatih dan diberikan insentif oleh manajer-manajer ini, dan kelompok penggemar mendonasikan hadiah kunjungan mereka sebagai bagian dari proses tawar menawar ini.

Pertandingan final di hari Minggu diawali dengan misa massal. Berbagai sekte Kristen berdoa masing-masing. Bunyi dengungan gospel memberikan atmosfir yang damai dalam penjara. Para penggemar berbaris di pinggir lapangan, dan wasit disewa dari luar penjara untuk pertandingan besar ini. Pertandingan ini dianggap terlalu penting untuk dirusak oleh potensi wasit penjara yang memihak.

Di waktu jeda, langit terbuka dan 45 menit berikutnya dimainkan dalam guyuran hujan. Ini tidak menghentikan sang DJ yang memainkan lagu “Heads High”nya Mr Vegas dari speaker seiring atmosfir karnival menyelimuti penjara. Orang-orang menari dengan kursi di atas kepala mereka, dan seiring peluit akhir dibunyikan, Liverpool ditakhtakan sebagai juara berkat gol tunggal Benon. Hiruk-pikuk dan perayaan teatrikal dimulai, seakan seluruh tahanan merayakan pertandingan, alih-alih tim pemenang saja.

Selama 90 menit, dan sejam setelahnya, pertandingan tersebut seperti menyihir semua orang—selama sejenak, mereka melupakan kurangnya sumber daya penjara, atau fakta bahwa mereka berada di dalam penjara. Tapi seiring rasa girang mulai memudar, dan kedua tim berdiri gemetaran seiring menunggu trofi dibagikan oleh sipir penjara, rasanya tidak jelas lagi apakah sepakbola menjadi bentuk rehabilitasi atau dominasi rezim dalam Luzira.