Pelanggaran HAM

Pemerintah Myanmar Memutus Akses Internet di Provinsi yang Dihuni Etnis Rohingya

Provinsi Rakhine rutin mengalami kerusuhan etnis dan kekerasan sistematis terhadap minoritas muslim selama delapan tahun terakhir. Pemutusan internet menambah beban baru warga minoritas.
Pemerintah Myanmar Memutus Akses Internet di Provinsi yang Dihuni Etnis Rohingya
Foto ilustrasi warga pedesaan Myanmar dari Unsplash

Lebih dari satu juta penduduk Provinsi Rakhine, Myanmar, kehilangan akses internet. Rakhine adalah wilayah dihuni etnis minoritas muslim Rohingya. Selama sewindu terakhir, provinsi ini sering mengalami kerusuhan antar etnis serta jadi saksi bisu kekerasan sistematis aparat terhadap minoritas Rohingya yang tak pernah dianggap sebagai warga negara sah Myanmar. Namun masalah bagi pemerintah setempat bukan cuma soal Rohingya. Di Rakhine, ada kelompok pemberontak Arakan yang berusaha mendirikan negara sendiri.

Iklan

Militer Myanmar mengusulkan pemblokiran internet ini tanpa memberi peringatan kepada warga sipil. Hanya beberapa hari setelah muncul keputusan dari militer, Kementerian Transportasi dan Komunikasi Myanmar segera memerintahkan empat perusahaan telekomunikasi memblokir akses internet ponsel di sembilan kelurahan. Cuma satu perusahaan, Telenor, yang mengumumkan pemblokiran secara terbuka kepada masyarakat.

Pemblokiran ini diterapkan, menurut pemerintah, untuk meredam konflik yang terus berlangsung antara tentara nasional dan Pasukan Arakan (AA), milisi separatis. AA memperjuangkan otonomi lebih besar bagi warga etnis minoritas beragama Buddha di kawasan tersebut.

Maraknya kerusuhan dan kekerasan di Rakhine menyebabkan 30.000 warga kehilangan tempat tinggal dalam enam bulan terakhir. Pada 2017, sekitar 730.000 Muslim Rohingya, kelompok paling tertindas di Rakhine, menjadi korban pelanggaran hak asasi manusia serius.

Aktivis maupun lembaga HAM internasional segera mengkritik pemblokiran internet di Rakhine. Mereka percaya pembatasan akses pada informasi akan membahayakan warga. Utusan Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa yang memantau kondisi di Myanmar, mengatakan pemblokiran ini diduga kuat merupakan "upaya menutupi pelanggaran HAM aparat terhadap warga sipil."

Kementerian Luar Negeri AS turut mengkritik pemerintah Myanmar. Juru bicara Kemenlu AS, Morgan Ortagus, mengatakan negaranya "sangat prihatin" mendengar adanya pemblokiran internet di Rakhine. Negeri Paman AS juga meminta Myanmar segera mengembalikan koneksi internet agar bisa diakses warga.

Merespons kritikan dari berbagai negara itu, pemerintah provinsi Rakhine menyarankan semua warga yang dirugikan, ataupun terlantar dan butuh internet, untuk menghubungi pejabat lokal.

Pembatasan akses pada informasi bukan hal baru di Myanmar. Perlindungan terhadap pers dan kebebasan informasi terus menjadi batu sandungan bagi negara yang berusaha beralih dari sistem junta ke demokrasi tersebut. Beberapa jurnalis sempat dipenjarakan oleh rezim, karena meliput persekusi muslim Rohingya. Pejabat yang mengatur industri pers di Myanmar menyatakan pemblokiran internet menyerupai Revolusi Saffron yang terjadi pada 2007, ketika warga mayoritas Buddha menuntut junta militer turun dari kekuasaan—berujung pada pembantaian dan persekusi militer.

Warga Rakhine mengatakan “arus informasi” tidak lagi tersedia bagi mereka sehari-hari. Aplikasi standar macam WhatsApp, yang dibutuhkan LSM dan warga sipil, sama sekali tidak dapat diakses sepekan terakhir.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE ASIA.