FYI.

This story is over 5 years old.

Prahara Kuliner

Indonesia-Malaysia Bukannya 'Bersatu' Demi Rendang, Adu Klaim Dulu Saja yang Sia-Sia

Rendang sukses melampaui batas-batas negara. Jadi, percuma dulu Malaysia-Indonesia rebutan dan sekarang dikesankan 'bersatu' demi rendang gara-gara Masterchef UK. Mampukah momen ini bikin kita lebih serius memetakan budaya Melayu?
Masakan rendang ayam. Kalian pikir ini di Indonesia? Salah besar. Foto diambil di restoran kawasan Cyberjaya, Malaysia via Reuters.

Rendang, masakan terlezat sedunia versi CNN itu, seakan punya kemampuan memecah belah. Lihat saja perdebatan Indonesia-Malaysia yang sengit mengklaim soal siapa paling berhak menyebut rendang sebagai masakan nasional masing-masing. Namun, sejak awal pekan ini, kita menyaksikan betapa rendang punya kuasa menyatukan bangsa yang terpisah-pisah. Tak lama setelah insiden MasterChef UK viral, pengguna media sosial dari Indonesia maupun Malaysia bersatu melawan musuh bersama: John Torode dan Gregg Wallace. Mereka adalah dua juri Masterchef UK yang mengkritik masakan peserta bernama Zaleha Kadir Olpin. Insiden ini dipicu komentar Wallace yang mengeluh, gara-gara rendang buatan Zaleha tidak renyah.

Iklan

"Saya suka rasa bumbu rendangnya, tapi sayangnya kulit ayamnya tidak renyah (crispy- red). Selain itu karena berlumur bumbu jadi susah saya memakannya," kata Gregg Wallace ketika mengomentari masakan Zaleha. Dalam kesempatan yang sama Torode menyebut rendang Zaleha sebagai "sebuah kesalahan.” Alhasil rendang yang disajikan Zaleha bersama nasi lemak itu terpaksa mengantar peserta kelahiran Malaysia tersebut tersingkir dari ajang MasterChef UK. Acara televisi itu memicu meme maupun guyonan terkait "rendang crispy?" memicu meme, guyonan, sekaligus kecaman tiga hari terakhir. Banyak pihak menyebut pernyataan kedua chef tersebut sebagai penghinaan terhadap budaya Melayu.

Di tengah suasana panas akibat di-bully pengguna Internet dari tiga negara Asia Tenggara, balasan Torode seakan menyiram minyak ke api. Dia bilang "mungkin (kalian protes- red) karena tidak tahu rendang itu masakan khas Indonesia." Twit provokatif Torode itu kemarin dihapus.

Lalu terjadilah keajaiban itu, pengguna Twitter asal Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura, mengesampingkan perbedaan, bersatu merundung juri Masterchef UK. Intinya, baru sekarang warganet Indonesia dan Malaysia bisa berdamai karena rendang. Padahal, baru tiga tahun lalu, pengguna Internet kedua negara masih sibuk kelahi dan debat di medsos gara-gara…. rendang juga!

Masakan terbukti bisa menyatukan Indonesia-Malaysia, dua bangsa yang sering tak akur. Kesannya adem ya. Tapi menurut pakar kuliner, rendang sebetulnya sejak awal dirancang mempersatukan siapapun. Khususnya bila kalian adalah Bangsa Minang. Kalau sampai ikut ribut-ribut mengklaim rendang punya siapa, maka itu sia-sia belaka. Rendang sejak awal diciptakannya berhasil menjadi masakan yang melintasi batas-batas negara.

Iklan

Sejarawan kuliner dari Universitas Padjajaran, Fadly Rahman, menyatakan debat tatacara memasak rendang antara dua juri Masterchef UK dan pengguna Internet asal Malaysia-Indonesia ini dampak perbedaan persepsi mengenai citarasa rendang. Bagi Fadly, dua chef Inggris itu tak sepenuhnya keliru. Torode dan Wallace memandang rendang dari konteks gastronomi, sedangkan orang-orang Melayu yang merespons komentar mereka memaknai rendang dari otentisitas penyajiannya.

“Rendang baik yang basah maupun kering, sudah membentuk selera kolektif di kawasan Melayu, baik di Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei. Mereka memiliki karakter yang sama, karena diaspora orang Minang,” ungkap Fadly ketika dihubungi VICE. “Tapi kalau sudah dihadapkan pada konteks gastronomi, di mana rendang dipersepsikan bumbunya harus terpisah, diberi garnish dan lain-lain, sulit juga menyalahkan mereka karena para juri punya kapasitas sebagai chef memandang bahwa standar rendang yang bisa diterima oleh publik mancanegara ya sesuai standar.”

Di sisi lain, imbuh Fadly, orang dari kebudayaan Melayu saat pergi ke belahan dunia manapun mereka membawa Rendang, yang senantiasa ada dalam pikirannya adalah rendang kampung halamannya. Itulah yang terjadi pada masakan Zaleha.

Lalu, kenapa tradisi memasak rendang bisa ada di setidaknya empat negara ASEAN sih? Pengamat kuliner Ari Parikesit menerangkan resep rendang berasal dari wilayah Minangkabau pada Abad ke-16, kini bagian dari Provinsi Sumatra Barat. Suku Minangkabau punya tradisi merantau, alias bermigrasi, ke daerah lain. Makanya bermacam variasi rendang bisa kita dapati di wilayah Asia Tenggara lainnya, mulai dari Malaysia baik di Semenanjung maupun Sarawak, Singapura, hingga Thailand.

Iklan

Karena sifat masakan ini kosmopolit, mengikuti kebiasaan orang Minang, adanya variasi rendang kering dan basah akhirnya muncul. Variasi rendang kering muncul untuk memenuhi kebutuhan perantau akan makanan yang lebih tahan lama. Kemungkinan inilah yang memicu Wallace bilang rendang harusnya crispy.

“Migrasi menyebabkan jenis rendang jadi bermacam-macam, tersebar di Asia Tenggara. Ada yang kering dan pedas seperti versi Minangkabau, ada yang basah dan sedikit berkuah seperti yang ada di Malaysia, ada yang rasanya lebih ringan seperti Gaeng Massaman di Thailand bagian selatan, dan masih banyak lagi,” tulis Ari dalam Twitternya. “Namun, tak ada satu jenis pun yang crispy.”

Arie menegaskan rendang pada dasarnya bukan hanya sebatas makanan. Rendang adalah sebuah metode dan sebuah konsep. “Kata ‘rendang’ berasal dari bahasa Minangkabau yang berarti ‘randang’ atau ‘marandang’ (rondang di Payakumbuh) yang berarti metode memasak rempah-rempah dan santan dalam waktu lama di atas api kecil,” ujarnya.

Omong-omong, Indonesia-Malaysia barangkali tidak akan pernah berebut klaim soal rendang, tanpa adanya kebijakan politik konfrontasi awal dekade 1960-an. Di bawah perintah Presiden Sukarno, militer dan sipil diminta bersatu menolak pendirian negara Malaysia yang dianggap boneka Inggris. Hubungan dua negara tetangga merenggang. Indonesia bahkan sempat membuat peringatan “Ganyang Malaysia” di bawah pimpinan Sukarno.

Iklan

Sejak itulah hubungan Malaysia-Indonesia tidak pernah bisa sepenuhnya “adem.” Selalu ada saja konflik kecil maupun besar. Mulai dari perebutan pulau di perbatasan Sipadan-Ligitan; saling klaim alat musik tradisional, makanan, dan batik; permasalahan buruh migran; sampai gambar bendera Indonesia yang terbalik dalam buklet resmi Sea Games 2017.

Makanya kata Fadly yang menciptakan konflik bukanlah rendang, konflik soal rendang muncul justru setelah adanya konsep “negara bangsa” setelah berakhirnya kolonialisme Belanda maupun Inggris.

“Orang Minang (Indonesia) atau Malaysia itu kan satu rumpun, Melayu. Yang terjadi setelah munculnya konsepsi nation state pasca kemerdekaan, lepas dari kolonialisme, mereka jadi mengklaim, “saya melayu Indonesia” kamu “melayu Malaysia”. Nah ini ada perpecahan," kata Fadly. "Sehingga tanpa disadari oleh masyarakat di kedua bangsa ini, kebudayaan yang mempersatukan mereka akhirnya menjadi terputus. Sumber [konfliknya- red] bukan di rendangnya, tapi di kemunculan konsep negara bangsa.”

Fadly menilai, setelah adanya konsep negara bangsa, fenomena mengklaim suatu budaya lebih unggul dan hegemonik dari budaya yang lain selalu terjadi. Itu hal yang wajar. Namun Fadly menegaskan, yang tidak wajar justru adalah ketika tidak pernah ada upaya dari kedua negara menciptakan pelurusan sejarah kolektif rumpun Melayu bersama-sama. Karena, mau tidak mau, suka tidak suka, kita harus mengakui sejarah kita saat ini ya berdasarkan negara yang dulu pernah berkuasa menjajah wilayah kita. Makanya, jangan heran deh kalau terus muncul tuduhan Malaysia mencuri kebudayaan Indonesia, atau sebaliknya giliran Indonesia dituding mengklaim kebudayan Negeri Jiran.

Iklan

“Sejarah kita ditentukan penulisan sejarah bangsa-bangsa kolonial yang dulu menguasai kita. Kita dikuasai Belanda, Malaysia dikuasai Inggris,” ungkap Fadly. “Setelah kemerdekaan, sejauh ini saya belum melihat ada upaya menciptakan sejarah bersama antara rumpun melayu Indonesia dan Malaysia.”

Senada dengan Fadly, aktivis kuliner Rahung Nasution menilai saling klaim makanan, apalagi terkait rendang, tidak ada gunanya. Bagi Rahung, semestinya makanan itu senantiasa menyatukan umat manusia.

“Dalam banyak tradisi, lewat perjamuan makan konflik antar tetangga atau konflik adat diselesaikan. Semua senang. Politik sendiri adalah medan pertikaian yang menceraiberaikan. Dalam politik, konflik yang paling berbahaya soal makanan juga: penguasaan sumber-sumber pangan. Monopoli benih, perampokan lahan, monokultur, dan industri farmasi,” ungkap Rahung. “Soal [komentar kontroversial- red] juri MasterChef tidak membuktikan [persatuan] Indonesia-Malaysia sesuatu yang baru. Kalau kita melihat ke akarnya lagi mereka ini kan saudara kandung.”

“Saya pikir enggak masuk akal soal klaim-mengklaim ini dan apa pula untungnya?" kata Rahung. "Jika Cina dan India sampai mengklaim segala jenis makanan, mampuslah kita. Apa lagi yang kita miliki?”