Bertanya Pada Pakar

Bertanya Pada Pakar: Kenapa Teroris di Indonesia Kerap Jadi Tukang Bakso?

Seriusan, beberapa kali Densus 88 menangkap tersangka teroris dalam kondisi sedang berdagang bakso. Menurut mantan anggota JI, profesi jual bakso memang terhitung strategis.
Teroris di Indonesia Kerap Menyamar Jadi Tukang Bakso
Foto ilustrasi pedagang bakso keliling via Agustin Raharjo/Wikimedia Commons/Lisensi CC 4.0

Skena pedagang gerobak keliling sepertinya lebih menegangkan daripada yang kita kira. Beberapa tahun terakhir kita dicekoki narasi bahwa intelijen negara sering nyamar jadi tukang nasi goreng dalam aksinya (dengan ciri khas, konon, rasa nasgor yang enggak enak).

Ternyata, ada pula beberapa cerita teroris memilih profesi tukang bakso sebagai lahan penyamaran. Cerita terbaru, pada Senin (8/6) jam 4 dini hari, Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror menangkap tersangka berinisial AM di Pasar Telagasari, Desa Ciranggon, Kabupaten Karawang, Jawa Barat. AM, lelaki 31 tahun yang sehari-hari berprofesi sebagai tukang bakso, dicokok sebagai terduga teroris.

Iklan

Kapolres Karawang AKBP Arif Rachman Arifin belum mau membeberkan detail penyelidikan kasus, namun mengonfirmasi kebenaran berita penangkapan. Keterlibatan AM dengan kelompok teroris diketahui warga ketika pada jam 8 pagi di hari penangkapan, puluhan Densus 88 menggeledah rumah dan kamar AM, lengkap dengan penutup muka dan senjata laras panjang. Belum jelas dari jaringan organisasi teror apa AM bergabung.

"Iya, anak saya ditangkap saat baru sampai di pasar. Saya belum tahu apa masalahnya. Saya shock, banyak petugas datang dan meminta izin untuk menggeledah kamar anak saya, namun tidak ada barang yang dibawa," kata Jamaludin, orang tua AM, kepada iNews. Jamaludin mendapat info dari petugas Densus 88 yang datang ke rumah bahwa indikasi keterlibatan anaknya dianalisis dari media sosial.

Contoh lain penangkapan terduga teroris yang nyamar jadi tukang bakso pernah pula terjadi di Kabupaten Pesawaran, Lampung. Pada Mei 2018, Densus 88 menangkap SY (39), penghuni kontrakan di Dusun Margorejo II, karena diduga terkait jaringan terorisme. Sehari-hari SY adalah tukang bakso di Pasar Tamin, Bandar Lampung. Dari penyelidikan, SY diduga belajar paham radikal dari seorang distributor tempe.

Yudi Handoko, ketua RT setempat, menjelaskan bahwa SY dibawa polisi yang datang dengan lima mobil beserta senapan laras panjang. "Warga minta saya datang. Awalnya saya pikir narkoba. Ternyata coba lihat di situ, ternyata ada indikasi diduga teroris," ujar Yudi dilansir JPNN.

Iklan

Metode penyamaran teroris menjadi tukang bakso ternyata sudah beberapa kali terjadi. Pada 2011, Densus 88 pernah menangkap Juardi dan Faisal, dua dari enam terduga kawanan teroris di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Juardi dikenal warga sekitar sebagai pedagang bakso dan rumahnya memang digunakan sebagai tempat penggilingan daging.

Faisal, di satu sisi, diketahui warga sedang mengontrak di rumah Juardi sembari berdagang pentol. Komplotan ini ditangkap karena diduga menyiapkan serangan dengan menyebarkan racun sianida di kantin-kantin polisi di Jakarta. Intinya, sempatkan mengetik kata kunci ‘Densus 88+bakso’, muncul beberapa arsip berita sejenis

VICE bertanya kepada pengamat terorisme Nasir Abbas soal ini. Kenapa sih anggota kelompok teroris kok tidak cuma satu-dua yang memilih jadi tukang bakso? Menurut Nasir, penyamaran merupakan tindakan inheren anggota teroris untuk tetap bisa membaur dengan masyarakat sembari menyembunyikan rencana organisasi. Tapi dia membenarkan bila jadi tukang bakso memiliki keuntungan tersendiri.

"Secara statistik, sudah banyak napi terorisme ditahan polisi, hampir dua ribu. Kalau mau menilai keseluruhannya dari awal 2000 sampai sekarang, [bentuk penyamaran] itu macam-macam, bukan hanya tukang bakso. Namun, belakangan ini, sekitar 2019-2020, beberapa orang ditangkap berprofesi tukang bakso karena memang beberapa kemudahan [dari pekerjaan tersebut]," jawab Nasir melalui sambungan telepon kepada VICE.

Iklan

"Pertama, bakso itu kan makanan sehari-harinya orang Indonesia yang mudah dibuat. Kedua, modalnya tidak besar. Ketiga, rata-rata menggunakan gerobak kecil sehingga mudah dibawa keliling. Mereka kan hidup nomaden, peralatannya tak banyak, kontrak sana-sini," kata Nasir, mantan pemimpin Jamaah Islamiyah Asia Tenggara yang telah keluar dari dunia ekstremisme tersebut.

Tapi mana yang lebih dulu muncul: mereka dari awal tukang bakso yang kemudian teradikalisasi, atau sebaliknya, bergabung dengan jaringan teror lantas memilih profesi tukang bakso? Menurut Sidney Jones, opsi kedua lebih sering terjadi.

Jones selaku direktur Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC), yang rutin mengkaji bermacam konflik di Indonesia termasuk terorisme, menyatakan pola perekrutan jaringan teror dalam sel kecil senantiasa lebih dulu terjadi di pengajian. Sangat kecil anggota sel teror sengaja mencari tukang bakso di jalan untuk kemudian diajak bergabung.

"Dengan begitu, yang terjadi adalah orang-orang yang cukup terdidik sengaja mencari pekerjaan di sektor informal, bukan untuk menghindari aparat, tapi karena mobilitasnya amat tinggi," kata Jones. "Sudah sering kita temukan jaringan pelaku teror dalam lingkaran seperti ini: jaringan pedagang es, pedagang bakso, atau penjual roti."

Untuk perempuan yang bergabung dengan jaringan teror, kondisi serupa juga muncul. Bisnis-bisnis yang mereka pilih sebagian besar di sektor informal, seperti menjual cadar dan hijab. "Pemilihan profesi sektor informal ini membuat mereka leluasa bergerak, tetap mendapat pemasukan, serta memberi mereka waktu untuk terlibat pengajian internal," imbuh Jones.

Jadi begitu rupanya. Tapi kita tetap tidak boleh lupa, urusan menyamar jadi tukang bakso, polisi lebih sering melakukannya sih daripada anggota jaringan terorisme. Rutin jadi meme pula. Baru awal pekan ini, ada berita polisi menyamar jadi tukang bakso untuk meringkus bandar narkoba di Surabaya.

Mungkin, kapan-kapan, kami perlu bikin tes kecil-kecilan, bakso siapa yang lebih enak, intel polisi atau kriminal yang menyamar. Sebab, dengan begitu pertanyaan banyak orang bisa terjawab. Benarkah kita bisa tahu penjual bakso itu sebetulnya seseorang yang menyamar karena rasa dagangannya tidak enak?