Cerita di Balik Musik Ajaib Jóhann Jóhannsson Untuk Film 'Arrival'
Semua foto oleh Jónatan Grétarsson.

FYI.

This story is over 5 years old.

Musik

Cerita di Balik Musik Ajaib Jóhann Jóhannsson Untuk Film 'Arrival'

Komposer Islandia ini menceritakan perjuangannya menggubah OST film sains fiksi terbaik 2016.

Artikel ini pertama kali tayang di Noisey.

Beberapa tahun ke belakang, komposer asal Islandia Jóhann Jóhannsson makin diperhitungkan sebagai salah satu penggubah score film terbaik di dunia. Komposisinya untuk film The Theory of Everything masuk nominasi Oscar dan Golden Globe 2014 (dia menang di Golden Globe). Setahun kemudian, namanya lagi-lagi masuk nominasi Oscar lewat komposisinya dalam film Denis Villenueve, Sicario. Nama Jóhann kembali disebut dalam daftar nominator penerima Golden Globe atas komposisi score film terbaru Villenueve, Arrival, sebuah intepretasi cerita kedatangan alien ke bumi yang penuh makna.

Iklan

Sejatinya, Arrival adalah proyek kerjasama ketiga antara Jóhannsson dan sutradara mashur asal Perancis itu. Kerjasama mereka sudah dimulai pada tahun 2013, ketika Villenueve menggarap sebuah Thriller berjudul Prisoners. Dalam tiga kolaborasi mereka, Jóhannsson  selalu berhasil menunjukkan ketajaman langka untuk menggarap score yang berhasil menjadi bagian penting dalam bangunan film. Dia menggubah nyawa dan menempatkan musiknya dalam titik penting dalam sebuah film. Dan dalam Arrival, Jóhannsson kembali berhasil mempertontonkan kepiawaiannya itu. Di awal film, sebelum kita benar-benar tahu apa yang mendatangi Bumi, penggambaran sonik Jóhannsson atas misteri itu sanggup menandingi cara Villenueve membongkar fakta secara perlahan-lahan. Lalu, ketika pertanyaan itu akhirnya terjawab, Jóhannsson menimpalinya dengan memenuhi telinga ketika dengan bebunyian yang asing, eksotis sekaligus masih sangat Jóhannsson.

Setelah Arrival, Jóhannsson dan Villenueve akan kembali bekerja sama. Kali ini, yang mereka kerjakan bukan proyek sembarangan, Blade Runner 2049, salah satu film yang paling dinanti-nantikan saat ini. Prekuel dari film legendaris Blade Runner ini direncanakan tayang musim gugur tahun ini.

Jóhannsson lahir di Ibu Kota Reykjavík, Islandia. Ketika tumbuh dewasa, Jóhannsson banyak mendengar musik klasik, belajar memainkan piano dan trombone. Jóhannsson lama-lama kehilangan semangat belajar musik secara formal. Dia ganti mendalami linguistik, bermusik dalam sebuah kolektif shoegaze minimalis, dan mulai mencintai studio musik. "Saya terkagum-kagum akan proses produksi di studio, pengaturan lapisan sound dan penciptaan soundscape yang masif," ujarnya saat diwawancarai melalui telepon dari Berlin. "Layer gitar yang penuh distorsi. Pedal fuzz. Semuanya difilter dan diproses lewat Equalizer dengan reverb gila-gilaan. Setelah itu, baru ditumpuk dan dibentuk lagi."

Iklan

Dengan sengaja mengacungkan jari tengah pada studi musik formal, Jóhannson bisa menjaga selera musiknya tetap lebar, dinamis dan terbuka terhadap anasir-anasir musik yang sudah berumur ratusan tahun. Keragaman influence dalam musik Jóhannsson kentara terlihat dalam daftar musisi/komposer pasca tahun 1900 yang mempengaruhinya, membentang dari Karlheinz Stockhausen, The Jesus and Mary Chain, Suicide, dan Philip Glass—pengaruh dari nama-nama besar ini dioplos oleh Jóhannsson hingga dia menemukan identitasnya sendiri.

Gaya unik komposisi Jóhannsson pertama muncul dalam Englabörn, sebuah rekaman score teater yang berjudul sama. Teater itu sendiri dijabarkan oleh Jóhannsson  sebagai sebuah cerita "yang gelap, membikin bergidik tentang kekerasan dalam rumah tangga." Ia menambahkankan "Ceritanya menyoal sesuatu yang sangat menjijikkan—yang paling buruk dalam tabiat manusia. Reaksi saya malah sebaliknya, saya ingin menulis musik yang teramat indah."

Setelah menerima pujian dari para penikmat dan kritikus musik,  Jóhannsson mengembangkan score itu menjadi sebentuk suit agar bisa dinikmati sebagai sebuah album yang berdiri sendiri. Jóhannsson menambahkan bebunyian dari glockenspiel, celeste, organ, perkusi, kwartet musik gesek dan suara electronik ke dalam komposisinya yang melakolis, lembut sekaligus indah. Daya tarik utama Englabörn adalah kemampuan tanpa tanding Jóhannsson dalam menggunakan ruang dan mencampurkan influence dalam dirinya. "Bagi saya, komposisi ini mirip seperti sebuah momen euraka! bagi saya," katanya. "Apa yang saya lakukan sebelumnya seperti jadi jembatan menuju album ini."

Iklan

Pendekatan Jóhannsson dalam produksi album Englabörn nyatanya tak jauh berbeda dengan pendekatannya dalam menggarap score film. "intinya sih, anda tinggal menempatkan diri anda dalam kondisi sebagai seorang pendengar yang reseptif. Anda bereaksi pada setiap input yang diterima, input ini datangnya bisa dari mana saja. Pendekatannya selalu sama entah itu ketika anda menggarap album atau menggubah score film. Anda harus mengkondisi anda dalam posisi itu," papar Jóhannsson. "Tentu saja, ada beberapa parameter praktis dalam pembuatan score film yang tak anda temui kala menulis album. Tapi saya tak pernah membedakan keduanya. Lagipula, bagi saya, ada garis pemisah yang jelas antara Englabörn dan Arrival."

Score Arrival masih memiliki ciri-ciri sound yang serupa dengan Englabörn: permainan string yang emotif,  ketukan perkusi staccato yang khas, serta karakter yang kaya lagi kontemplatif, bukti bahwa Jóhannsson menghabiskan banyak waktu untuk mempelajari inti cerita.

Hasil gemilang kerja sama Jóhannsson dan Villeneueve juga punya pengaruh terhadap kekuatan score gubahan Jóhannsson. Villenueve memberikan kebebasan penuh kepada Jóhannsson untuk terus menggunakan pendekatan osmosis, hingga meski dengan konsep dan rangka visual yang telah tersedia, komposer bisa menempatkan diri sebagai pendengar, bereaksi terhadap input dan mengartikannya sekehendak hatinya.

"Dia sangat menyukai sesuatu yang bisa jadi pernyataan yang tegas," ujar Jóhannsson tentang Villenueve "Segala sesuatu yang punya individualitas dan, sukur-sukur, originalitas. Ini sih bukan klaim saya sendiri, tapi setidaknya itu yang berusaha saya capai."

Iklan

Salah satu alasan kenapa sound dalam score Jóhannsson terdengar begitu original dan penting dalam narasi sebuah film adalah karena Jóhannsson tak usah menunggu sampai filmya selesai digarap. Alhasil, score Jóhannsson tak cuma jadi pelengkap film. Komposisinya menyatu dengan DNA film. "Denis sangat bermurah hati, dia mengirimi saya material filmnya jauh-jauh hari. Dalam kasus Arrival, saya mulai merekam score di minggu mereka mulai mengambil gambar," ujar Jóhannsson. "Salah satu theme ditulis di minggu pertama pengambilan gambar. Akibatnya, selama pengerjaan film ini, Denis benar-benar dikelilingi sound score Arrival yang khas dari awal pengerjaan film."

Berdasarkan sebuah cerita fiksi pendek "Story of Your Life" karya Ted Chiang, cerita dalam Arrival dimulai ketika 12 kapal alien mendarat di 12 titik di Bumi. Setiap pesawat berhenti beberapa kaki dari permukaan Bumi. Ada keheningan luar biasa yang melingkupi pesawat-pesawat itu. Di dalamnya ada mahluk yang disebut Heptapod, bentuknya mirip seperti hasil kawin silang gajah dan ubur-umur. Pergerakan heptapod begitu luwes dan tampak bijaksana. Bahasa mereka terdengar aneh dan nonlinier. Cairan tinta berbentuk bulat yang kelua dari tentakel heptapod jadi satu-satunya kunci untuk membedah grammar bahasa mereka.

Dr. Louise Banks, diperankan oleh Amy Adams, adalah seorang ahli bahasa yang ditugaskan untuk memecahkan bahasa heptapod dan pada akhirnya mengungkap alasan kenapa heptapod sampai ke bumi. Setelah "bergaul" beberapa minggu lamanya dengan heptapod, Bank akhirnya berhasil memecahkan teka-teki sintaks dan menemukan bahwa mereka datang untuk menawarkan "senjata" atau bisa saja kata "senjata" itu berarti perkakas? Pertanyaan ini tak lekas bisa dijawab mengingat terbatasnya pengetahuan Banks terhadap semantik bahasa heptapod. Pakar bahasa di dunia ramai berdebat tentang intepretasi mana yang tepat, membuat petinggi militer bersumbu pendek kebakaran jenggot. Tentu saja, penduduk dunia pun ketar-ketir menanti jawaban yang pasti.

Iklan

Ketidakpastian jadi tema utama film ini. Haruskan manusia penasaran atau malah takut terhadap Heptapod? Kagum atau malah ciut? Jóhannsson berhasil menangkap celah antara emosi-emosi ini, memerangkap penonton selamanya di sana. Musiknya gubahannya berhasil meniru dilema dalam Arrival, bergantian menggambarkan ketakutan, rasa ingin tahu, kekerasan dan kepercayaan—kadang menggambarkan dunia emosi yang berbeda dalam satu waktu.

"Kami harus menempatkan penonton dalam posisi bertanya terus-menerus," ujarnya. Pilihan ini sangat riskan. Jika score terlalu menekankan teror, hasilnya jadi membangun atmosfer film horor. Sebaliknya, jika emosi lain yang ditekankan, momen-momen dalam film akan lewat begitu saja, tanpa kesan. Ini tantangan yang harus dihadapi Jóhannsson.

"Salah satu adegan yang paling rumit adalah ketika Banks bisa melakukan interaksi yang bermakna dengan heptapod [yang diiringi dengan sebuah komposisi berjudul "Hazmat"]. Tantangannya adalah menggambarkan sesutrau yang aneh atau gaib. Ada ketakutan, ada sensasi memasuki dunia antah berantah. Tapi, ada kekaguman dan sensasi berada di hadapan sesuatu yang lebih besar dari dirimu…mencari keseimbangan antara semua inilah tantangannya."

Jadi bagaimana Jóhannsson mencapai keseimbangan tersebut? Di "Hazmat", suara string yang mengawang-awang membuka komposisi tersebut dan terus berkembang, memberikan nuansa goyah dan tidak stabil.  Sebelum bagian string mencapai bagian klimaks, suara bass memotong masuk dan menyediakan frekuensi rendah sebagai support. Kemudian sound vibrato string berpencar seakan menari sendiri-sendiri tanpa ritme tetap. Semuanya terdengar seperti slow motion. Selagi instrumen-instrumen ini mengayun pendengar kesana kemari,  Jóhannsson memasukkan timbre-timbre baru yang terdengar aneh layaknya alien: sound glissando yang didistorsi, suara statis yang mengerikan, and finalnya, suara vokalis eksperimental Robert Aiki Aubrey Lowe (dikenal sebagai Lichens) yang seakan-akan muncul dari jurang ditemani oleh string. Jóhannsson berhasil mencapai keseimbangan karena musik gubahannya penuh dinamika. Musiknya bernafas, berkembang dan kemudian kembali turun—sama seperti manusia.

Iklan

"Bagian yang sering dikira orang bunyi bass synthesizer sebetulnya adalah suara Robert Lowe yang dilapis-lapis dan kemudian dilambatkan," jelas pria berumur 47 tahun itu. "Tidak banyak sound synthesizer di score Arrival. Ada beberapa beat synthesizer digunakan, tapi 99 persen suara yang dihasilkan di album ini semuanya alami atau dimainkan dan dinyanyikan oleh musisi di sebuah ruangan studio."

Setelah rekaman selesai, Jóhannsson mulai mengukir soundnya di studio—sesuatu yang telah menjadi keahliannya dalam hampir dua dekade terakhir. Bunyi-bunyi perkusi dilapis-lapis dalam sebuah komposisi yang ritmenya kerap terdengar ambigu. Bunyi brass yang aneh kian bertambah ramai di tengah dengungan vokal yang ringan. "Saya langsung sadar harus menggunakan sound, tekstur dan instrumen apa untuk score ini setelah membaca naskah film Arrival dan melihat beberapa konsep seni yang akan digunakan untuk cerita," katanya. "Jelas sekali bahwa suara manusia akan menjadi bagian penting dari score."

Jóhannsson menggunakan pengetahuan linguistiknya untuk menekankan peran suara manusia dan menggubahnya menjadi semacam prosodi manusia bercakap. "Bagi saya, aspek linguistik film ini adalah yang paling menarik," jelasnya. "Menggunakan suara manusia sebagai instrumen bertekstur… Saya ingin menggunakan bahasa manusia sebagai fondasi dasar score. Yang dinyanyikan bukanlah kata-kata, hanya humaman suku kata. Vokalnya terdengar seperti orang gagap yang gugup. Seakan-akan dia berusaha menciptakan bahasanya sendiri."

Iklan

Dalam Arrival, Heptapod memberikan manusia bahasa baru yang non-linear. Sebuah bahasa yang memberikan penuturnya kemampuan untuk mengalami waktu secara non-linear. Ditemani bahasa musik baru yang diciptakan Jóhannsson di latar belakang, para pemimpin negara-negara di film ini dikisahkan ragu-ragu untuk menerima hadiah ini dengan tulus atau merespon dengan kekerasan—banyak negara percaya bahwa alien sesungguhnya datang membawa senjata. Nasionalisme, kekuasaan dan keresahan menjadi tema dominan di film—tidak jauh berbeda dengan dunia nyata. Rasanya sulit menemukan film lain yang lebih pas menggambarkan keadaan dunia saat ini—sulitnya berkomunikasi dan saling mengerti satu sama lain di skala global.

Cerita sains fiksi yang baik membantu kita melihat kebudayaan melalui lensa yang berbeda. Cerita itu berfungsi sebagai tafsiran situasi semacam apa yang dihadapi manusia saat ini ataupun di masa depan nanti. Arrival berhasil melakukan ini dan score karya Jóhannsson menemani perjalanan film tersebut. Jóhannsson berhasil memberikan nyawa film ini dalam bentuk yang sangat manusiawi. "[Arrival] menyalurkan kekhawatiran manusia tentang banyaknya ketidakpastian di dunia saat ini," kata Jóhannsson. "Sepertinya banyak kehancuran di mana-mana."

Arrival merupakan cerminan dunia nyata yang sedang goyah. Setiap peristiwa besar bisa mendekatkan kita ke kejelasan atau malah kebingungan. Di film ini, implikasi yang ditampilkan terasa seperti ramalan dunia nyata. Ketidakpastian akan selalu ada, apalagi ketika terjadi pergeseran budaya dan politik. Jadi, kita harus selalu sensitif dalam berusaha mengerti orang lain. Kadang kita harus mempercayai seseorang hanya karena mereka adalah manusia. Tidak perlu alasan lain.

Arrival OST sudah dirilis via The Yellow Label.

Keagon Voyce adalah seorang penulis berbasis di Kota New York. Follow dia di Twitter.