FYI.

This story is over 5 years old.

Facebook

Perubahan Algoritma Membuat Kita Menyadari Punya Facebook Tak Lagi Penting Bagi Manusia Modern

Facebook sempat berubah fungsi jadi penyebar konten berita andalan. Hasilnya malah membiak hoax dan ujaran kebencian. Ketika ada perubahan kebijakan, kita tersadar. "Buat apa masih ada Facebook sampai sekarang?"

Bagi kakek-nenek dulu, memiliki pekerjaan, membina sebuah keluarga lalu bisa bekerja untuk menyajikan makanan di atas meja atau setidaknya tidak mati di medan perang sudah termasuk kehidupan yang layak. Tapi standar tak lagi sama bagi kita, generasi di bawahnya. Kita ingin sesuatu yang lebih: kita ingin tahu bahwa kita bukan sekedar individu tanpa makna yang bertebaran di dunia—kita membutuhkan makna dari hidup dan tahu bahwa kita memiliki nilai bagi dunia.

Iklan

Facebook Inc. adalah perusahaan pertama bernilai triliun dollar sukses mengeruk uang bukan dari pengolahan baja, minyak, produk atau perangkat komputer dan ponsel. Facebook kaya raya berkat merekam perjalanan kita dalam mencari makna kehidupan. Facebook mencomot pengalaman, pemikiran, ide, gairah dan rasa takut kita semua, lalu mengolahnya menjadi uang lewat bantuan periklanan yang menyasar demografi tertentu (targeted advertising). Lewat semua brand yang dikuasai Facebook Inc.—Facebook, Instagram, dan WhatsApp—bisa dibilang mereka memonopoli industri pencarian makna yang kini akrab dijuluki media sosial.

Tentunya, Facebook bukanlah perusahaan pertama yang mencari keuntungan dengan cara seperti ini. Sejak munculnya industri pemasaran, memberi makna ke hidup hanyalah cara bagi perusahaan untuk menjual lebih banyak produk. Ini adalah alasan Coca Cola menjual lebih banyak minuman soda dibanding Pepsi, atau penyebab orang masih lebih mempercayai mobil Jerman dibanding Jepang untuk urusan keamanan. Bedanya sekarang, dalam era Facebook, semua standar pemberian makna naik ke level yang lebih tinggi: perusahaan bukan hanya mendapatkan keuntungan finansial dari aspirasi receh seperti menginginkan jam tangan mewah atau tubuh yang lebih fit. Kesuksesan Facebook muncul dari sesuatu yang lebih mendalam: gurauan internal antar teman; status pukul 2 pagi yang diunggah seseorang yang tidak bisa tidur; foto profil yang memamerkan paha; seseorang ngescroll foto-foto lama ketika sedang kesepian. Itulah model bisnis Facebook—mereka berusaha mengkonversi kekacauan hidupmu menjadi momen-momen yang bermakna, yang kemudian dijual ke perusahaan lain.

Iklan

Fakta bahwa Facebook menjadi kaya kurang dari 10 tahun menarik perhatian banyak perusahaan lain. Bagaimana sih caranya masuk ke dalam industri pencarian makna seperti mereka? Banyak perusahaan sudah mencobanya. Merek-merek tradisional telah bergeser dari sekedar mengiklankan produk menjadi branded content. Dalam format konten macam itu, mereka mencoba menyentuh sisi mendalam identitas kita—manusia kebanyakan. Perusahaan perangkat lunak Lynx misalnya, yang dulu menjual fantasi remaja sange dari produk mereka dan menarik konsumer perempuan, tapi pada 2016 merulis seri video YouTube hitam-putih tentang makna maskulinitas modern.

Heineken membuat seri video tentang orang-orang yang memiliki perbedaan politik fundamental, dan Pepsi mencoba memanfaatkan meningkatnya aktivisme jalanan menggunakan Kendall Jenner. Video-video macam ini, kebanyakan durasinya terlalu panjang untuk televisi, mengandalkan Facebook untuk penyebarannya. Para pengiklan akan mulai berpura-pura menjadi temanmu, mengunggah video agar kamu bagikan ke orang lain—dan lucunya banyak sekali dari kita yang bersedia melakukan ini.

Banyak juga perusahaan baru bermunculan yang berperan sebagai parasit dalam ekonomi pencarian makna ini. Beberapa sudah eksis sebelum Facebook, dan menganggap Facebook berguna sebagai platform untuk menyebarkan jurnalisme dan hiburan yang mereka hasilkan. Perusahan lainnya menjadi homeless media (karena tidak punya situs) macam Uproxx, Now This dan AJ+. Semuanya merperhalus dan memassifkan proses penyebaran konten dengan cara mengindustrialisasikan ekonomi pencarian makna. Mereka akan mengambil sebuah video berisikan seorang perempuan berteriak ke seseorang dalam kereta dan menulis sebuah artikel berbasis perasaan berjudul “Perempuan ini menjadi viral setelah menghentikan ujaran seorang rasis di subway.”

Iklan

Fakta bahwa videonya direkam menggunakan ponsel seseorang, bahwa wawancara paska insiden tidak memiliki kualitas HD, bahwa kata-kata yang ditulis dalam video seolah mengarahkan bagaimana seharusnya kamu bereaksi—semua adalah bagian dari bagaimana kita bisa memberikan makna terhadap sesuatu di Facebook.

Video ini terasa penting dan seolah menegakkan keadilan. Ini bukan clickbait, tapi sebetulnya video semacam itu juga bukan berita, atau lebih tepat kita sebut saja berada di tengah-tengah keduanya: interaksi sosial biasa yang disajikan ulang secara profesional dalam bentuk video. Ada jutaan contoh lainnya: “Kamera tersembunyi menangkap ayah terbaik di dunia”, “Foto seorang Pengungsi Menatap sebuah Gym Menjadi Viral, Kini Dia Memiliki Keanggotaan Seumur Hidup,” “Perempuan Ini Menolak Seorang Fuckboy yang Tidak Bisa Berhenti Mengirim Pesan, dan Respon Lelaki Ini Adalah Alasan Mengapa Dunia Kencan Modern Menyebalkan.” Cerita-cerita ini bermaksud meniru interaksi sosial sesungguhnya, tapi dibikin lebay, sehingga mereka terdengar lebih menarik daripada sekedar komentar teman-teman kita sendiri.

Memang, akhirnya kebanyakan teman kita berhenti mengunggah status mereka sendiri dan membagikan postingan-postingan macam ini. Tindakan macam itu adalah rahasia kotor dari media “sosial” Facebook: makna sosial memakai FB bukan dalam artian tradisional seperti melakukan percakapan; tapi lebih seperti Gogglebox, audiens menonton orang lain menonton dan bereaksi ke seseorang yang mereka tidak kenal. Perusahaan yang mendistribusikan titik fokus postingan-postingan ini dibiarkan tumbuh sangat cepat karena dibiarkan oleh Facebook yang memberikan mereka jutaan konsumen apabila kontennya terbukti di-share oleh banyak orang.

Iklan

Facebook tidak pernah netral soal proses ini: mereka menuntun kita tentang apa yang harus kita rasakan, persahabatan macam apa yang harus kita hargai, pemikiran yang harus kita miliki. Minggu lalu, Mark Zuckerberg mengumumkan sebuah perubahan besar di Facebook, mungkin yang terbesar sejak perusahaan ini keluar dari ranah kampus dan bisa digunakan semua orang. Dia akan menghapus semua konten yang dibuat oleh brand, publisher, dan organisasi berita, jelasnya, dan membuat Facebook berfokus lebih di interaksi antara orang-orang nyata. Alasan dia melakukan ini, jelas Zuckerberg, adalah untuk menciptakan “lebih banyak interaksi sosial bermakna”.

Teori di belakang keputusan ini, sama seperti semua yang dilakukan Facebook, adalah hasil riset dan wawancara mendalam bersama konsumennya. Zuckerberg mengatakan:

“Ketika kita menggunakan media sosial demi berhubungan dengan orang-orang tercinta, hasilnya berdampak baik bagi kesehatan mental pengguna Facebook. Kita akan merasa lebih terhubung dan tidak kesepian, dan ini berkorelasi dengan kesehatan dan kebahagiaan jangka panjang. Di sisi lain, membaca artikel dan menonton video secara pasif—biarpun mereka menghibur atau informatif—tidak menghasilkan dampak yang sama.”

Perubahan ini sudah dimulai, dan Facebook mengatakan dampaknya akan dirasakan oleh semua orang dalam waktu beberapa bulan ke depan. Dalam news feed saya, dampaknya mulai terlihat.

Untuk mendemonstrasikan seperti apa perubahan ini, Saya baru saja mengambil screenshot dari semua yang muncul di feed Facebook saya (kecuali tautan ke artikel VICE, yang dibagikan oleh kolega-kolega saya, yang tentunya unik bagi situasi saya sendiri).

Iklan

Masalah dengan Facebook baru adalah kurangnya konten bermakna dihasilkan oleh pengguna untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan brand dan publisher. Memang, sesekali ada status yang menarik perhatian banyak orang, seperti: sebuah film bagus yang sedang dibuat, cerita luas biasa setelah seseorang keluar dari pekerjaan mereka, atau status sepanjang 600-kata yang menceritakan seberapa buruknya toilet area peristirahatan di jalan tol. Tapi kebanyakan isinya hanyalah orang meminta rekomendasi akuntan atau tujuan liburan. Kebanyakan dari kita sudah berhenti berbagi hal pribadi ke Facebook semenjak lama, dan membiarkan para publisher mengambil alih. Kini, mereka telah diusir, dan tidak ada lagi interaksi sosial bermakna, hanya semacam papan pengumuman yang membosankan.

VICE tentunya juga bukan seorang peserta netral dalam perdebakan ini: VICE juga mengandalkan Facebook untuk mendapatkan pembaca, dan sama seperti media massa lainnya. Kami akan kehilangan beberapa pembaca akibat perubahan algoritma ini—perubahan yang menurut kolega kami di Motherboard mungkin tidak akan berakibat buruk bagi media dalam jangka panjang. Tapi akan seperti apa nasib Facebook nanti? Data yang bocor dari 2016 menunjukkan orang-orang sudah tidak lagi mengunggah konten pribadi di situs, dan tanpa kehadiran publisher atau konten pribadi bermakna, apa yang tersiksa? Tidak banyak menurut sebuah survei dari media online The Verge yang diterbitkan tahun lalu, yang mengatakan bahwa dari lima perusahaan teknologi besar, Facebook memiliki persentasi terendah dalam hal konsumen yang menyukai produk dan jasa mereka, angka terendah dalam dalam kesediaan orang untuk merekomendasikan produknya ke teman, dan persentasi tertinggi dalam hal ketidakpercayaan konsumen.

Beberapa lama ini, lewat fitur “On This Day”, Facebook berusaha mengingatkanmu akan waktu di mana situs mereka memainkan peran dalam pengalamanmu yang bermakna, ketika kamu masih mengunggah album foto dan menulis di tembok teman. Tapi coba lihat saja notifikasimu, isinya apa coba? Seorang teman SMP yang menjadi promotor dan mengundangmu datang ke klab malam yang tidak pernah kamu datangi, dan ribuan notifikasi dari berbagai grup yang lupa kamu nonaktifkan.

Facebook telah dibodohi oleh mitos ciptaan mereka sendiri—bahwa Facebook masih menjadi tempat berisikan individu yang menciptakan momen-momen luar biasa yang harus dibagikan. Dalam realitanya, Facebook menjadi tempat di mana kita semua semakin terasing dan sulit mempercayai orang lain. Sebuah platform yang tidak lagi menarik bagi kita untuk berbagi konten apapun. Pencipta konten—mulai dari pengiklan, media tradisional dan industri “perasaan” yang baru—adalah tirai yang menutupi kebenaran dari kesadaran kita. Kebenaran yang sudah lama terungkap tapi tak dibahas terbuka: bahwa Facebook sejak lama sudah tidak lagi bermakna bagi hidup kita.

@samwolfson