FYI.

This story is over 5 years old.

Musik

Pentas Teater Tentang Lester Bangs Bikin Saya Sadar Betapa Kacrutnya Jurnalisme Musik Masa Kini

'How to Be a Rock Critic,' sebuah drama off-Broadway yang terinspirasi kisah hidup Lester Bangs menyadarkan kita kalau fungsi kritikus musik sudah jauh bergeser saat ini.
Abdul Manan Rasudi
Diterjemahkan oleh Abdul Manan Rasudi
Foto oleh Craig Schwartz

Tahun lalu The Paris Review, Dean of American Rock Critics, Robert Christgau menjuluki saya, seorang penulis musik antah berantah yang mungkin tak pernah kalian kenal, sebagai Lester Bangs. Entahlah bagaimana Christgau sampai ke kesimpulan ajaib ini. Mungkin, ini sih dugaan saya belaka, karena saya—seperti juga Bangs yang teas pada usia 33 tahun—adalah penulis yang berangasan. Saya dan Bangs rasanya juga masuk dalam kelompok yang bisa dinamai Front Pembela Rock dan saya juga enggak pernah mencuci celana jeans saya. Makanya, ketika saya mendengar tentang How to Be a Rock Critic, sebuah pertunjukan teater tentang hidup Bangs, saya merasa berkewajiban menontonnya secara langsung.

Iklan

Cuma sebentar deh, sebelum berlarut-larut, biar saya bikin disclaimer dulu: Lester Bangs bukan dewa pujaan saya. Sumpah! Bangs bukan alasan saya terjun sebagai penulis musik dan saya enggak memuja Bangs sekhusyuk penulis musik (pria) lainnya. Asal tahu saja, saya merasa tulisan Bangs busuk. Di puncak kekerenannya, gaya menulis gonzo Bangs memang mendobrak kekakuan jurnalisme musik dan membuka jalan bagi penulis musik yang pengen Lester Bangs KW super. Namun, kalau penyakitnya kumat dan sedang teler, Bangs menulis seperti kakek-kakek ngedumel enggak jelas.

Penulis How to Be a Rock Critic Jessica Blank (yang berperan sebagai sutradara pementasan) dan Erik Jensen (yang bermain sebagai Bangs) menggali kumpulan tulisan Bangs dan wawancara dengan rekan-rekan kritikus legendaris itu selama menulis skenario pementasan. Bentuk pementasan yang mereka pilih adalah monolog, format yang seperti paling cocok untuk menggambarkan jalan hidup seorang kritikus yang menulis bak sedang coli itu. Semua adegan pementasan berlangsung di sebuah set yang mirip apartemen Bangs yang acak adut. Botol bir, plat Van Morrison dan The Velvet Underground serta kadang resep untuk menebus pil berserakan di sana-sini.

Meski dijuduli How to Be a Rock Critic, pementasan ini tak sekalipun bertujuan memberi kursus singkat menjadi seorang kritikus sekelas Lester Bangs. Sebaliknya, pentas ini juga bukan sebuah biografi singkat tentang kehidupan Bangs. Kendati detail-detail kisah hidup Bangs ditebarkan di sana-sini—tumbuh besar sebagai pemuda Burroughs yang tergila-gila ajaran Saksi Yehova, jadi saksi perkosaan massal yang dilakukan anggota geng motor Hell’s Angel dan bertualang menjelajahi lanskap rock and roll pada tahun ‘60an dan ‘70an, pementasan How to Be a Rock Critic lebih mengedepankan bagaimana penggemar musik obsesif yang terus rewel mengkritik musik—seakan dia bakal jatuh sakit kalau berhenti melakukannya—memanfaatkan musik sebagai kacamata untuk mengkritik segala sesuatu yang menurutnya keliru di dunia ini. Kisah hidup Bangs, dalam pementasan ini, tak lebih adalah pencarian panjang akan makna yang lebih besar dari satu akor ke akor lainnya. Patut diingat bahwa Bangs adalah seorang pria yang mendengarkan satu lagu James Taylor dan segera menuliskan 900 kata tentang betapa lagu itu menyadarkan kita tentang segala yang salah dalam masyarakat kita. Atau, paling buruknya, Bangs adalah pria yang suka mansplaining lagu “Wild Thing”-nya The Troggs cuma biar bisa bobo sama cewek.

Iklan

Namun, kendati disebut sebagai jelmaan Lester Bangs masa kini, yang terus terlintas di kepala saya selama nonton How to Be a Rock Critic adalah bagaimana fungsi seorang kritikus sudah jauh berbeda sejak Bangs meninggal dunia lantaran overdosis obat-obatan terlarang pada 1982 saat mendengarkan album Dare!-nya The Human League. Pikiran yang sama juga muncul saban kali saya nonton karakter Lester Bangs yang diabadikan dalam film Cameron Crowe yang beredar pada 2012 Almost Famous. Diperankan oleh mendiang Philip Seymour Hoffman, Bangs memberi wejangan yang kurang menggembirkaan bagi seorang penulis rock muda William Miller. Situasi yang dialami Willer pernah juga terjadi pada saya: seorang anak kuliahan pernah mengajak ngopi bareng. Tujuannya jelas: anak ini bakal mengolok-olok keputusan saya terjun langsung ke ranah kritik musik. Pertemuan ini cuma bikin saya keki. Selama ngobrol, saya benar-benar menahan diri untuk enggak narik kemeja, menarik kerah bajunya dan bilang “udah mendingan lo kuliah hukum saja.” Hoffman, di film Almost Famous, setidaknya jauh lebih bersahabat dibanding anak kuliahan yang tadi saya ceritakan. Dia cuma memberikan nasehat yang lebih berfaedah: “kalau kamu beneran mau jadi jurnalis rock, ingat, kamu enggak bakal dibayar tinggi, tapi seenggaknya kamu dapat album gratis dari perusahaan rekaman.”

Sayangnya, maaf ya William Miller, nasehat Bangs atau dalam hal ini Hoffman, sudah ketinggalan zaman. Begini kondisi jurnalis rock pada tahun 2018: gajimu masih seiprit. Malah dengan makin mencekiknya inflasi, jumlah uang yang sampai ke kantong makin sedikit. Sudah gitu, honor tulisan juga baru turun setelah kamu gigih meneror bagian keuangan tempat menulis. Yang paling parah, seringnya bayaran yang kamu terima bentuk pepesan kosong bernama “good exposure.” Celakanya lagi, label sudah dari beberapa tahun lalu berhenti mengirimi kritikus musik album gratis. Yang kamu terima sekarang adalah link-link soundcloud, bandcamp, YouTube atau Reverbnation. Kalau sedang tak beruntung, kamu malah dikirimi materi band jelek dengan liner note yang lebay. Label musik di tahun 2018 masih sangat konservatif kalau sedang merilis artis-artis tenarnya. Jadi promotional kit mereka biasanya disertai dengan link-link streaming—yang enggak bisa didownload. Agar penulis musik bisa menyusun sebuah reportase atau kritik (yang bagus), dia harus mengklik satu persatu lagunya. Begitulah, Bung dan Nona, cara musik dinikmati di zaman streaming ini. Dapat Plat atau CD gratis? No way!

Iklan

Layaknya adegan dalam Almost Famous, How to Be a Rock Critic juga penuh momen kecil yang menarik saya keluar dari apartemen Bangs yang kotor di New York (yang kini, saya yakin banget, sudah digusur dan diubah jadi kondominium dengan harga sewa selangit) dan menempatkan saya pas di tengah realita jurnalisme musik kekinian. Dari awal pementasan, Jensen yang lebih sering kelihatan seperti Jim Carrey yang cengangas cengenges daripada Hoffman yang cool sudah mengetengahkan dilema soorang penulis rock di hadapan penonton: “bayarannya kecil, nulis musik rock juga enggak bikin kamu tidur sama cewek. [suara tak terdengar jelas]…terus ngapain dijabanin?”

Menjadi kritikus, katanya, sama saja “seperti menularkan seleramu ke orang lain” dah akibatnya “orang lain akan membencimu dan ngomong langsung ke depan mukamu.” Di 2018, anggapan cuma benar setengahnya. Publik masih akan terus membencimu. Yang ini masih benar sampai sekarang. Bedanya, orang enggak lagi punya nyali buat ngomong langsung ke mukamu. Saat ini, pembacamu lebih doyan mengumpat di kolom komentar Facebook. Kali lain, mereka bakal ngirim email isinya caci maki belaka. Yang nyalinya minus, bakal menyindirmu lewat subtweet. Saya sudah pernah merasakan semuanya. Saya juga pernah dicaci maki di atas panggung meski tak seperti Bangs nama saya belum dijadiin lirik lagu. (btw, kalau ada yang minat bikin larik lagu yang mencatut nama saya, tolong diingat nama saya berima dengan “Nazi.” Terimakasih.)

Iklan

Bangs adalah makhluk anti sosial yang lebih suka berkata jujur daripada berteman. Karenanya, saya enggak bisa membayangkan bagaimana Bangs bakal hidup di zaman media sosial ini. Andaikan saja campuran mematikan Valium dan NyQuil tak jadi menewaskan Bangs pada 1982, rasanya Twitterlah yang bakal membunuhnya sekarang. Mungkin pada awalnya, Bangs bakal menyukai Twitter. Mudah membayangkan bagaimana dia mengoceh bebas dalam 140 karakter di pelantar tersebut. Di sisi lain, Bangs bakal dibikin jengah oleh kubu-kubu penulis muncul di Twitter.

Saya enggak tahu berapa lama setiap orang menghabiskan waktu berburu musik di Twitter. Yang saya tahu, Twitter tak jauh berbeda dengan, well, comberan. Di satu sisi, Twitter adalah kanal yang sangat membantu para penulis. Lewat Twitter, penulis mendapatkan akses langsung ke editor, artis dan publikasi. Twitter juga membantu penulis agar tetap “relevan.” Masalahnya, di sisi lain, twitter adalah semacam echo chamber di mana penulis musik saling menghibur dan menutup diri dari para pengkritiknya. Singkatnya, twitter adalah tempat para penulis bisa coli bareng.

Penulis musik juga kerap gagal membedah musiknya sendiri. Yang ada penulis musik malah menghabiskan waktu menyusun narasi di sekitar musik itu sendiri. Atau, mereka malah senang membalas tulisan jurnalis musik lainnya seakan sedang terlibat dalam poetry slam. Nah, mereka ini pada akhirnya menulis untuk audiens yang….kita sendiri tak tahu sendiri. Mereka tak berusaha mencerdaskan pembacanya. Mereka menulis cuma untuk sesamanya. Kritikus musik masa kini hanya menulis demi like dan lambang hati di Facebook. Penulis musik zaman sekarang, harus diakui, memang menghamba pada jumlah like dan share, yang kian kemari jadi takaran bagus tidaknya sebuah artikel musik.

Iklan

Yang paling berbahaya, penulis musik kekinian cuma jadi kaki tangan para musisi. Penulis seakan punya kewajiban menyenangkan para musisi. Lagipula, pada akhirnya, satu share atau retweet bakal berimbas pada baiknya jumlah klik dan modal sosial seorang penulis (yang, seperti saya bilang di atas, satu-satunya kapital yang bisa kita dapat sebagai penulis musik).

Kalau Bung dan Nona, penasaran seperti metode jurnalis musik masa kini berkerja, begini kira-kira inti sarinya: saya, misalnya, sering kali dapat usulan band/musisi yang bisa saya tulis dari para publicist dengan menyebut-nyebut angka media sosial mereka (“64 ribu like di Facebook/39 ribu follower di Instagram/23 ribu follower di Twitter”). Di sinilah, batas antara publicist dan penulis mulai pudar. Alhasil, kritik musik cuma jadi copy-paste press release belaka yang sudah pasti memuji artis itu-itu saja. Karya-karya—kalau masih bisa disebut karya ya—macam inilah yang ujung-ujungnya menenggelamkan tulisan, opini, ulasan berbobot tentang musik ke jurang tanpa dasar.

Singkatnya, penulis musik zaman sekarang memang terlalu takut membuat kesalahan. Sejatinya, kekhawatiran macam ini sangatlah berdasar. Kita toh tak hidup di zaman majalah Creem lagi ketika kesalahan amatan dan penulisan bakal terlupakan begitu edisi baru muncul dan edisi lama Creem mulai berakhir di tukang loak. Di zaman internet, kesalahan seorang penulis dapat selamanya diakses pembaca kapanpun. Seperti yang saya tulis sebelumnya, review musik beberapa tahun terakhir makin sering bernada positif. Ulasan musik yang dengan berani mencerca sebuah album—tentunya dengan argumentasi yang berbobot—makin langka. Ini pasti bikin mendiang Bangs naik pitam. Bangs sendiri pernah mengolok-olok debut album Black Sabbath sampai Ozzy menyebutnya pretentious dickhead 40 tahun kemudian dalam autobiografinya. Kini, penulis musik memilih bermain aman. Mereka enggan menghujat nama-nama besar di dunia musik. Kalaupun mereka berani mencerca sebuah album, para penulis masa kini cuma menyasar musisi yang karyanya secara garis besar dianggap jelek oleh banyak orang seperti Ed Sheeran atau Coldplay.

Iklan

Kondisi yang buruk ini juga dijumpai pada majalah-majalah musik itu sendiri, yang jumlahnya tinggal segelintir dan menunggu giliran dicaplok perusahaan induk yang lebih besar. Kendati demikian, konflik macam ini bukan sebuah gejala kontemporer. Dalam salah satu adegan di How to Be a Rock Critic, Bangs ngomel-ngomel sebab Rolling Stone mulai mulia menolak reviewnya karena terlalu nyata. Gara-gara menghujat artis-artis ternama, majalah musik kehilangan slot iklan ratusan dollar dari beberapa label. Ini segera mengingatkan saya pada pengungkapan yang dilakukan MTV News akhir tahun lalu: situs tersebut terpaksa menghapus tulisan berisi kritik halus kepada Chance The Rapper karena tekanan dari manajemen sang rapper.

Beberapa bagian dalam How to Be a Rock Critic masih relevan, salahnya ketika Bangs menyebut sebuah paragon yang pernah diperanginya mati-matian pada 1972. Ungkapan itu berbunyi “musik rock sudah mati!” Penonton pementasan, yang kelihatan seperti penggemar musik rock setengah baya, seperti adalah sekelompok orang yang percaya bahwa musik rock mencapai puncaknya pada dekade 70an. Namun, seperti halnya, Saturday Night Live, orang selalu keliru menganggap bahwa rock and roll yang bagus hanya ada di masa lama dan karenanya selalu gagal mengapresiasi inkarnasi terbaru genre itu. Malah sejatinya, membela rock and roll adalah topik pertama dalam kuliah besar bernama Rock Journalism.

Satu hal lagi yang benar adanya sampai sekarang adalah ketika Bangs sesumbar bahwa menjadi seorang kritkus bisa “coli lima kali sehari, ngedengerin album musik dan nonton TV.” Bangs benar, ini adalah “benefit” kritikus musik yang bisa kami banggakan di depan rekan-rekan kami yang punya kerjaan dengan benefit dan sistem jaminan hari itu yang mentereng.

Tetap saja, setelah ngeracau sebanyak ini, saya masih bingung kenapa saya dimirip-miripkan dengan Bangs. Namun, selagi saya menulis review sebuah pementasan tentang kehidupan Lester Bangs, saya menyempatkan diri untuk mengumpat, mengeluarkan unek-unek, mengobral kritik terhadap jurnalisme musik masa kini serta nulis ngalor ngidul tanpa sekalipun menjawab pertanyaan itu.

Saya harap Bangs tersenyum di atas sana.

Sayangnya, Dan Ozzi punya akun Twitter ,.