Menghapus UN

Memahami Alasan Berulang Kali Ganti Mendikbud, Penghapusan UN Sekadar Wacana Doang

Nadiem Makarim sempat menyinggung ide penghapusan ujian nasional, walau belakangan meralatnya. Kenapa sih UN selalu dianggap bermasalah, tapi menghapusnya jadi langkah politik yang berat?
Mendikbud Nadiem Makarim Usul Penghapusan UN Ujian Nasional Tapi Sekadar Wacana Doang
Ilustrasi pelaksanaan UN di SMA dan SMK Indonesia. Foto oleh Romeo Gacad/AFP

Tak lama setelah ia menjabat, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim mencanangkan gagasan menghapus Ujian Nasional (UN). Ini bukan kali pertama rencana tersebut mengemuka di publik. Mendikbud terdahulu, Muhadjir Effendy, juga pernah mengajukan wacana serupa di awal masa jabatannya pada 2016 lalu.

Di tahun 2016 itu, sebagai tindak lanjut rencana penghapusan UN, pemerintah bahkan telah bersiap memberlakukan moratorium pada pelaksanaan UN di tahun 2017. Langkah moratorium UN seakan telah dipersiapkan dengan begitu matang. Finalisasinya pun hanya tinggal menunggu rilis Instruksi Presiden (Inpres). Nyatanya, wacana moratorium tersebut di kemudian hari urung terwujud. Dalam kasus Nadiem, nyatanya UN juga kembali batal disentuh. Tahun depan, ujian nasional masih digelar.

Iklan

"Yang sudah pasti 2020 kan masih akan jalan UN. Itu kan sudah kami umumkan, biar tenang bagi yang sudah belajar dan sebagainya," kata Nadiem, seperti dikutip Kompas.com, saat ditemui media pada Minggu (1/12) lalu. "Jadi ini prinsipnya bukan menghapus, tapi memperbaiki esensi dari UN itu, apa untuk menilai prestasi murid atau sistem."

Presiden Joko Widodo, dalam periode pertama pemerintahannya, memutuskan UN tetap diselenggarakan. Keputusan itu disampaikan Jokowi setelah ia menggelar dua kali rapat terbatas bersama kabinetnya. Alasan pembatalan moratorium UN 2017 diakui oleh Muhadjir Effendy banyak didasari pertimbangan politis.

Kini, realisasi dari wacana penghapusan UN kembali dikaji oleh pemerintah melalui Kemendikbud. Koran Tempo melansir bahwa Selasa lalu (26/7), representasi dari Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan staf khusus Menteri Pendidikan membahas hal tersebut bersama Badan Standar Nasional Pendidikan (BNSP). Ketua BNSP, Abdul Mu’ti, menjelaskan bahwa pertemuan itu digelar dalam rangka mengevaluasi kebijakan dan regulasi terkait sistem pendidikan Indonesia, termasuk mengenai UN.

Kepada Tempo, Sekretaris BSNP Arifin Junaidi menjelaskan dua opsi yang berkembang dalam diskusi, yaitu penghapusan total ujian nasional atau pengadaannya yang kini tak lagi dilaksanakan di tahun terakhir studi. Di opsi kedua ini, kemungkinannya UN diperuntukkan bagi siswa tahun kedua di tingkat sekolah menengah, yakni kelas VIII SMP dan kelas XI SMA. Pertimbangan untuk opsi kedua tersebut adalah agar sekolah bisa berkesempatan untuk memberi evaluasi dan perbaikan bagi siswanya pasca UN.

Iklan

"Tapi, sampai saat ini, belum ada yang final. Yang sudah final itu adalah ujian nasional tetap ada pada 2020," kata Arifin.

Sementara itu, dukungan terhadap wacana penghapusan UN terus bermunculan. Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mengaku siap mengikuti apapun keputusan selanjutnya dari Kemendikbud, termasuk bila tak ada lagi UN.

"Saya selalu menanggapi positif terhadap pernyataan dari pejabat selevel menteri, karena saya asumsikan itu muncul sudah dalam kajian, kan begitu. Gagasan kan tidak sembarangan,” kata Ridwan Kamil, saat diwawancarai media.

Pernyataan dukungan juga disampaikan oleh Indra Charismiadji, pemerhati pendidikan dari Center of Education Regulation and Development Analysis. Dalam wawancaranya dengan Tempo, Indra menganggap UN sangat tidak efektif menjadi tolok ukur kemampuan siswa. Indra lebih mendukung sistem pendidikan yang menyediakan ruang untuk berkreasi, sehingga karya yang dihasilkan bisa menjadi portofolio bermanfaat, baik bagi guru maupun siswa.

"Negara-negara lain juga sudah menghapus standardisasi tes model ujian nasional. Ini era portofolio," ujarnya.

Di sisi lain, Anggota Komisi X DPR RI Andreas Hugo Pareira menyatakan sebagai konsekuensi penghapusan UN, Kemdikbud tetap harus mampu menyediakan sebuah sistem evaluasi alternatif sebagai penggantinya.

"Bukan soal setuju, tidak setuju, dan bukan juga penghapusan UN, tetapi mengganti UN dengan konsep alternatif apa? Karena bagaimanapun seorang siswa yang menjalankan proses belajar perlu melalui fase evaluasi, dan bentuk evaluasinya seperti apa. Hal ini yang perlu dijelaskan oleh pemerintah," kata Andreas, sebagaimana dikutip Detik.

Mengenai sistem alternatif pengganti UN sendiri, Kemdikbud menyatakan bahwa mereka masih berusaha merumuskannya. Jika berkaca pada laporan Koran Tempo, penilaian terhadap kemampuan siswa bisa jadi tidak akan digelar di tahun terakhir masa studi dalam sistem baru pengganti UN. Di samping itu, penilaian secara kualitatif juga akan lebih banyak ditekankan dalam sistem baru tersebut.