FYI.

This story is over 5 years old.

Rohingya

Aung San Suu Kyi Dianggap Membiarkan Penumpasan Etnis Rohingya

Dikritik sudah. Didesak sudah. Dikomentari oleh negara-negara lain sudah. Apalagi yang harus dilakukan agar peraih Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi bersikap dalam kasus penumpasan etnis Rohingya?
Vice staff

Artikel ini pertama kali tayang di VICE News.

Pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi menerima kritik pedas dari Yanghee Lee, Utusan Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Myanmar, karena dinilai gagal menghentikan kekejian militer Myanmar terhadap etnis minoritas muslim Rohingya. Hingga berita ini dilansir, kekerasan militer terhadap warga Rohingya di Provinsi Rakhine telah menelan korban ratusan ribu orang dan memaksa lebih dari 100 ribu lainnya kehilangan tempat tinggal. Yanghee Lee mengatakan bahwa Suu Kyi sebagai peraih Nobel Perdamaian "perlu segera turun tangan. Lagipula, itu tindakan yang kita harapkan dari pemerintah Myanmar, untuk melindungi semua orang dalam yuridiksinya," ujarnya. Setidaknya 87 ribu penduduk etnis Rohingya, kelompok muslim minoritas yang mengalami persekusi parah di negara mayoritas Buddha, diusir dari kampung halaman mereka lewat "operasi pembersihan" di provinsi Rakhine sejak akhir bulan lalu. Sepuluh hari terakhir, minoritas muslim Myanmar dipaksa melarikan diri menuju perbatasan Bangladesh, ujar juru bicara UNHCR awal pekan ini. Menurut beragam laporan, 20 ribu orang pengungsi Rohingya masih terperangkap dalam kondisi yang mengenaskan tanpa akses terhadap bahan makanan dan obat-obatan di Provinsi Rakhine. Laporan terbaru menyebutkan 20 orang tewas tenggelam ketika mencoba menyeberangi sebuah sungai. Aksi Militer terakhir Myanmar yang terjadi pada 25 Agustus lalu adalah operasi saat mereka membalas tindakan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA), kelompok pemberontak Rohingya. Serangan pemberontak menelan korban 12 orang tewas dari dari pihak militer. Para pengamat, termasuk di dalamnya beberapa staf senior PBB, menuding militer Myanmar menerapkan kebijakan diskriminatif pada etnis Rohingya yang bertujuan memusnahkan etnis muslim minor tersebut. Pemerintah Myanmar sampai sekarang masih mengelak dari semua tuduhan itu. Provinsi Rakhine saat ini masih tertutup bagi awak media dalam maupun luar negeri, namun laporan kelompok pembela HAM melaporkan terjadinya pembantaian massal yang diprakarsai oleh militer Myanmar dan gerombolan vigilante setempat, salah satunya adalah pembantaian di Desa Chut Pyin Rabu pekan lalu. Lebih dari 200 orang warga sipil dikabarkan tewas dalam insiden serangan militer Myanmar tersebut. Human Rights Watch telah merilis sebuah gambar yang menunjukkan lebih dari 700 rumah diobrak-abrik di Desa Chein Khar Li. Sementara, foto-foto satelit memperlihatkan banyak titik api pada area padat penduduk, yang dihuni komunitas muslim, di wilayah utara Rakhine. Sejak berkuasa mulai 2015 lalu, Suu Kyi, ikon HAM ternama yang pernah menjadi tahanan rumah selama 15 tahun lantaran dikenal vokal melawan pemerintah junta militer Myanmar, segera menghadapi gelombang kritik lantaran gagal menghentikan kekejian terhadap etnis Rohignya, etnis minoritas yang dianggap mengalami persekusi paling parah di dunia. Etnis Rohingya, kini populasinya mencapai satu juta orang, sejak berabad-abad sebetulnya tak pernah punya masalah ketika mendiami provinsi Rakhine. Baru pada 1962, atas manuver junta militer, mereka tak diperkenankan memiliki status kewarganegaraan Myanmar karena dianggap sebagai pengungsi ilegal dari Bangladesh. Lebih dari 100 ribu orang etnis ini terpaksa hidup di kamp-kamp dengan kondisi menyedihkan, sedangkan ratusan ribu lainnya harus melakukan perjalanan laut dan darat yang berbahaya tanpa dokumen resmi demi menghindari persekusi. Sebagian pengamat mengakui posisi Suu Kyi sangat pelik. Militer Myanmar, yang menguasai Myanmar selama beberapa abad, masih memiliki pengaruh besar kendati pemerintahan sekarang lebih demokratis. Seperempat kursi parlemen Myanmar juga diduduki oleh utusan tentara. Kondisi seperti ini memaksa Suu Kyi untuk terus menjalin hubungan baik dengan pihak militer. Namun, malapetaka di Provinsi Rakhine mengharuskan Suu Kyi segera "turun tangan," ujar Lee. Skala pengungsian dari Rakhine sekarang jauh melampui apa yang terjadi pasca serangan militer Oktober tahun lalu, yang mengakibatkan 850 ribu penduduk etnis Rohingya kabur menuju area perbatasan guna menghindari tindakan keji seperti pembunuhan, pemerkosaan, dan penyiksaan oleh warga dari etnis mayoritas disokong elemen militer.

Malala Yousafzai, peraih Nobel Perdamaian lainnya, belakangan ikut melayangkan kritik terhadap Suu Kyi. Hari minggu lalu, Malala mengatakan bahwa dirinya masih menunggu Suu Kyi angkat bicara tentang Rohingya. "Aku sudah berkali-kali mengutuk perlakuan tragis dan memalukan terhadap etnis Rohingya. Aku masih menunggu Suu Kyi, yang juga meraih Nobel Perdamaian sepertiku, untuk melakukan hal yang sama," tulis Malala.

Suu Kyi semakin mengecewakan komunitas internasional, saat pekan lalu merilis pernyataan resmi yang menuduh sebagian organisasi yang mengirim bantuan kemanusiaan justru membantu "teroris" di Provinsi Rakhine. Pernyataan Suu Kyi sebagai Menlu Myanmar itu membuat pekerja sosial dari seluruh dunia khawatir mereka tidak bisa lagi bergerak bebas mengirim bantuan kepada para pengungsi muslim yang terlunta-lunta.

Kemarahan negara-negara tetangga di Asia Tenggara meningkat, menambah tekanan pada Myanmar. Menlu Indonesia dan Perdana Menteri sudah menghubungi Pemerintah Myanmar untuk segera menghentikan rangkaian kekerasan terhadap warga Rohingya. Sampai sekarang, tidak ada tanda-tanda militer negara yang dulu bernama Burma itu mau mendengar tuntutan dunia.