Usaha Seniman Jepang Mendobrak Definisi Kawaii

FYI.

This story is over 5 years old.

Seni

Usaha Seniman Jepang Mendobrak Definisi Kawaii

Makin banyak seniman perempuan Jepang menolak keharusan membikin karakter gambar jadi imut. Contohnya Aya Kakeda, Junko Mizuno, atau Hinako Hinana yang justru menyukai gaya gambar gelap dan mengerikan.

Artikel ini pertama kali tayang di Broadly.

Lembut, imut, naif, feminin—sekilas sulit melihat kenapa ada orang yang tidak menyukai estetika kawaii Jepang. Semenjak pertama kali muncul di kultur pop 1970an Jepang, tren ini telah menyapu dunia, menemukan audiens generasi eskapis nostalgia global yang menggemari fenomena ini, sama seperti remaja Jepang yang awalnya mempopulerkan estetika ini.

Konsep yang awalnya muncul sebagai elemen desain ini akhirnya menjadi ciri khas dari kancah seni Jepang. Tapi ketika industri manga dan seni rupa terus merayakan pelukisan hiperseksual perempuan sekolah bermata dan berdada besar, gelombang seniman perempuan transgresif baru memilih untuk melawan arus: Junko Mizuno, Aya Kakeda, Hinako Hinana, Chiho Aoshima dan Risa Mehmet, di antaranya.

Iklan

Semua seniman ini memiliki estetika yang masih tergolong ‘imut’ tapi dengan satu elemen yang jahat—transfigurasi mengerikan dari monster perempuan atau tablo feminitas klaustrofobik yang menantang gagasan perempuan pasif. Beberapa orang menyebut ini seni shojo (“perempuan”) gelap.

“Di Jepang, perempuan selalu diharapkan terlihat imut, menurut, muda dan cantik,” jelas ilustrator dan seniman keramik asal Tokyo, Aya Kakeda. “Tapi ketika kamu seorang perempuan dewasa, ada banyak pemikiran gelap. Kamu adalah seorang manusia nyata, dengan banyak emosi, jadi kamu tidak bisa hanya menjadi ‘imut.’ Ketika saya menggambar, rasa frustrasi ini keluar.

Rasa frustrasi Kakeda dimunculkan lewat kontras antara imut dan mengerikan: karyanya biasanya menampilan seorang perempuan kecil yang nakal (“biasanya saya sendiri,” jelasnya sambil tertawa), atau segerombolan kecil perempuan. Di satu lukisan hitam-putih, segerombolan perempuan berwajah serupa menggenggam tas dan ponsel mereka, satu-satunya warna adalah pink bubblegum yang mewarnai aksesoris dan perban menutupi wajah mereka. Namun alih-alih kritik terhadap kultur selfie atau konsumerisme remaja, ini adalah bentuk ekspresi komunitas perempuan.

“Ini merupakan bagian dari sebuah buku berjudul Mickey Virus,” kata Kakeda. Seri narasi pendek tersebut menceritakan seorang perempuan yang memotong bagian tubuhnya setelah menyadari bahwa tubuhnya terinfeksi oleh virus Disney. “Di akhir, dia memotong semua bagian tubuh, dan menyelimuti dirinya menggunakan perban. Lukisan tersebut idak hanya menunjukkan satu perempuan—tapi semua perempuan di kota yang terinfeksi. Tapi mereka tidak mau berpikir serupa, sehingga mereka memotong semua bagian ‘Mickey’ dan menjadi individu,” ujarnya.

Iklan

"Snake Mother" oleh Junko Mizuno.

Keterbatasan ekspresi kultur kawaii berdampak terhadap kehidupan pribadi para seniman dan karya mereka. “Mau tidak mau saya terpengaruh oleh kawaii. Beginilah bagaimana semua perempuan cilik diajarkan menggambar,” kata Junko Mizuno, seorang seniman buku komik yang juga menjadi pencetus gaya shojo gelap ini. “Saya selalu frustrasi terhadap orang yang berasumsi bahwa hal-hal yang imut harus selalu tampil imut.”

“Contohnya—saya sangat pendek. Saya 147 sentimeter dan kadang orang berasumsi saya lemah, baik dan manis. Tapi saya sama sekali tidak seperti itu!” protesnya. “Hal-hal yang kecil bisa juga sangat kuat.”

Kedua perempuan tersebut adalah seniman yang layak diawasi, dan telah mengukir karir ilustrasi di dunia internasional—area, yang jelas Kakeda, masih didominasi oleh lelaki. “Tapi ini sedang berubah,” ujarnya penuh harap.

"Bali" oleh Aya Kakeda.

Seniman asal Tokyo dan jagoan cosplay Sweet Lolita, Hinako Hinana menyaksikan kemunculan gelombang baru seni ini. Dalam rangka merayakan genre yang berkembang ini, dia mengkurasi sebauh pameran shojo art di Kyoto tahun ini, menampilkan delapan seniman yang mengeksplorasi sisi gelap kultur perempuan.

Kombinasi unik dari kekhawatiran dan keimutan, jelasnya, bisa dimengerti oleh banyak perempuan. “Lebih banyak perempuan telah bereaksi terhadap daya tarik ngeri-imut dari karya saya,” jelas Hinana. “Kombinasi dari sesuatu yang mengerikan dan imut secara bersamaan memiliki daya tarik tersendiri.”

Lukisan Hinana yang mengerikan, menampilkan perempuan Lolita berwajah murah, dengan anggota tubuh mereka nyangkut di dalam boks dan kereta bayi, menciptakan kesan tersendiri dari feminitas perempuan. Karakter ciptaannya berubah menjadi binatang, dan perempuan tumbuh dengan tubuh singa atau burung. Jenis metamorfosis perempuan ini, jelasnya, merupakan tema yang umum dalam genre. Kegelapan dan transformasi fisik yang ditampilkan juga tidak sekedar simbol kebebasan kreatif. “Kegelapan itu sangat nyaman,” tambahnya.

Kakeda setuju bahwa karya-karyanya tidak seseram itu. “Kadang orang bertanya kenapa banyak elemen gelap dan mengerikan dalam karya saya, tapi saya tidak memandangnya seperti itu,” jelasnya. “Saya memotong kepala karakter, tapi itu bukan akhir dari segalanya: Mungkin sesuatu akan tumbuh dari situ. Bagi saya, memotong tangan atau kepala karakter bukanlah hal yang buruk, ini hanya perubahan atau sebuah transformasi. “

Mengamini pendapat tersebut, Mizuno ingin orang mendapatkan energi dari aspek mendalam karyanya. Di sisi lain spektrum warna, gaya psikedeliknya mewakili kehidupan, alam dan kreasi. “Dalam kultur Jepang, perempuan dianggap cantik ketika mereka lemah dan rapuh. Saya frustrasi gara-gara ini, maka saya ingin menampilkan perempuan secara kuat. Kadang seperti sebuah monster, monster yang cantik.” Karya Medusanya yang feminin dan seksi merupakan pernyataan berani tentang seksualitas perempuan, menampik tren kawai yang menggarisbawahi tubuh perempuan muda. “Perempuan itu bisa melahirkan manusia—ini bagian dari kekuatan spesial yang dimiliki perempuan,” jelasnya.

Kombinasi antara elemen mengerikan dengan keimutan datang secara alami bagi para seniman ini. “Saya mengalami banyak hal dalam hidup, tidak hanya yang baik-baik, jadi wajar saya menumpahkan semua itu ke dalam karya saya,” ungkap Mizuno. “Saya tidak hanya menciptakan ini untuk mengejutkan orang lain.” Sesungguhnya tujuan akhir Mizuno bukanlah merangsang atau membuat orang marah. “Saya tidak peduli apabila karya saya imut atau menarik,” kata Mizuno saat menjabarkan hakikat seni gambar shoujo. “Saya hanya ingin orang menikmati karya saya.”