FYI.

This story is over 5 years old.

kesehatan

Bener Enggak Sih Pakai Celana Dalam Ketat Jelek Buat Kesehatan Sperma?

Kami bertanya pada para ahli untuk menyediakan jawaban bagimu
celana dalam ketat berbentuk segitiga

Pakai boxer atau celana dalam ketat? Ini adalah pertanyaan klasik yang sering diajukan untuk menguak kepribadian seorang laki-laki. Namun, bagi seorang dokter spesialis kesuburan, pertanyaan yang sama punya konotasi berbeda. Terlepas kamu lebih nyaman pakai boxer yang longgar atau celana dalam yang super ketat, pilihan ini bisa saj memengaruhi kelansungan produksi sperma kalian. Nah, jika kalian bingung, pilihan mana yang lebih sehat, kalem saja, ilmu pengatahuan sekarnag sudah punya jawaban untuk menerangkan sejauh apa pilihan pakaian dalam kalian berpengaruh pada kesehatan sperma dan apa yang bisa kalian lakukan untuk mengatasi dampaknya (kalau memang ada)

Iklan

Apakah memakai celana dalam yang ketat bisa memengaruhi produksi dan kualitas sperma?

Jenis celana dalam yang ketat seperti brief atau boxer brief adalah jenis pakaian dalam pria yang populer. Terus, bagaimana sebenarnya pengaruhnya pada sperma? “Kami punya bukti, yang menurut kami sih, sifatnya lemah hingga menengah yang menunjukkan pakaian dalam yang ketat bisa mengurangi produksi dan kualitas sperma,” kata Hagai Levine, seorang epidemiolog dan pakar kesuburan lelaki di Braun School of Public Health and Community Medicine. Singkatnya, belum ada konsensus tentang hubungan celana dalam ketat dan produksi sperma. Namun, setidaknya, kita tahu pemilihan pakaian dalam ikut andil dalam menentukan kesehatan sperma.

Hubungan tersebut ditegaskan oleh sebuah penelitian terbaru yang dilakukan oleh sekumpulan periset dari School of Public Health, Harvard University yang menemukan korelasi kuat antara pilihan celana dan jumlah sperma. Dalam penelitian tersebut, para peneliti meminta 600 lebih laki-laki yang tengah mengatasi masalah kesuburan bersama pasangannya di klinik kesuburan untuk membeberkan selera celana dalamnya. Ternyata, para lelaki yang senang mengenakan boxer punya 25 persen sperma lebih banyak dan kondisi spermanya dalam keadaan sehat.

Akan tetapi, baik lelaki yang senang memakai boxer atau mereka yang lebih suka celana dalam ketat punya tingkat produksi sperma yang normal. Uniknya lagi, lelaki yang emoh menggunakan boxer punya kadar follitropin—hormon pemberi stimulasi pada folikel—yang terlibat dalam proses produksi sperma. Penelitian sebelumnya boleh jadi sudah jauh-jauh hari menunjukkan korelasi antara preferensi cangcut ketat dan jumlah sperma yang rendah, namun inilah penelitian pertama yang membeberkan korelasi antara pilhan celana dalam dan salah satu hormon penting dalam produksi sperma. Meski begitu, para peneliti Harvard ini mewanti-wanti bahwa hasil penelitian mereka hanya memperlihatkan sekelumit saja dari seluruh aspek tentang kesehatan sperma. Lebih jauh para periset telah berspekulasi terkait hubungan celana dalam dan sperma sejak tahun 1990-an. Baru-baru ini, sebuah riset pada 2016 meneliti hal ini dengan melibatkan 501 lelaki yang berusaha punya anak dengan pasangannya sebagai responden. Hasilnya belum menunjukkan perbedaan signifikan antara kaum boxer dan kaum anti boxer. Tapi, jangan buru-buru berpikir bahwa celana dalam model manapun sebenarnya tak berpengaruh sama sekali pada kesehatan reproduksi kita, apalagi jika kalian sedang berencana punya anak dalam waktu dekat. “Jadi, sekarang bukti yang diperoleh masih belum kuat,” ujar Michael Eisenberg, associate professor bidang urologi di Stanford University. Alhasil, Saban kali Eisenberg ngobrol dengan pasiennya, dia akan bercerita panjang lebar tentang penelitian Harvard atas sambil menambahkan, “biasanya sih saya minta mereka memakai apa yang menurut mereka nyaman dipakai. Saya pikri satu potong pakaian dalam tak akan menyebabkan perubahan yang signifikan.”

Iklan

Eisenberg boleh berujar begitu, tapi kenyataannya, penelitian sejenis riset di Harvard “menunjukkan bahwa pergantian jenis celana dalam adalah opsi yang gampang dan bermanfaat jika seorang lelaki dan pasangannya ingin segera punya anak,” seperti dijelaskan oleh Lidia Mínguez-Alarcón, peneliti utama riset Harvard dan seorang ilmuwan peneliti School of Public Health, Harvard, dalam sebuah rilis pers. Dengan kata lain, kalaupun kita tak yakin mengganti celana dalam bisa mendongkrak produksi dan kesehatan sperma, tak ada salahnya untuk melakukannya. Terlebih lagi, karena panas yang berlebihan tak baik untuk sperma, ujar Levine, logis jika menganggap celana dalam—yang mendekatkan testikel pada badan—tak begitu baik baik kesehatan. Artinya, untuk memeroleh kesehatan sperma yang optimal, pilihan bijaksana yang bisa kita ambil adalah memakai celana dalam dan celana yang cenderung longgar.

Terus, kenapa celana dalam ketat tak baik bagi sperma?

Ada alasan praktis kenapa biji pelir terletak di luar tubuh manusia, jelas Levine. Sebagian besar mamalia—kecuali gajah dan mamalia laut samacam dugong serta paus—memiliki testikel di luar tubuh mereka, tepatnya dalam kantong skrotum. Fungsinya, untuk menjauhkan testikel dan isinya dari panas tubuh. Penempatan yang agak berisiko sebenarnya punya sejumlah alasan strategis. Menurut Levibe, mayoritas sperma harus lebih dingin dari suhu bagian luar tubuh. Nah, menaruh testikel di luar tubuh mamalia adalah cara yang efektif agar sperma tetap dingin.

Kebanyakan penelitian tentang suhu sperma memang baru dilakukan pada mamalia tertentu, jelas Lavine. Mamalia yang dimaksud mencakup hewan peliharaan macam kerbau sampai hewan laboratorium standar macam tikus. Namun, ada juga beberapa penelitian yang meneliti sperma manusia. Dalam penelitian ini terungkap bahwa sperma harus memiliki suhu beberapa angka di bawah 36 derajat. Bila suhunya lebih tinggi dari itu, kemungkinan jumlah dan kualitasnya akan melorot, jelas para peneliti dari Harvard.

Iklan

Protein dalam sperma gampang rusak karena panas, tulis para peneliti, yang menurunkan kemungkinan terjadinya pembuahan yang berhasil. Peneltian tentang korelasi antara hal ini dengan jenis celana dalam sayangnya sejauh ini dalam skala keci dan hanya melibatkan lelaki yang tengah berkonsultasi tentang kesuburan mereka, jelas Levine. Misalnya, dalam sebuah penelitian kecil di Prancis pada 2012, lima orang orang lelaki diminta mengenakan celana dalam yang didesain sedemikian rupa agar testikel mereka dekat dengan rongga tubuh selama 15 jam sehari. Hasilnya, tak jauh berbeda dengan penelitian Harvard—dengan kata lain, jumlah sperma mengalami penurunan dan DNA dari sperma yang tersisa tranfragmentasi. Peningkatan dalam cara kita mengumpulkan data akan mengarahkan kita pada hasil penelitian yang lebih konklusif. Masalahnya dengan penelitian-penelitian yang baru-baru ini dikerjakan adalah jumlah penelitian yang dilakukan tinggi, namun skala penelitiannya kecil hingga tak menghasilkan jawaban yang memuaskan. Hal ini disadari oleh para peneliti dari Harvard. Tak ayal mereka lekas mewanti-wanti bahwa simpulan yang mereka ambil “mungkin terlalu mengeneralisir jika diterapkan pada seluruh lelaki,” sebab jenis celana dalam penelitian dipilih oleh para responden sendiri. Belum lagi, faktor-faktor lain seperti bahan celana dalam serta gaya hidup responden juga berpengaruh pada kesehatan sperma. Eisenberg malah mengusulkan opsi yang lebih mencengangkan. Dia menantikan instansi semacam CDC memasukkan faktor kesehatan lelaki dalam survei nasional mereka. “Ada semacam kecanggungan untuk memonitor kesehatan sperma,” katanya merujuk percakapan terakhir dirinya dengan CDC. Uniknya, kesehatan perempuan sudah lebih dulu dimasukan sebagai salah satu aspek dalam survei nasional CDC. Dengan demikian, tak ada alasan untuk tidak masukkan kesehatan sperma dalam survei yang sama, kata Levine. “Umumnya, orang terlanjur mengasosiasikan masalah kesuburan sebagai masalah perempuan,” katanya.

Iklan

Jadi, selain celana dalam yang sempit, apalagi yang buruk bagi sperma?

Ada banyak benda selain celana (dalam) yang ketat yang terbukti jelek untuk kesehatan sperma, meski sering tak kita sadari. Beragam penelitian, misalnya, telah mengaitkan senyawa seperti pthalates—biasanya ditemukan dalam plastik halus—dengan menurunnya kesehatan sperma. Pola makan dan obesitas juga bisa mengakibatkan hal serupa. Begitu juga dengan mengendarai sepeda, mandi di sauna atau hot tub serta kebiasaan memangku laptop, semua ini bisa berimbas pada jumlah sperma.

Hanya saja seperti halnya dampak celana dalam ketat, implikasi semua kegiatan fisik ini bisa diredam dengan berhenti mengerjakannya untuk beberapa saat—serta memerhatikan selama apa kita melakukannya. Masalahnya, ini cuma bagian kecil dari sebuah masalah besar. Lavine dan koleganya pernah melakukan meta-analisis pada 2017 yang merangkum data jumlah sperma dari 244 penelitian antara 1973 hingga 2011. Temuan mereka: terjadi penurunan jumlah sperma sampai 50 persen dalam kurun waktu tersebut. Meski skala data statistik ini masih diperdebat, Eisenberg menekankan bahwa kita tak bisa berpaling dari fakta pahit: tren kesuburan lelaki terus mengalami penurunan. Artinya, ada masalah yang lebih besar ketimbang perkara boxer atau celana dalam ketat belaka. “Fakta ini bisa jadi celah untuk melihat kondisi kesehatan manusia secara menyeluruh (di masa datang),” jelasnya. Di sisi lain, Eisenberg juga terlibat dalam sejumlah penelitian lainnya yang membeberkan bahwa lelaki yang mandul lebih sering terjangkit berbagai penyakit dari sakit jantung, gangguan fungsi hati hingga kanker. “Kesehatan reproduksi yang buruk pada lelaki berarti kesehatan tubuh yang buruk juga,” ujar Shanna Swan, pengajar mata kuliah environmental medicine dan public health di Mount Sinai dan salah penulis laporan penelitian pada 2017 yang sempat disinggung di atas.

Iklan

Terus apa dong yang bisa dilakukan agar produksi sperma meningkat?

Salah satu alasan kenapa tenaga medis kesusahan memberikan rekomendasi jika sudah berurusan dengan kesuburan lelaki adalah faktor yang mempengaruhinya banyak—dan beberapa di antaranya dimulai sejak seorang pria lahir. Artinya, segeralah berkonsultasi dengan dokter jika kalian merasa punya masalah kesuburan.

Swan menerangkan bahwa lelaki yang mengalami masalah kesuburuan biasanya merasa telah melakukan segala sesuatunya dengan benar. Problemnya adalah mereka tetap saja terpapar polutan dari sekitar mereka, entah itu berupa penggangu endokrin, rokok, atau pestisida, saat masih berada dalam kandungan ibu mereka. Jelas, fakto-faktor ini tak bisa mereka kontrol. Untungnya, segala upaya yang kita tempuh saat ini bisa berdampak pada peningkatan kesuburan kita. Kendati opsi untuk meningkatan kesuburan sifatnya subyektif dan berbeda-beda dari satu individu ke individu lainnya, ada satu prinsip yang wajib kita ketahui: segala sesautu yang baik untuk kesehatan kita, baik pula untuk sperma, ujar Levine. Nah, hal-hal yang baik itu mencakup menghindari rokok, rajin olah raga, mengontrol konsumsi minuman beralkohol dan memantau pola makan. “Saya bisa bilang segala yang bagus untuk jantung, bagus pula buat kesuburan kita,” jelas Eisenberg. Swan juga menganjurkan untuk menghindari wadah plastik dan peralatan masak berbahan teflon—yang terbukti bisa menyebabkan ganguan hormon (barangkali penasaran, Swan menaruh pilihan celana dalam hampir di posisi paling bawah). Tapi, tapi bila dibenturkan tentang pilihan celana dalam, maka yang harus dikhawatirkan adalah bahan dan di mana celana dalam itu dibuat—bukan jenis atau modelnya. Levine mengkhawatirkan paparan kimia dari bahan pakaian. Makanya, dia mendambakan peraturan pelabelan pakaian yang lebih menyeluruh agar konsumen tahu apa saja yang terkandung dalam bahan pakaian yang kita beli. Pasalnya, beberapa penelitian menunjukkan pthalate juga ditemukan dalam pakaian.

Senyawa kimia juga digunakan dalam proses produksi pakaian. “Salah satu industri yang paling banyak menghasilkan limbah adalah industri fesyen,” kata Levine. “Jadi saat kita memproduksi pakaian-pakaian ini, kita juga mengotori lingkungan dan secara tidak langsung memperburuk kondisi kesehatan serta sperma kita.”

Kalian uraian panjang lebar ini bikin kamu kebingungan harus mulai dari mana agar kondisi sperma kamu prima, mulai saja dengan menilai kesehatan tubuh kamu secara menyuluruh.

Masih bingung juga?

Tanya dokter. Mereka akan membantumu.