FYI.

This story is over 5 years old.

media sosial

Jenis Manusia di Beranda Facebook Yang Kadang Membuatku Pengin Tutup Akun Aja

"Bos MLM" sampai ibu muda penuh semangat. Semoga mereka semua cuma ada di Facebook Indonesia. Eh, gimana? Di negara lain enggak jauh beda? Hiks...
Ilustrasi oleh Dini Lestari.

Facebook adalah sarana komunikasi dunia maya terbesar saat ini, tempat setiap penggunanya menghabiskan 50 menit tiap hari sekadar buat cek kabar terbaru atau melihat komentar kawan-kawan di beranda. Hampir sembilan tahun saya bermain media sosial tersebut. Awalnya saya merasa Facebook amat menyenangkan. Sayang, seperti semua hal menarik di dunia, ini akan ada titik jenuh yang menghampirimu. Saya menonaktifkan akun Facebook pertama sekaligus semua jenis platform media sosial lainnya pada 2015, sebelum membuat akun baru pada 2016 karena tuntutan pekerjaan. Sekarang di Facebook saya cuma punya teman sekira 100 orang. Saya bahkan sudah hampir tiga bulan enggak pernah log-in.

Iklan

Di akun Facebook yang sekarang sudah almarhum, ketika fitur "unfollow" belum muncul, saya memiliki hampir 2.000 'teman'. Saya menambahkan banyak orang dalam daftar sobat maya berkat dorongan impuls memperluas jaringan pertemanan, walaupun toh, di dunia nyata teman saya tak lebih banyak dari jari tangan dan kaki digabungkan.

Impuls tersebut yang akhirnya membuat saya jengah. Ketika Facebook telah menjadi terlampau rumit untuk dimengerti (tren bikin status, emoji yang hampir akurat untuk mendeskripsikan perasaan, hingga sebaran berita palsu yang lebih cepat dibanding kecepatan suara), begitu pula perasaan saya terhadap teman-teman dunia maya.

Jangan salah, di dunia nyata saya adalah pendengar yang baik dan ramah. Namun memantau linimasa Facebook terlalu lama (entah berapa ribu jam saya habiskan di Facebook) dengan bermacam isu dan pencitraan, membuat saya hampir bisa mengklasifikasikan jenis-jenis manusia yang bertebaran di internet. Berikut ini jenis-jenis pengguna Facebook paling menyebalkan dari hasil pengamatan saya, dan sayangnya, masih ada di beranda sampai sekarang.

Netizen Kritis dan 'Intelektual'

Para kaum 'intelektual' rasanya membentuk 90 persen dari 'insitusi' pengguna aplikasi media sosial. Setiap hari status mereka berisi berita terbaru yang mengkritisi pemerintah dan isu-isu panas terkini.

"Ngapain pada Pray for Paris, sementara saudara-saudaramu di Papua setiap hari tertindas." Yup. Begitulah Sepekan terakhir, ketika saya akhirnya login Facebook lagi dalam rangka menulis artikel ini, nyaris sebagian besar beranda mengomentari isu kebangkitan komunisme, baik pro maupun kontra. Semuanya merasa berhak didengar.

Iklan

Satu orang netizen mungkin bisa saja luput dari perhatian dan dianggap angin lalu. Tapi jika sudah bersatu padu, mustahil mendebat mereka. Apalagi jika pendapatmu berseberangan dengan suara mayoritas. Yang ada malah bikin tensi darah naik.

Mereka adalah kritikus terhebat dan optimis dapat menyetir kebijakan pemerintah. Kadang saya ikut-ikutan terbawa dan optimis seperti mereka. Siapa tahu harga beras dan bensin yang terjangkau sekarang ini adalah hasil dari jasa dan keringat para "netizen". Terima kasih netizen!

Tukang Pamer Masalah

Tiap orang punya masalah yang berujung pada depresi. Cuma, ngapain sih, membagikan masalah sehari-hari di media sosial dengan nada depresif dan memamerkan tendensi bunuh diri? Itu sama sekali enggak memecahkan masalah dan bikin yang lihat ikutan syurem.

Aura negatif jadi menyelubungi pikiran saya setiap kali melihat status "stress karena enggak dapet kerjaan" atau "teganya pujaan hatiku meninggalkan aku". Awalnya saya sempat khawatir dengan nasib orang-orang tersebut. "Kamu enggak apa-apa kan? Semuanya bakal baik-baik aja kok," begitulah pesan saya buat teman suatu hari. Dia menjawab hanya dengan emoticon senyum. Seandainya semua masalah di dunia ini kelar berkat emoticon, betapa indah hidup ini.

Saya enggak menyepelekan depresi atau stres atau masalah mental apapun. Tapi jika setiap jam mengunggah status dengan nada seperti itu, mungkin lebih baik jika orang tersebut melakukan konseling ke pakar yang kompeten.

Iklan

Ortu Sosial Media

Enggak ada salahnya mengunggah foto anak di media sosial. Saya juga punya anak yang usianya empat bulan dan sesekali pengin mengunggah fotonya ke medsos. Tapi sori-sori nih. Kalau mengunggah foto anak kalian itu (ditambah caption dia udah bisa ngapain aja) tiap pagi sebelum ngantor, pas pulang kerja, dari lahir sampai detik saya menulis artikel ini, rasanya udah berlebihan. Plus ganggu banget.

Privasi itu mahal harganya di zaman internet. Jangan lupa, privasi dan keamanan anak itu jadi kewajiban orang tua. Bukan cuma soal masalah keamanan karena para pedofilia masih berkeliaran di ceruk-ceruk internet, tapi juga karena soal identitas anak rentan disalahgunakan oleh orang yang berniat jahat.

Begitulah. Artinya, ada masalah lain dari kebiasaan posting foto anak selain cuma menekan tombol unfollow atau unfriend dari orang-orang semacam ini.

Figur Anggota MLM Sukses

Rasanya anggota MLM itu ada di lingkaran pertemanan mana pun. Saya tahu rasanya gimana saat reuni SMA yang harusnya seru berubah jadi perasaan enggak enak gara-gara salah seorang teman tiba-tiba menawari produk MLM.

Enggak cuma korporasi dan bisnis kreatif yang melirik internet, para anggota MLM juga enggak mau kalah. Kalau dulu sistemnya door-to-door, kini mereka lebih suka pamer piagam achievement dan 'kesuksesan' di linimasa demi menggaet anggota baru. "Lihat nih, kesaksian orang-orang yang hidupnya berubah berkat blablabla", "lumayan gan bisa tambah-tambah penghasilan," atau yang paling agitatif: "masih betah jadi pegawai?" Hmm, kalau ketemu di dunia nyata sih bakal saya jawab, "masih betah spamming beranda sama promosi produk-produkmu bung dan nona?" Apakah strategi pemasaran via sosmed kayak gitu efektif? Kurang tahu juga sih. Yang jelas jenis teman dunia maya macam inilah yang bikin saya bersyukur banget Facebook punya fitur 'unfollow'. Tombol ajaib yang sewaktu-waktu bisa digunakan tanpa 'melukai' perasaan teman kita. Karena di Indonesia, negara yang konon menjunjung tinggi adab ketimuran, memakai fitur 'unfriend' ataupun left group di grup Whatsapp bakal memicu gunjingan tak henti-henti dari orang lain.

Iklan

Si Gila Nostalgia

Saya punya teman yang enggak bisa move on dari masa sekolah dasar. Iya, sekolah dasar. Gambar profil adalah dirinya semasa kecil dengan seragam SD dan berpose kaku. Statusnya kadang menyitir soal bagaimana masa kecilnya begitu menyenangkan.

Paling susah ketika reunian zaman sekolah juga merambah dunia maya. Mereka maksa kita gabung ke grup yang hanya perpanjangan dari grup Whatsapp. Mau gabung males, menolak enggak enak karena takut dicap sombong. Serba dilematis! Kalau reuni SMA sih masih mending lah, tapi kalau SD? Mau ngapain cyinnnn….

Sudah 20 tahun lebih saya enggak bertemu mereka. Grup tersebut berisi wajah-wajah yang tak lagi saya ingat, hingga nama pun sulit saya ekstrak dari sekat-sekat memori. Isi postingannya kebanyakan ucapan "selamat pagi", "selamat malam", "selamat beraktivitas" hingga guyonan garing yang malah bikin saya kasihan sama orang yang bikin.

Tak ada yang lebih menyedihkan kecuali orang-orang yang takut terhadap masa depan dan memilih berkubang di masa lalu (NJIIRR SOK BIJAK BANGET). Maksud saya, kenapa sih pada susah move on?

Begitulah, mungkin klasifikasi orang-orang itu cuma salah satu dari sekian banyak alasan kenapa media sosial jadi membosankan buat saya. Saya sih biasa saja enggak main Facebook, enggak merasa kehilangan, enggak juga merasa hidup lebih baik.

Satu studi mengatakan teman-teman Facebook-mu itu palsu. Kecuali kamu mau mengkapitalisasi jumlah 'like' di status-statusmu, mempertahankan ribuan kawan itu ga penting-penting amat. Sebab yang peduli pada hidupmu sungguhan hanyalah segelintir di antara ribuan 'temanmu' yang sering ngeselin pas nongol di beranda.