FYI.

This story is over 5 years old.

Berita

Utusan Khusus PBB Kecam Myanmar Karena Terlibat Genosida Rohingya

Yanghee Lee menuntut segera dilakukan "investigasi independen dan kredibel" atas dugaan pelanggaran HAM, termasuk pembantaian dan pemerkosaan muslim Rohingya oleh Tentara Myanmar.

Utusan Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Myanmar, Yanghee Lee, menuntaskan kunjungan 12 hari ke wilayah-wilayah yang dihuni oleh komunitas etnis Rohingya. Dia menegaskan perlu segera digelar investigasi independen, karena muncul beberapa bukti terjadi pelanggaran HAM serius terhadap minoritas muslim di Myanmar. Beberapa kasus kemungkinan besar justru dilakukan oleh tentara nasional Myanmar, termasuk di antaranya, laporan pemerkosaan beberapa perempuan Rohingya serta pembunuhan warga muslim tanpa pandang bulu.

Iklan

Kecaman Lee pada pemerintah Myanmar muncul dalam jumpa pers di Kota Yangon, akhir pekan ini. Dia berusaha memasuki Negara Bagian Rakhine, tempat paling banyak penduduk Rohingya bermukim, namun dihalang-halangi oleh pejabat setempat. Lee mengaku tidak diizinkan masuk dua desa yang dibumihanguskan oleh militer. Padahal di desa itu, setidaknya ada dua perempuan mengaku diperkosa personel militer. Panglima Tentara Myanmar, Jenderal Min Aung Hlaing, juga menolak menemui pejabat khusus PBB itu.

Sejak Oktober 2016, terjadi kekerasan beruntun, serta militerisasi perkampungan yang dihuni minoritas muslim. Kekerasan skalanya yang mengingatkan banyak orang pada insiden 2012 lalu ini terjadi, setelah militer Myanmar menuding beberapa tokoh masyarakat Rohingya bergabung dengan jaringan Islam radikal. Insiden penyerangan beberapa polisi yang berpatroli menjadi pemicunya.

Tokoh HAM Myanmar, yang kini menjadi Penasehat Khusus Pemerintah, Aung San Suu Kyi, bahkan turut menyangkal terjadi genosida maupun pelanggaran HAM berat di Rakhine. Lewat akun Facebook resminya, Suu Skyi sempat mengunggah gambar yang disebutnya "berita palsu pemerkosaan [Rohingya]."

"Investigasi independen untuk mengetahui apa yang terjadi di Rakhine mendesak di lakukan," kata Lee. "Sekarang sudah tiga bulan sejak pertama kali laporan pelanggaran HAM muncul di wilayah orang Rohingya. Saya khawatir bukti-bukti terkait beberapa kasus sudah hilang."

Iklan

Lee menilai kunjungan 12 hari seperti yang dia lakukan belum cukup. Apalagi pemerintah Myanmar, walaupun kini dikuasai partai demokratis pimpinan Aung San Suu Kyim masih mewarisi mentalitas lama junta militer. Yakni tertutup terhadap kritikan internasional. "Pejabat Myanmar selalu defensif, mengalihkan topik, atau membantah semua tudingan tanpa bukti valid," kata Lee. "Sikap seperti itu tentu saja kontraproduktif, serta menghilangkan lagi harapan atas suasana demokrasi yang membaik setelah partai baru memenangkan pemilu."

Krisis Beruntun Akibat Isu Rohingya

Myanmar tidak hanya menghadapi tekanan dari utusan khusus PBB untuk lebih membuka diri atas skandal di Negara Bagian Rakhine. Hubungan negara yang dulu disebut Burma itu dengan tetangganya, Malaysia, turut memburuk. Malaysia menjadi tuan rumah Konferensi Kerja Sama Islam (OKI) di Kuala Lumpur awal pekan ini. Salah satu poin dalam pertemuan organisasi beranggotakan 57 negara-negara mayoritas Islam itu adalah kecaman terhadap kekerasan di Myanmar. Perdana Menteri Malaysia, Najib Razak, secara terbuka mengkritik otoritas keamanan Myanmar agar "bertindak segera menghentikan semua serangan yang menimpa muslim Rohingya", serta menghukum para pelakunya.

Myanmar segera menyerang balik pemerintah Malaysia. Keputusan PM Najib menjadi tuan rumah OKI, serta menghasilkan sikap bersama yang menyudutkan mereka, "patut disesalkan."

"Myanmar merasa kekhawatiran Malaysia terhadap kondisi di Rakhine lebih dipengaruhi berita-berita yang tidak bertanggung jawab, yang tidak berdasarkan analisis faktual," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Myanmar.

Iklan

"Ada kekacauan dan kekerasan serius di [kawasan utara Rakhine]."—David Mathieson dari Human Rights Watch

Pemerintah Myanmar menganggap semua tuduhan tentang adanya genosida Rohingya sebagai propaganda asing. Di tengah situasi defensif, nyatanya otoritas Myanmar mengizinkan bantuan sembako dari Malaysia masuk ke Rakhine, walaupun kargonya sempat lama tertahan lama di Yangon.

Menteri Luar Negeri Inggris, Boris Johnson, kini sedang berada di Myanmar. Dia juga berusaha mendiskusikan masalah Rohingya bersama Aung San Suu Kyi, yang kerap disebut presiden bayangan di Myanmar.

Jadi Apa yang Sebetulnya Terjadi?

Etnis Rohingya yang hidup tersebar di Negara Bagian Rakhine tidak pernah diakui sebagai warga negara Myanmar. Pejabat pemerintah selalu menuding mereka sebagai imigran tanpa dokumen asal Bangladesh. Faktanya, orang Rohingya sudah hidup di kawasan Rakhine, beranak pinak, sejak ratusan tahun lalu. Ketika Myanmar merdeka dari Inggris, mereka semakin dimusuhi oleh etnis mayoritas Myanmar. Pada 2012, pecah kerusuhan bernuansa SARA, ketika tiga pria Rohingya dituduh memperkosa perempuan Buddhis. Ratusan orang dibunuh, serta nyaris 500 ribu orang Rohingya kabur ke pelbagai negara, termasuk Indonesia.

Kekerasan kembali terulang pada 9 Oktober 2016. Ratusan orang Rohingya dituduh terlibat serangan pisau, menewaskan sembilan polisi di Kota Maungdaw. Insiden itu membuat militer Myanmar mengirim puluhan batalion, menyerbu kampung-kampung Rohingya. Pejabat Myanmar menyebut puluhan orang Rohingya bergabung dengan kelompok teroris Harakah-al-Yaqin, yang didanai dari Pakistan dan Arab Saudi.

Iklan

Walaupun militer Myanmar membantah terjadi pembantaian sistematis, faktanya kerusakan di kampung-kampung Rohingya memang terjadi. Citra satelit dari Human Rights Watch menunjukkan bukti banyak desa dihuni warga muslim kini rata dengan tanah.

Lee, dalam jumpa pers, terkejut mendengar keterangan pejabat di Kota Maungdaw tentang adanya pembakaran desa. Si pejabat itu berdalih warga Rohingya sengaja membakar desanya sendiri supaya memperoleh bantuan asing. "Tidak ada bukti meyakinkan yang diberikan pejabat itu untuk meyakinkan saya," kata Lee.

Foto via Flickr (United to End Genocide)

Seperti Apa Situasi di Rakhine Sekarang?

Sejak kekerasan terjadi akhir tahun lalu, dilaporkan lebih dari 66 ribu orang Rohingya berusaha kabur ke Bangladesh. Sebagian dari mereka dipulangkan paksa oleh imigrasi Bangladesh, sebab tempat penampungan terbatas.

Banyak laporan menyatakan tempat penampungan Rohingya di Bangladesh tak boleh didatangi wartawan. Alhasil, informasi yang tersedia untuk mengetahui nasib para pelarian muslim itu hanya bisa didapat dari sesama orang Rohingya yang berbagi kabar di sosial media.

Sebagian tenaga medis di Cox Bazaar, wilayah Bangladesh yang berbatasan dengan Myanmar, menyatakan korban-korban yang mereka rawat beberapa di antaranya mengalami luka tembak dan tanda bekas perkosaan. David Mathieson, salah satu perwakilan Human Rights Watch yang kini berada di Kota Yangon, meyakini terjadi kekerasan sistemik di Rakhine. "Hanya saja, terlalu banyak informasi menyesatkan yang muncul dari kekacauan di wilayah tersebut," ujarnya.

Iklan

Ratusan orang Rohingya kini juga dipenjara tanpa peradilan layak selama tiga bulan terakhir. Mereka dibui karena dituduh terlibat gerakan Islam radikal.

"Komunitas Internasional wajib bergerak bersama untuk terlibat dalam kasus ini. Situasi yang dialami Rohingya kian hari kian memburuk."—Matthew Smith, Fortify Rights

Dari 500 orang Rohingya yang ditahan atas tuduhan "terlibat kekerasan", hanya 88 yang didakwa melanggar pidana. Empat orang "tewas saat diinterogasi", dan 70 lainnya sebelum ditahan "sudah lebih dulu meninggal". Salah satu warga desa yang selamat menyatakan tetangganya, rata-rata lelaki, ditangkap personel militer tanpa keterangan jelas. "Setidaknya ada ada 23 orang ditahan sejak 9 Oktober lalu," ujarnya kepada VICE Indonesia.

Lee masih sempat mengunjungi penjara, tempat 450 warga Rohingya ditahan. Dia menyatakan para tahanan tidak memperoleh pendampingan hukum. "Banyak dari orang Rohingya yang ditahan bahkan tidak tahu ada insiden penyerangan polisi Myanmar di perbatasan, yang menjadi alasan mereka ditangkap oleh militer," ujarnya.

Apa yang Mungkin Terjadi Selanjutnya?

Lebih dari 40 lembaga swadaya dan pemantau HAM di Myanmar menandatangani petisi, menuntut pemerintah Myanmar bersikap transparan atas apa yang terjadi di Rakhine.

Pemerintah Myanmar sempat mengirim tiga lembaga untuk memeriksa keadaan, namun semua utusan itu membantah terjadi pelanggaran HAM serius terhadap minoritas Rohingya.

"Lembaga utusan pemerintah itu tidak melakukan penyelidikan yang serius," kata Matthew Smith, petinggi LSM Fortify Rights. "Komunitas Internasional wajib bergerak bersama untuk terlibat dalam kasus ini. Situasi yang dialami Rohingya kian hari kian memburuk."

Merespon desakan pegiat HAM, pemerintah Myanmar kembali bersikap defensif. Mereka beralasan jika membuka akses untuk penyelidik asing, maka warga lokal akan marah. Militer Myanmar juga sangat paranoid pada kemungkinan perwakilan internasional masuk ke Rakhine. Pengaruh militer juga masih besar dalam tubuh pemerintah, walau junta tak lagi berkuasa.

"Apa yang bisa kita lakukan? Mengirim [jenderal] Min Aung Hlaing ke Pengadilan HAM Internasional?" kata Mathieson. "Skenario itu tentu mustahil terjadi."