FYI.

This story is over 5 years old.

Larangan Berhijab

Perempuan Muslim Berbagi Pendapat tentang Larangan Berjilbab di Eropa

Pengadilan tinggi Eropa menyatakan pekerja perempuan boleh dilarang mengenakan jilbab pada jam kerja. Kami menemui enam perempuan muslim merespons putusan kontroversial tersebut.

Artikel ini pertama kali tayang di Broadly.

Awal minggu ini, pengadilan tinggi Eropa memutuskan setiap majikan dapat melarang buruh memakai jilbab saat kerja. Keputusan pengadilan tersebut adalah satu dari sekian banyak aturan hukum menargetkan golongan Muslim di Eropa maupun AS. Sebelumnya ada laporan anggota parlemen Inggris tahun lalu yang menyatakan komunitas muslim perlu diintervensi karena mendiskriminasi perempuan di Inggris, hingga pelarangan imigrasi khusus muslim dari Presiden Donald Trump. Ironisnya, suara golongan Muslim justru tidak diperdengarkan sepanjang perdebatan tentang mereka. Perempuan Muslim sedang mengalami kemunduran dalam urusan pekerjaan. Komite Perempuan dan Kesetaraan Britania Raya menemukan pada 2016 bahwa perempuan Muslim lebih berisiko tiga kali lipat menganggur serta kesulitan mencari kerja dibandingkan dengan perempuan non-Muslim. Keputusan pelarangan jilbab bisa dipastikan bakal mengisolasi mereka di tempat kerja. Menurut peraturan terbaru, tempat kerja yang melarang "simbol politik, filosofis, atau agama apapun" bukan suatu bentuk diskriminasi. Perlu dicatat bahwa kebijakan tersebut mencakup simbol seluruh agama (seperti rosario dan turban), namun tidak diragukan bahwa kebijakan tersebut adalah cara lain untuk mengatur pilihan dan tubuh perempuan Muslim—seperti pelarangan burkini yang ditetapkan di sejumlah kota di Perancis musim panas lalu, yang berujung pada aparat kepolisian memaksa perempuan-perempuan di pantai untuk melepaskan pakaian mereka.

Iklan

Jadi apa yang dirasakan perempuan-perempuan Muslim—yang menjadi subjek kebijakan tersebut—mengenai kebijakan tersebut? Lima perempuan muslim menceritakan perkembangan terbaru.

Afia, 23 tahun

Mungkin "kecil hati" tepat untuk merangkum reaksi awal saya. Tapi saya tidak berharap siapapun menganggap pendapat saya, karena tampaknya kebijakan itu mencoba membungkam suara saya. Sehari-hari saya bekerja, belajar, dan juga seorang ibu. Saya yakin kebijakan itu bersifat kontraproduktif. Perempuan-perempuan seperti saya sendiri mengalami imbas buruk dan kemunduran gara-gara kebijakan itu. Saya punya karir dan gelar pendidikan, tapi saya mikir, Apa gunanya deh? Apa gunanya kalau saya dihentikan dari kegiatan saya hanya karena persoalan jilbab? Pakaian tertentu tidak mempengaruhi kompetensi saya. Saya sudah kebal melihat perkembangan seperti itu. Dan saya kok punya feeling ini belum yang terburuk. Saya sudah diminta mengutuk aksi tolol yang dilakukan orang-orang dengan mengatasnamakan agama saya. Jadi apakah masih ngaruh? Ya engga lah.

Asma, 26 tahun

Saya mencoba membuat bidang olahraga inklusif dan mencoba mengenalkan panutan bagi perempuan-perempuan Muslim sehingga kita bisa meraih segala yang kita inginkan di bidang olahraga, yang diharapkan pada akhirnya berimbas pada aspek-aspek lain dalam hidup kita. Eh, tau-tau yang kayak begini kejadian.

Ketidaktahuan membuat saya takut. Mereka tidak tahu bahwa kita manusia juga. Kini semuanya ada di tangan media. Mereka telah menggembor-gemborkan Islamofobia dan ideologi bahwa orang-orang perlu takut akan kami. Mereka membiarkan hal ini berlarut-larut hingga satu titik di mana hidup para perempuan amat terpengaruh. Kita terus-terusan bilang "kita berpikiran terbuka" dan ingin memberikan kebebasan bagi perempuan-perempuan Muslim, tapi pada praktiknya mereka terus membatasi kita. Hati saya remuk.

Iklan

Tahmeena, 25 tahun

Saya punya banyak anggota keluarga yang mengenakan jilbab. Keputusan Pengadilan Eropa tersebut membuat saya ragu dengan masa depan kami. Masyarakat sedang gencar-gencarnya membela hak-hak dan kebebasan perempuan, tapi di waktu bersamaan mereka tidak menyertakan kami dalam perjuangan mereka. Mereka memperjuangkan hak-hak manusia tapi bukan hak-hak perempuan Muslim. Mereka memperjuangkan kebebasan dan terutama pilihan mengenakan apapun yang mereka inginkan, tapi bukan pilihan perempuan Muslim dalam hal yang sama. Kenapa sih, masyarakat selektif banget soal siapa dan apa yang mereka dukung. Padahal mengakunya memperjuangkan kesetaraan bagi semua orang.

Bebas dari mana, orang kita masih didikte pakai baju apa, bagaimana harus bersikap, supaya akhirnya "dibebaskan". Aneh banget. Orang-orang sering menyangka keputusan perempuan Muslim untuk berjilbab adalah simbol penindasan, padahal itu adalah keputusan yang dibuat dengan sadar dan bangga. Tapi kenapa keputusan kita selalu dicurigai dan dipertanyakan. Sikap kayak gitu bukan pembebeasan, melainkan orang-orang ingin mengatur tubuh perempuan agar sesuai dengan konsep "kebebasan" versi mereka.

Fauzi, 22 tahun

Saya engga tahu lagi apa yang saya rasakan—seperti ledakan bom setelah ledakan lainnya. Intinya, saya tidak akan terkejut kalau kebijakan ini berlaku di Britania Raya. Kalau bos saya memberlakukan kebijakan ini, saya akan mengundurkan diri. Saya tidak mau tunduk pada kekejaman semacam itu, atau dilarang menjalankan agama yang saya pilih.

Iklan

Lina, 24 tahun

Saya engga kaget dengar keputusan Pengadilan Tinggi Eropa. Perasaan saya lebih ke capek dan marah karena lagi-lagi kita diatur bagaimana harus berpakaian. Hello, sekarang udah 2017 kali. Di mana "netralitas" yang diagung-agungkan itu ketika seorang atasan melarang pemakaian atribut religius? Mengapa prasangka irasional golongan tertentu dihargai lebih tinggi daripada hak individu? Orang-orang yang menuduh Muslim menindas perempuan kini malah mendikte bagaimana kita mestinya berpakaian. Kita diperintahkan untuk berintegrasi. Kita udah melakukan itu. Lalu sekarang kita disuruh membuka jilbab atau menganggur? Jadi kita mesti melepas pakaian kita untuk mencari nafkah? Ada tren misoginis global yang mendikte bagaimana mestinya perempuan Muslim berpakaian. Itu kan sama saja dengan mendikte bagaimana sebuah agama mesti dipraktikkan supaya sesuai dengan tatapan orang kulit putih Barat. Saya yakin perempuan Muslim di Eropa akan terus melawan seperti sebelum-sebelumnya.

Yasmin, 24 tahun

Menyebutkan kebijakan tersebut mencakup segala agama, adalah upaya menyedihkan pejabat untuk menyembunyikan target mereka sebenarnya adalah perempuan Muslim. Padahal pesannya terang benderang: Santai lah, kita mendiskriminasi semua agama kok. Seakan-akan hal itu bisa jadi pembenaran. Perempuan Muslim—dan terutama perempuan yang mengenakan jilbab—menghadapi tantangan besar dalam mendapatkan pekerjaan di era anti-Muslim ini, menghadapi bursa tenaga kerja yang seksis, dan kita tahu bahwa kini para majikan tidak mau mempekerjakan kita atau boleh jadi memecat kita karena mengenakan jilbab. Tapi hal ini tidak pernah dibicarakan secara eksplisit oleh majikan kita. Itulah yang membuat kasus ini amat signifikan. Keputusan pengadilan Eropa ini seakan mengirim pesan bahwa perempuan Muslim tidak diterima di tempat kerja dan, sampai tahapan tertentu, ruang publik. Alih-alih memberdayakan para majikan untuk menindas kebebasan sipil perempuan Muslim, pengadilan mestinya menyatakan mengapa mereka menganggap perempuan Muslim yang mengenakan jilbab sebagai ancaman.