FYI.

This story is over 5 years old.

Musik Baru

Wahono Bertekad Merobohkan Sekat Kelas Sosial Lewat Musik Elektronik

Kancah dance Indonesia sedang seru-serunya. Wahono, musisi muda yang sedang meraih perhatian besar di AS, membahas kemungkinan musik elektronik semakin merakyat di negara kita.
Foto dari arsip pribadi

Percayalah, kancah dance music lokal tengah seru-serunya. Kompilasi Dentum Dansa Bawah Tanah—yang digadang-gadang sebagai milestone baru sejarah dance music bawah tanah lokal—dirilis tahun lalu. Fariz RM beberapa pekan lalu turun gunung, kembali berdisko mengguncang publik Jakarta Selatan. Di DIY, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, imperium dangdut hip hop dance dari duo NDX A.K.A Familia juga menjadi fenomena tersendiri menarik histeria jutaan muda-mudi kelas pekerja.

Iklan

Imam-imam baru bermunculan, mendakwahkan musik elektronik ke berbagai skena dan kelas sosial. Salah satu yang belakangan menyita perhatian adalah Harsya Wahono, produser musik elektronik kelahiran Jakarta yang kenyang menjelajahi sirkuit EDM New York. Baru-baru ini Wahono merilis EP pertamanya, Abandoned Hi-Hats, lewat label asal Brooklyn, Maddjazz Recordings.

Abandoned Hi-Hats tampaknya bakal jadi album yang menantang untuk disimak. Disusun dari berbagai sumber suara—pedal board yang sudah dimanipulasi—cuplikan youtube, rekaman telepon antah berantah, hingga permainan keyboard spontan—album ini jelas membuyarkan batas antar genre. Necksnaps, single dari EP tersebut yang minggu lalu masuk jadi Thump Exclusive Stream, adalah buktinya. Nomor itu, menurut Wahono adalah hasil "usaha penggabungan nuansa musik Asia Tenggara dan Afrika dalam komposisi yang rancak dan intens." Jika kita dengar lagi, atmosfernya mirip oplosan menarik dari perkusi yang rancak, bass subteranean, hingga inspirasi dari chant kongo, dan tak lupa elemen Tari Kecak.

Wahono kini tinggal di Jakarta, sepulang dari Negeri Paman Sam. VICE Indonesia berkesempatan mewawancarai Wahono di satu pojok kedai kopi bilangan Wijaya, Jakarta Selatan. Dia membahas rencana karya-karya terbaru selepas Abandoned Hi-Hats, pengalaman mengelola label musik DIVISI62, serta membicarakan peluang musik elektronik semakin merakyat di nusantara.

Iklan

VICE: Bagaimana ceritanya Abandoned Hi-Hats bisa dirilis label debutan Maddjazz?
Wahono: Mike Bloom, pemilik Maddjazzz, teman gue dulu di New York. Awal-awal pindah ke New York, gue gak kenal siapa-siapa, jadi nyari temen. Kita kenalan dari soundcloud, terus ngobrol. Kebetulan kami punya ketertarikan pada tradisi musik jazz Dia memang orangnya well connected banget dan emang baik. Waktu itu gue masih baru lulus sekolah, gue mau buat musik tapi arahnya masih berantakan. Dia juga yang ngarahin (musik) gue.

Pas gue balik dari New York ke Jakarta gara-gara masalah visa, Mike janji "Pokoknya Bro sebelum lu balik gua bakal rilisin lo punya musik on vinyl." Gua ngerasa wah itu oke banget sih, karena saat itu yang tahu gue siapa sih di New York? Gue sempet kerja di record store tapi kaya siapa sih ya kan di New York ribuan orang mau trying to do the same thing ya kan? Baru lah setelah itu gue mulai mixing lagi, mastering lagi segala macem, eh akhirnya ya rejeki lah, keluar deh tuh EP.

Gimana respon publik AS terhadap Abandoned Hi-Hats?
Responnya sih di scene lokal AS luar biasa, karena ini orang siapa sih? Nggak ada yang pernah denger ya kan? Dan gue bukan orang Amerika lagi, gue orang Indonesia. Yang tahu Indonesia di sana sedikit. Akhirnya semua nanya-nanya ke dia nih, siapa sih nih orang?

Itu kenapa elo masukin elemen Indonesia yang kental? Karena elo mau kedengeran sebagai orang Indonesia?
Bukan itu juga. Alasanya lebih subconcious lah. Di semua yang gue lakukan mesti ada elemen timur. Kita kan orang timur. Timur yang gue maksud bukan cuma Indonesia aja. Kenapa? Karena musik Indonesia sendiri terinfluence dari musik dari India, dari Timur Tengah, bahkan ada yang dari musik Mandarin. Jadi intinya timur itu merupakan suatu dunia luas.

Iklan

Sebesar apa sih pengaruh musik timur di musik elo?
Besar banget sih, bahkan ini gue mau lebih mengeksplor musik ketimuran. tapi telat gue nih, baru sekarang nyadar. Setelah (belajar) di luar (negeri) gila gue mau ngasih apa sih yang unik? Mau bikin lagu sekarang apapun mereka juga bisa bikin yang lebih bagus, ya kan? Mau nyari konsep kaya apa juga mereka banyak yang lebih bagus. Apa ini yang gue mesti tawarin yang unik. Makanya sekarang, gue banyak dengerin musik gamelan jawa, gamelan Sunda, musik Batak atau musik-musik Sumatra. Ternyata musik Indonesia luas banget dan sedikit banget yang gue tahu.

Bisa cerita tentang DIVISI 62 , label yang elo bikin?
DIVISI 62 dibentuk awal tahun 2016 bareng RMP dan Django. Sebenarnya, DIVISI 62 sama Maddjazz konsepnya agak mirip. Kita semua (pendirinya) suka segala jenis musik apapun, semuanya kita telen. kebetulan gua sama si RMP kita seneng sama musik klasik soul jazz, musik klasik dan fusion avantgarde. Sementara gue sama Django punya ketertarikan serupa di dance musik, musik elektronik dan pop.

DIVISI 62 bukan cuma label musik doang. Bagi gue, DIVISI adalah sebuah brand yang memayungi sebuah ide sekaligus lensa untuk melihat berbagai hal dari kacamata Indonesia. Yang jelas, apa yang kami buat harus memiliki narasi yang mendalam karena yang kita keluarkan ini bukan hasil dari kita dengerin musik doang, ini hasil dari kita hidup di Jakarta, hasil kita baca, nonton film. Kami enggak bisa sekadar main musik. Semua orang juga bisa kalau kaya gitu.

Iklan

Ada berapa Roster DIVISI 62 sampai saat ini?
Kalau bicara roster sebenarnya cuma kita-kita saja, cuma namanya beda. Pertama, ada yang namanya RMP, yang fokus ke rythm Afrika dan punya elemen house music, disco, dan funk. Kedua, Uwalmassa yang strictly untuk musik tradisional Indonesia. Terkahir ada Marsesura—itu gue sama RMP—yang beneran mengeksplorasi sampling dan mengambil inspirasi dari semua musik yang kita suka. Yang menjadikannya unik ya karena kita melakukannya dengan kesadaran akan budaya dan format musik lokal di nusantara yang rumit banget.

Kenapa EP pertama elo malah engga dirilis DIVISI 62?
Nah itu musik itu udah ditulis lama, ibaratnya udah di-book sama Mike Bloom dan kebetulan emang konsep visualisasinya agak beda. [Abandoned Hi-Hats] dibuat untuk dimainin sama DJ dan banyak elemen club music-nya. Kalau di divisi kita lebih fokus sama bercerita, ada narasinya—mikro dan makro—yang beneran kita jaga.

Menurut elo apa permasalahan paling mendasar di scene musik elektronik lokal kita?
Pada dasarnya, pelaku scene lokal nggak termotivasi dan agak males buat mencari tahu ranah yang lebih besar dari hal yang mereka dalami. Kebanyakan taste di sekeliling kita di-drag sama yang namanya hype. Kesannya 'apa yang orang suka gue mesti suka, apa yang orang tahu gue mesti tahu'. Pemahaman seperti ini lah yang mengacaukan persepsi semua orang. Di Jakarta dan di Indonesia ya kaya gitu, orang baru punya referensi sedikit udah declare dirinya produser. Gue gak bilang kalau gua producer karena gue tahu ini ranah yang sangat luas dan ilmunya sangat dalam.

Iklan

Kalau gitu ada masalah dong dengan DWP (Djakarta Warehouse Project), karena tiap tahun kan line upnya pasti itu-itu?
Kalau itu masalah komersialisasi itu, masalah bisnis. Menurut gue sih ya promotornya main aman karena ketika dia approach ini sebagai bisnis ya dia hanya mau something yang bakal guarantee duitnya balik. Ya udah pasang aja hal-hal yang dangkal seperti itu dan yang orang cepet tahu tapi juga cepet lupa, dan yang tidak mendalam. Ini kasusnya sama seperti Java Jazz. Imbasnya ya ada kesalahpahaman publik (tentang musik jazz dan dance music).

Menurut lo ada kemungkinan musik elektronik masih lebih memasyarakat—tak cuma mainan kelas sosial tertentu—ke depannya?
Dalam sejarahnya, musik elektronik itu musik sidestream, musik alternatif perlawanan. Pendekatan yang digunakan awalnya sangat akademis—pakai synth lah, pakai ilmu matematika. Gue rasa sih perkembangan synthesizer dan sebangsanya akhirnya membentuk musik elektronik yang kita kenal sekarang. Kalau pertanyaannya sudah cukup memasyarakat atau tidak? Ya sudah lah. Awalnya kan musik elektronik cuma dimainin kalangan akademis. Tahun-tahun 70-an musisi seperti Herbie Hancock atau Chick Corea yang dulu main jazz tradisional dan fusion, mulai memasukkan alat-alat musik yang tadi (mainan) akademis ke ranah musik pop. Di dekade 80-an, alat-alat ini digunakan dalam produksi musik pop. Hip-hop juga muncul pake teknologi yang sebelumnya enggak dipake di musik pop. Tahun 90an, teknologi digital mulai masuk, komputer mulai dimainin. Nah mulai tahun 2000, konsep musik elektronik tadinya sempit jadi meluas. Ada swedish electro atau techno macem-macem lah.

Kalau musik elektronik jadi konsumsi masyarakat kelas bawah masih mungkin nggak?
Mungkin. Sebetulnya secara nggak langsung, dangdut pantura yang hidup di kalangan kelas bawah, sudah dibilang musik elektronik karena dengan pakai keyboard-keyboard murah, kan sudah incorporate teknologi.

Elo kan lulusan sekolah musik kenamaan Berklee College of Music, merasa terbebani dengan predikat itu?
Engga. Karena sebelum masuk, gue tahunya Berklee itu institusi hebat yang menghasilkan orang-orang yang berhasil. Pada kenyataannya, sama saja institusi lain. Emang semua lulusan MIT berhasil? Emang semua lulusan Harvard yang berhasil? Kan engga!