FYI.

This story is over 5 years old.

Nostalgia

Dokumenter ‘Terekam’ Menyelami Lagi Masa Jaya Raja-Raja Pensi Jakarta

Era pensi memang sudah usai. Tapi masa-masa itu melahirkan deretan band indie terbaik Ibu Kota yang masih berpengaruh, dan kini diabadikan filmmaker Adhyatmika.

Adhyatmika Pandu ingat persis, saat masih SMA, dia sering menertawakan polah penggemar berat band independen Jakarta, The Upstairs. Fans mereka yang berjuluk "Modern Darlings" itu dikenal berkat atribut khas baju warna warni, celana tartan, dan kacamata rim putih. Ketika The Upstairs diundang manggung di acara pensi sekolahnya sendiri, Mika—begitu panggilannya—seketika sadar bahwa band ini layak digandrungi. Dia tak lagi menertawakan para penggemarnya. Dia menjadi bagian dari Modern Darlings.

Iklan

Satu dekade kemudian, Mika berusaha mengabadikan momen-momen ajaib masa SMA itu melalui dokumenter yang diberi tajuk Terekam. Film pendek ini menjadi semacam arsip yang fokus pada profil empat band yang saat itu meraih kesuksesan terbesar di kancah independen Ibu Kota: The Upstairs, White Shoes And The Couples Company, Goodnight Electric, serta The Adams.

Ranah musik independen Indonesia mulai menggeliat sejak pertengahan 90-an, namun barulah satu dekade kemudian, band-band indie menuai hasil jerih payah mereka, masuk ke dalam kesadaran penggemar musik arus utama. Acara pentas seni sekolah, akrab disapa Pensi, menjadi bukti kepopuleran band-band paruh kedua 2000-an. Stasiun radio seperti Trax FM kerap memutar musik-musik alternatif lokal, dan beberapa video musik dari band-band seperti White Shoes And The Couples Company, Lain, The Adams, dan banyak band lainnya menghiasi layar kaca MTV. Film arus utama seperti Janji Joni soundtracknya diisi band-band ranah independen.

VICE Indonesia ngobrol bersama sutradara dokumenter musik Terekam Adhyatmika ditemani penulis naskah Reshan Janotama, membahas masa keemasan musik indie Jakarta, dampak era raja pensi terhadap budaya pop Indonesia, serta kebutuhan memperbanyak dokumenter bertema musik di Tanah Air.

VICE Indonesia: Belum banyak dokumenter musik Indonesia. Kenapa ya?
Mika: Di Indonesia antara pegiat musik dengan film somehow engga bisa berkesinambungan. Dunia musik [jalan] sendiri, dunia film sendiri. Jadinya jarang ada film yang nyambung sama musik. Ada sih misalnya Seringai - Generasi Menolak Tua, The Brandals - Marching Menuju Maut, film Henry Foundation yang White Shoes di Cikini. Tapi ini sangat sedikit. Sayang, karena dokumenter musik bisa menjadi sebuah perekam jejak sejarah kebudayaan sebuah bangsa.

Iklan

Budaya pop di Indonesia dianggap engga penting. Itu bikin gue gemes. Orang masih menganggap kebudayaan itu angklung lah, gamelan, batik. Memang bener semua hal itu harus dilestarikan, tapi ini Abad 21, kebudayaan akan terus berkembang. Dan kebudayaan merepresentasikan kita sebagai bangsa. Orang Indonesia budayanya udah sampe segini lho, musiknya segini, filmnya seperti ini. Itu harusnya selalu ada. Di dokumenter ini, Sari White Shoes pernah ditanya "di Indonesia ada playstation gak sih?" karena Indonesia dianggap negara "terbelakang" atau "tradisional" yang adanya tari-tarian lah, yang berbau jaman dahululah. Padahal Indonesia punya band-band keren yang punya suara sendiri dan berkualitas internasional.

Jadi Terekam ingin mengubah paradigma pengarsipan budaya pop tadi?
Mika: Waktu itu gue ama Getar—narator dokumenter ini—ngobrol gitu 'eh band-band yang dulu kita sering denger itu pada ke mana ya? Kok udah jarang kedengeran?' Dulu kan kayak setiap bulan mereka manggung. Temen kita anak Institut Kesenian Jakarta juga pernah ngomong 'ah band indie levelnya segitu doang.' Ada nada kekecewaan dari statement tersebut. Gue penasaran 'wah iya ya kenapa band-band indie pada ngilang ya?' Ada struggle apa sih buat musisi-musisi ini.

Ide ini terus berkembang. Lalu waktu itu kita sempet punya anak magang kelahiran 1994. Dia sukanya dengerin Beyonce, Rihanna, lagu-lagu pop sekarang. Terus gue bilang 'Ah selera elo gini-gini amat.' Snob nih [ketawa]. Terus gue kasih Upstairs, White Shoes, dia bingung. Dia engga pernah dengerin mereka. Padahal angkatan kita cuman beda lima tahun. Dari situ kita mikir harus ada yang bikin dokumenter musik memperkenalkan kembali era ini.

Iklan

Empat band yang ditampilkan Terekam jebolan IKJ. Kenapa mereka yang dipilih?
Mika: Karena kita pengen ngomongin struggle seniman, dan IKJ identik dengan seniman. Banyak yang nanya kenapa Rumah Sakit atau Bandempo engga diangkat? Argumen gue gini. Gue sama Echan lulus 2005/2006. Pas kita SMA, pensi lagi gede-gedenya, lagi menjadi fenomenalah. Empat band ini keluarnya berbarengan. Mereka rilis album pertama 2004/2005 dan menjadi raja pensi hampir bersama-sama dan kayak ada gelombang yang menghantam. Dan ini penting karena banyak band indie lain keluar sendiri-sendiri, sporadis seperti Naif dan Rumah Sakit. Empat band ini jadi sering jadi headliner bareng dan legendaris bagi anak-anak SMA di jamannya. Ini adalah musik masa muda kami yang ingin kami lestarikan.

Semua band ini muncul di pertengahan 2000an dan mungkin menjadi titik puncak scene indie Jakarta saat itu. Apa katalis dari fenomena ini?
Echan: Karena faktor bantuan media dan internet. Dulu pas SMA, gue tau [band-band] itu karena media. Gue sering dengerin radio kayak trax FM. DJ-DJ-nya juga temenan sama band-band indie, jadi musik mereka sering diputer. Majalah-majalah juga waktu itu lagi ngangkatnya itu semua. Sama dulu lagi zaman distro kan. Jadi dulu gue ke distro bukan beli baju, tapi beli CD, kaset atau beli majalah Ripple yang hanya bisa didapat di sana. Jadi seperti yang diceritakan Terekam, bantuan dari banyak pihak: pertemanan, media. Timing-nya emang lagi pas juga sih.
Mika: Satu faktor yang mungkin belum kita sempat bahas di dokumenter adalah faktor internet. Waktu itu zamannya friendster sama myspace. Persebaran sebuah hal terjadi dengan cepat melalui internet. Generasi band-band indie sebelumnya seperti Rumah Sakit masih ngandalin MTV atau radio untuk nyebarin musik. Sementara pas jaman mereka gue bisa dengerin lewat myspace, atau Multiply yang lagi hot-hotnya waktu itu. Saat itu musik Indonesia juga lagi stagnan, mentok di Peter Pan. Mereka ini kan artis ya? Jadi jauh rasanya. Gue gak bisa ketemu ama orang-orang ini lah. Gimana caranya gue bisa ketemu Ariel? Sampe sekarang pun gue gak tau caranya [tertawa].

Udah hampir satu dekade, empat band itu masih jadi headliner acara-acara musik besar. Menurut kalian apa yang bikin mereka bertahan lama?
Echan: Karena menurut gue, mereka masih konsisten. Sebetulnya banyak band-band penting dari era itu juga, tapi banyak yang hilang karena banyak yang engga berkarya lagi.

Kenapa Terekam durasinya cuma 12-13 menit? Alasan teknis? Apakah ada niat untuk bikin lanjutan?
Mika: Kami merasa zaman sekarang jejak sejarah itu efektif kalau dimuat untuk media internet. Misalkan bentuknya film panjang atau pendek untuk festival, jangan kata 10 tahun, tahun depan juga orang udah pada lupa. Aksesnya kan sulit. Misalnya mau nonton dokumenter A atau B, di mana nontonnya? Di internet sebuah karya akan menjadi abadi, dan selalu bisa diakses, selama Youtube masih ada ya. Jadi mindset-nya adalah internet. Span attention orang Indonesia juga rendah, durasi film 25 menit sering mengintimidasi orang, biarpun belum tahu kontennya apa. Ini yang coba kami hindari. Video itu marketingnya juga harus bagus, harus seksi. Jadi kami mencoba bikin videonya gak lewat 15 menit.

Kita malah seneng banget banyak yang bilang durasinya kependekan. Berarti kontennya bagus dan dinantikan orang. Ada beberapa ide yang sedang kami kembangkan. Banyak materi yang kami buang dari dokumenter pertama. Hal-hal seperti peran distro, peran video klip, peran seniman-seniman lain dan peran film-film seperti Janji Joni. Kami rasa sekarang band IKJ sudah cukup dibahas, jadi mungkin kami akan buat yang lain

Teknologi membuat kanal rekaman musik live seperti Sounds From The Corner dan pfphotoworks bermunculan. Apakah kalian yakin mindset orang soal dokumenter akan berubah?
Echan: Umm, mungkin akan berubah karena teknologi bikin semua gampang. Kamera HP aja udah bisa. Kanal-kanal kayak Sounds From The Corner dan pfphotoworks sangat membantu gue, ketika gue engga bisa dateng ke gig. Untuk jangka panjang, ini akan jadi harta karun buat siapa aja yang mau buat sesuatu.
Mika: Perlu digarisbawahi bahwa band-band seharusnya punya dokumentasi yang baik tentang karyanya. Karena 10 tahun dari sekarang kalo ada yang mau membuat dokumentasi, mereka engga akan inget nama kanal-kanal ini, tapi nama bandnya. Ini yang terjadi sama kami. Kami justru mendapatkan materi [footage] bukan dari bandnya. Dan itu bikin sedih.