FYI.

This story is over 5 years old.

Film

Tidak Bisa Orgasme Tuh Sama Sekali Enggak Lucu

Cris Mazza ngobrol bersama VICE, membahas filmnya tentang pengalaman penderita anorgasmia.

Cris Mazza adalah profesor penulisan kreatif, direktur Program for Writers di University of Illinois di Chicago, dan penulis lebih dari seribu buku—termasuk novel, koleksi cerita pendek, dan yang akan segera terbit, Charlatan: New and Selected Stories. Novel pertamanya, How to Leave a Country, memenangkan penghargaan PEN/Nelson Algren pada 1984. Sejak itu, Mazza membahas isu-isu terkait identitas, seks, gender, dan hierarki. Semuanya dia bahas secara gamblang. Dalam buku Something Wrong with Her: A Real-Time Memoir, Mazza membahas pengalamannya sendiri secara kritis. Ingatan Mazza soal kondisi anorgasmia, di mana seseorang tidak pernah bisa mencapai orgasme. Kelainan itu memicu kecemasan dan dampaknya terhadap hubungan-hubungan yang dijalin Mazza bersama pasangan. Disutradarai Frank Vitale, Mazza menulis, memproduksi dan membintangi film Anorgasmia: Faking It in a Sexualized World, sejenis follow-up Something Wrong with Her. Dalam Anorgasmia, dan tulisannya, Mazza tak bergeming: Soal pengalaman seksualnya, dia hanya menceritakan "perasaan pencapaian" dan bahwa hal tersebut "terasa seperti penisnya ditempelin pisau cukur." Film ini dianggap sebagai "docufiction," dan bolak-balik antara wawancara dengan Mazza dan adegan-adegan fiksi menggunakan sebagian besarnya non-aktor. Hal ini juga memadukan fotografi dan footage home video dari masa kecil Mazza. Dengan memadukan fiksi dan dokumenter, Anorgasmia membahas hal yang lebih dalam dari fakta atau reportase. Baru-baru ini bisa mewawancarai Mazza soal film itu, yang berkaitan dengan "seorang perempuan terjebak dalam kesulitan seumur hidup untuk memahami disfungsi seksualnya: alpanya hasrat dan gairah, dan anorgasmik seluruhnya." VICE: Mayo Clinic mendefinisikan "anorgasmia" sebagai "istilah medis kesulitan dalam mencapai orgasme, bahkan setelah mendapatkan stimulasi seksual memadai sehingga menyebabkan stres." Kapan pertama kalinya kamu mengetahui istilah medis tersebut dan berpikir istilah itu bisa menjelaskan keadaan yang kamu alami?
Cris Mazza: Kayaknya orang akan memandang saya jelek setelah saya menjawab pertanyaan ini… Sepertinya ketika saya baru menyelesaikan naskah Something Wrong with Her, penerbit saya menggunakan kata tersebut ketika mendiskusikan naskah itu dengan saya. Saya menggunakan kata tersebut sebanyak tiga kali di dalam buku itu, tapi mungkin kata itu ditambahkan oleh penyunting naskah saya setelah revisi. Saya ingat menggunakan kata "inorgasmic" sebanyak enam kali, dan sepertinya itu bukan kata yang ada di dalam kamus!
Intinya sih, saya menggunakan sebuah kata sesuai pengertian saya, yang artinya "tidak bisa orgasme". Ternyata kondisi medis tersebut benar-benar ada, berhubungan dengan kondisi mental, dan ada istilahnya sendiri. Tapi saya pikir, saya benar-benar lebih banyak belajar setelah proses menulis buku dan membuat film daripada kalau saya pendam situasi ini sendiri. Website Mayo Clinic juga mengatakan bahwa kondisi ini merupakan "hal yang umum, yang dialami banyak perempuan." Sudah berapa perempuan yang mengontakmu setelah membaca Something Wrong with Her atau menonton film Anorgasmia , dan merasa karyamu mendeskripsikan kondisi mereka?
Menurut pengalamanku, mengidap anorgasme macam ini bisa memicu malu, bahkan lebih parah dibanding jika kamu kecanduan seks. Bahkan pengidap anorgasme merasa lebih rendah dibanding pengidap fetish atau yang terobsesi melakukan orgy. Penyebabnya adalah kesan kurangnya hasrat seksual pengidap anorgasme. Rasa malu terbentuk karena kebudayaan yang kita jalani ini sangat mengedepankan seksualitas. Para pemenangnya adalah mereka yang lapar pada seks atau para petualang cinta. Ketika kita menolak didefinisikan oleh budaya macam itu, hasilnya adalah keterasingan. Bisa dibayangkan, jika kamu perempuan yang kesulitan orgasme. Kamu dianggap tak punya nilai oleh masyarakat. Begitu kesaksian beberapa perempuan yang mengalaminya saat ngobrol bersamaku. Akupun punya pengalaman pribadi yang serupa mereka. Kami sulit mempertahankan hubungan. Ketika aku cerita tentang masalah kesulitan orgasme, respons yang kudapat rata-rata adalah saran untuk memperbaikinya. Seakan-akan aku mesin seks yang tak berfungsi baik.

Iklan

Tabu-tabu begini yang bikin perlindungan terhadap mereka yang berbeda menjalani kehidupan seksual sangat lemah. Uniknya, aku melihat perkembangan terbaru ada kecenderungan orang senang merayakan kelemahan yang mereka punya. Akhir-akhir ini ada artikel tentang perempuan penderita anorgasmia, dan katanya dia sudah "bertahun-tahun" mengalaminya, padahal dia baru berusia 24! Ia bebas mengakui dia memiliki banyak pasangan seksual. Artikel lain di media Inggris memberitakan betapa perempuan berumur 19 tahun yang juga sudah "menderita anorgasmia selama bertahun-tahun."

Aku takjub membacanya, karena ketidaktertarikanku akan hubungan seks (dan mungkin sedikit rasa takut juga) menghalangi saya dari hubungan seks yang sebenarnya, sampai umur saya 24!

Apa pendapatmu soal sindrom selibat di Jepang, tren di mana jutaan orang di bawah usia 40 menolak berkencan ataupun berhubungan seks? Ini sebetulnya bisa menimbulkan masalah pertumbuhan populasi, namun tren ini sepertinya memiliki penyebab budaya dan ekonomi juga yang sebenarnya melanda tempat-tempat lain.
Aku belum mendengar soal sindrom selibat itu. Kelihatannya Jepang memiliki serangkaian kondisi budaya dan ekonomi yang mungkin menimbulkan masalah seperti ini—kondisi-kondisi dan tradisi di AS berbeda. Sementara di Jepang ada "sindrom selibat," dan itu bukan soal gaya-gayaan doang. Di AS kalaupun kita punya "budaya perkosaan" (menurutku itu enggak ada sih), penyebabnya lebih karena perilaku atau mentalitas kelompok yang didorong oleh kondisi ekonomi dan bentrokan tradisi. Saya bahkan berpikir persentase perempuan Jepang yang "tidak tertarik dengan atau membenci kontak seksual" terkait dengan kondisi ini—tradisi-tradisi budaya mendalam soal seks dan prokreasi, yang mana tidak terkait dengan cinta, pasti berdampak. Aku enggak tahu pasti persentase perempuan dalam kebudayaan lain, apakah sama dengan di AS. Yang kutahu, aku sudah merasa begini sejak masa puber hingga usia 20an, bedanya mungkin saya akan menambahkan kata "takut," Ada banyak kondisi personal lainnya yang membuat saya sampai di sini, tapi yang jelas bukan karena atmosfir budaya/religius/ekonomi di AS. Ngomong-ngomong, ada sekte religius tua di negeri ini—Shakers—yang menurutku, telah lenyap karena kredo mereka bukan "seks hanya untuk berkembang biak" melainkan "tidak melakukan seks sama sekali."
Dalam film itu, kamu menyebutkan pernah bertanya pada mantan suami rasanya menjadi laki-laki, dan tanggapannya adalah "kamu jalan-jalan dengan hasrat ingin ngewe dengan semua hal." Meski kita enggak sebaiknya mengeneralisasi, pernyataan itu kok terkesan kayak kartun ya. Ada sesuatu yang absurd soal konsep ngewe sama siapa aja tanpa alasan dan hanya karena rasanya enak. Menurutmu, apa orang-orang semakin sadar bahwa seks itu absurd, dan kehidupan modern juga absurd?
Memang sih hasrat seks yang seperti itu jadi terkesan seperti kartun, dan kehidupan sebagai manusia dengan hasrat seksual tidaklah sederhana. Bahkan hewan-hewan, yang hasrat seksualnya terkait dengan indera penciuman, tidak punya perilaku kayak begini. Tapi kalau orang-orang mulai memandang "ngewe sana sini" sebagai suatu hal yang absurd, saya belum pernah bertemu orang kayak gitu. Film ini digambarkan sebagai sekuel "docufiction" dari memoarmu, Something Wrong with Her . Mungkin kamu bisa cerita pilihanmu memakai format fiksi dokumenter. Kenapa ga dokumenter sekalian?
Kurasa cuma satu produser yang menggunakan kata "docufiction." Aku sendiri menyebutnya sekuel fiktif terhadap memoar saya—sudut pandang kesusastraan yang saya kira tidak akan saya gunakan. Di satu sisi, "docufiction" lebih akurat. Bagian docu-nya adalah wawancara-wawancara, dan fiksi itu adalah adegan-adegannya. Wawancara tersebut adalah kisah latar yang mungkin dibutuhkan novel manapun (semacam "kok dia bisa jadi kayak gini?" yang hanya dijawab oleh dugaan-dugaan). Lalu adegan-adegan yang terdramatisir adalah kisah fiktif. Kami enggak punya modal memadai (bujet, pemain, dll.) untuk membuat versi film dari memoar ini. Seandainyapun ada dana, mengingat fragmentasi dalam buku itu kayaknya tetap ga mungkin 100 persen sama. Jadi tidak ada adegan reka-ulang dari masa laluku. Untuk itu, satu-satunya cara untuk mengorek masa lalu adalah lewat wawancara. Untuk menghindari kebanyakan talking heads (meski kamera selama wawancara itu sangat efektif), kami melakukan banyak B-roll berisi Mark dan aku melakukan kegiatan sehari-hari. Aku juga menyediakan foto-foto stills Mark sama aku semasa kecil. Di sisi lain, Frank mengubah film-film 8mm keluargaku menjadi format digital. Jadi wawancara tersebut bisa ditambahin voice-over sebanyak mungkin. Soal kenapa kita enggak sekalian aja buat dokumenter seluruhnya? Mungkin karena ini bukan kisah pemulihan—tidak ada jawaban, tidak ada penyembuhan. Persoalanku ini enggak cukup dituntaskan dengan penceritaan sepenuhnya "drama."

Follow Brooks Sterritt di Twitter.