FYI.

This story is over 5 years old.

Makanan

Mau Berhenti Makan Terus-Menerus, Kamu Cuma Butuh Mengganti Persepsimu

Segampang itu? Ya enggaklah. Butuh tindakan dari terapis profesional
"Sad ice cream," by Flickr user Nicholas Mirguet.

Ini mungkin sering kamu alami: awalnya kamu cuma mau ngemil barang satu biji Oreoi. Eh pada kenyataaanya, kita kebablasan makan satu gepok Oreo. nah, kejadian ini menunjukkan bahwa intinya memang pengendalian diri, tapi mengendalikan diri itu bukan perkara gampang? Lepasnya kendali akan diri sendiri itu, apalagi kalau sudah berhubungan dengan makanan itu lazim terjadi. Saat kita menyantap makanan tertentu—gula, atau makanan yang kaya akan protein dan karbohidrat—sebagian otak kita langsung menyala dengan penuh kegirangan. Asupan gula akan ditanggapi dengan naiknya produksi dopamin di otak, seperti yang pernah diungkapkan oleh pakar gizi Diana James. “Dopamin,” katanya,”neurotransmitter kenikmatan, makanya makanan manis selalu menyenangkan. Dan kita memang memerlukan respon.

Iklan

James mendapatkan gelar master of science Columbia University di bidang ilmu gizi. Selain itu, dia adalah seorang pakar diet klinik terdaftar dan ahli gizi yang mengandalkan nutrisi dan terapi psikologis untuk menangani kondisi pasien yang ada kaitannya dengan asupan makanan.

Dalam episode terbaru THE ICE CREAM SHOW, James ngobrol bareng dengan pembawa acara Isaac Lappert tentang apa yang terjadi dalam tubuh kita kalau kita menghabiskan sekotak es krim sambil Netflix-an. Kami juga ngobrol dengannya tentang penjelasan ilmiah di balik hubungan antara makanan dan perasaan kita dan strategi-strategi sederhana untuk memutus ketergantungan kita pada cemilan.

MUNCHIES: Bisa ceritakan latar belakang pendidikanmu dan pekerjaaan kamu yang ada hubungannya dengan makanan itu?
Dana James: saya adalah seorang terapi gizi, terapis perilaku kognitif dan praktisi obat fungsional. Jadi, saya melakukan terapi terhadap tubuh dan pikiran, dan saya selalu menekankan keduanya ketika seorang pasien datang. Alasannya karena tiap kali kondisi fisik seseorang tak seimbang, pasti ada alasan biokimia di belakangnya. Dan inti masalahnya selalu berasal dari emosi. Gampangnya, sisi emosional kita akan mengubah kondisi fisik kita. Jika ini terjadi, maka seorang pasien akan datang menemui saya. Jadi memperhatikan apa saja yang berubah dari tubuh fisikmu tak akan cukup. Kamu tak sampai pada akar permasalahan sesungguhnya.

Iklan

M: Bagaimana kamu bisa mendeteksi masalah “memakan perasaaan” pada orang yang menghabiskan sekotak penuh es krim tanpa jeda?
DJ: saya selalu menjelaskan pada pasien bahwa terdapat aspek fisik dan emosional dalam kebiasaan makan mereka. Yang kami tangani pertama adalah aspek fisiknya karena sisi emosional adalah perwujudan dari proses yang terus berubah. Jadi, misalnya seseorang datang menemui saya karena punya kebiasaan buruk makan maraton. Kebiasaan ini jelas sangat bikin mereka frustasi karena pasien saya tahu dirinya harus berubah, menyingkirkan kebiasaan buruk ini tapi dia tak tahu harus berbuat apa.

Di titik inilah pasien memutuskan untuk berkonsultasi pada saya. Intinya, ada respon fisik dan respon emosional. Salah satu bentuk respon fisik adalah ketidakseimbangan dalam kondisi kimiawi otak. Makanya, kita bisa menggunakan asam amino untuk meningkatkan, mengubah kondisi biokimia otak.

Hal kedua yang saya telisik adalah apakah microbiome dalam perut tak seimbang? Karena microbiome dalam perut, yang secara garis besar dalah bakteri dalam usus besar, punya pengaruh yang besar dalam biokimia otak. Indikasi ketidakseimbangan microbiome di perut adalah adanya gejala kembung atau keinginan besar untuk makan gula yang susah dikendalikan. Kemungkinan besar ada ragi, bakteri atau parasit yang memicu munculnya nafsu akan gula yang besar ini.

Dan bagian ketiga adalah pola makan… apalah keinginan tinggi untuk menyantap gula datang dari diet yang jomplang dan karena penurunan kandungan gula dalam darah? Inilah penyebab utama seseorang tiba-tiba ngidam makanan manis. Jelas, makin tinggi asupan gula yang seseorang dapat, makin besar juga keinginan mereka untuk makan gula. Bahkan pemanis biasa pun bisa memicu munculnya keinginan untuk mengragas gula. Jadi, ketika aspek inilah yang saya bereskan dalam sesi pertama pertemuan saya dengan pasien. Pada perjumpaan berikutnya, kandungan gula darah di tubuh pasien sudah turun. Giliran saya membereskan benak pikirannya. Karena kalau terus dikuliti, pada dasarnya kita ngidam gula karena koneksi dengan oragng lain. Umumnya yang terjadi begini: kita menggunakan gula sebagai proxy karena kurangnya kedekatan kita dengan orang lain. Seringkali, para praktisi hanya menekankan sisi fisik dari masalah ini.

Iklan

M: Makanan apa lagi yang biasanya dimakan secara maraton?
DJ: segala macam yang kaya karbohidrat. Jadi, pasta dan roti bisa disantap secara maraton. Selanjutnya, mentega—apalagi selai kacang. Saya banyak dapat pasien perempuan yang tak bisa berhenti makanan selai kacang setiap saat, terutama kalau mereka menyingkirkan karbohidrat dari diet mereka. Setengah kontainer selai kacang bisa lenyap dalam sekali duduk. Kalau kamu meneliti kandungan es krim, kamu tahu pasti kenapa es krim nagih banget. Iya lah, es krim isinya kan lemak dan gula—kombinasi mantap karbohidrat dan lemak. Semua lemak bakal diubah menjadi glukosa—ya gula-gula juga sih. Dan kita membutuhkan respon ngidam gula macam ini, sebab kalau tidak kita tak akan makan.

M: Wah saya tak pernah kepikiran seperti itu. Cuma iya juga sih, kalau kita tak pernah lapar, kita tak akan pernah makan.
DJ: Nah itu!… terdapat semacam kepercayaan bahwa makanan bergula itu sebenarnya “obat” atau “adiktif”—sebenarnya dua anggapannya salah. Makanan bergula bukan obat sama sekali dan sebenarnya tak adiktif juga. Kita tak pernah bisa membuktikan bahwa manusia bisa sakau gara-gara tak menyantap makanan berbasis gula. Yang bisa kita buktikan adalah makanan jenis ini memicu produksi dopamin. Fakta ini menunjukkan bahwa makanan ini membawa kenikmatan. Jika kita terus menerus menegaskan bahwa makanan manis itu adiktif, kita sebenarnya mau cuci tangan dari tanggung jawab kita. Inilah kenapa orang sering bilang “Oh, saya kalau sudah ketemu permen atau kue susah berhentinya.” jadi, kamu kayak lepas tangan dari tindakan kamu. Itu tak bener. Kamu bakal mampu mengendalikan diri bila ngomong, “Oh makanan manis itu memang enak dan bikin saya senang, jadi kalau saya makan, tubuh saya akan terus bilang bahwa makanan ini membawa semacam kebahagiaan dan menyuruh saya terus memakannya.” Nah, intinya, kalau kamu tak mau terjebak dalam mentalitas “gue abisin juga nih satu kitak penuh,” kamu bisa menegaskan dalam benakmu “makanan ini terlalu menyenangkan, saya sampai tak kehilangan kemampuan memengendalikan diri, jadi saya harus hindari dulu deh.” Sebaliknya, kalau makanan manis adalah obat dan bikin nyandu, kamu akan mengonsumsinya dengan membabi buta. Padahal, pada kenyataannya, kamu punya kendali atas dirimu.

Iklan

M: Terus bagaimana kamu menangani seorang pasien yang datang dengan masalah seperti ini?
DJ: hal yang pertama yang saya tangani adalah aspek fisiknya. Saya resepkan asam amino untuk membereskan kondisi kimiawi syaraf mereka, sama seperti para psikiater meresepkan beberapa obat-obatan. Selanjutkan, saya akan masuk ke terapi perilaku kognitif, yang biasanya dikenal dengan nama CBT (cognitive behavioural therapy) dan merupakan terapi terkemuka untuk mengatasi kebiasaan makanan maraton. Pendeknya, CBT berfungsi untuk mengubah persepsi pasien. Sekali kamu bisa mengubah persepsimu, perilakumu juga itu bergeser. Kamu bahkan bisa mengakibatkan perubahan di tiga tingkatan sekaligus. Kamu dapat mengubah respon emosionalmu, respon perilaku dan respon fisik dalam satu waktu.

Misalkan, ada satu kue yang baru saja diangkat dari oven—katakanlah kue coklat yang baunya luar biasa sedapnya dan kamu mikir, “gue makan sebiji deh.” Dalam hati, kamu sadar kalau kamu bakal makan lima potong, karena memang rasanya lezat. Jadi, kami seakan-akan tahu sebelum menyantapnya. Saya tahu karena saya pernah mengalaminya. Nah, jika kamu bisa dengan secepatnya mengubah keinginan ini—misalnya kamu membayangkan ada kucing yang tiba-tiba nongol dan dengan asiknya pipis di atas kue-kue itu, nafsumu untuk makan kue ini hilang sebab dalam persepsimu kue itu sudah jadi menjijikkan. Alhasil dalam sekejap, kamu berhasil mengganti persepsimu. Cuma itu yang perlu kamu lakukan. Musnah sudah nafsumu untuk menyantap lima potong kue coklat.

Gampangnya, ketika CBT dimanfaatkan dengan bijak oleh seorang terapis terampil, teknik ini bisa menjadi sangat efeisien. Dan kita bisa menyusuri akar masalah makan maraton ini sampai jauh ke masa kecil pasien. Saya bisa saja kedatangan pasien yang suka mengantongi kue ke tempat yang tak seharusnya sebab mereka pernah melakukannya saat berumur enam tahu, iya kan? Bagi mereka ini cuma kejadian sepele di masa kecil mereka yang menyenangkan. Akibatnya, memori menyenangkan ini terekam dalam otak mereka. Kita harus kembali dan membongkar memori itu dan mengubahnya hingga nafsu pemiliknya hilang.

M: Baiklah, setelah kita sepakat bahwa kebiasaan makan maraton ini berbeda dengan kecanduan, lalu apa kesamaan teknik terapo yang kamu gunakan dengan teknik terapi terhadap adiksi narkoba atau alkohol misalnya?
DJ: keduanya hampir mirip kok. Jadi kalau dipikir, Alcoholics Anonymous atau AA juga menerapkan teknik CBT yang paling relijius. Apa yang dilakukan pegiaat AA adalah membuka pintu maaf dan menyusuri masa kecil untuk memahami kenapa kita sampai kecanduan alkohol dan obat-obatan. AA menghindari intervensi dalam bentuk obat-obatan, meski di saat yang sama seorang psikiater bisa saja meresepkan obat tertentu. Saya cuma mau ngomong bahwa CBT sudah cukup lazim dalam penanganan adiski.

Menarik. Terimakasih sudah mau ngobrol dengan kamu, Diana!