Afrika Selatan

Afrika Selatan Krisis Energi, Pemadaman Bergilir Sering Terjadi

Sementara rakyat Afrika Selatan hidup kesusahan akibat pemadaman massal, pejabat negara hidup nyaman karena rumah dinasnya tidak kena giliran mati listrik.
Sebagian kota Johannesburg mengalami pemadaman massal awal tahun ini. Foto: AFP via Getty Images
Sebagian kota Johannesburg mengalami pemadaman massal awal tahun ini. Foto: AFP via Getty Images

Krisis energi telah menyebabkan pemadaman bergilir yang menghambat aktivitas masyarakat Afrika Selatan. Aliran listrik dimatikan selama berjam-jam hampir setiap hari, sehingga warga di daerah-daerah yang terkena pemadaman kesulitan menjalani rutinitas dengan baik.

Afrika Selatan sudah 15 tahun lebih dihantui oleh pemadaman bergilir, namun masalahnya kian memburuk dalam beberapa tahun terakhir. Suatu daerah bisa mengalami pemadaman hingga 12 jam sehari. Baru-baru ini, Presiden Cyril Ramaphosa membentuk dua kementerian baru sebagai upaya mengatasi krisis listrik yang melanda negaranya.

Iklan

Dugaan korupsi yang muncul sejak masa kepemimpinan mantan presiden Jacob Zuma telah mengekspos buruknya pengelolaan sumber daya—khususnya dalam sektor listrik—yang dilakukan oleh Kongres Nasional Afrika (ANC), partai yang berkuasa di Afrika Selatan.

Julius Malema, ketua partai oposisi Economic Freedom Fighters (EFF), menyerukan ajakan demonstrasi guna menyuarakan kekecewaan rakyat terhadap kinerja Ramaphosa. Lebih dari 80 orang ditangkap di sejumlah daerah menjelang aksi unjuk rasa yang rencananya digelar pekan lalu.

Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa. Foto: Michele Spatari/AFP via Getty Images

Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa. Foto: Michele Spatari/AFP via Getty Images

BUMN Eskom, yang mengelola pasokan listrik Afrika Selatan, terlilit utang yang begitu besar, sehingga hanya bisa memasok setengah dari kebutuhan listrik negara tersebut untuk tahun fiskal 2022/2023. Sementara itu, pembangkit listrik tenaga batu bara yang beroperasi sudah tua dan tak mampu memenuhi kebutuhan listrik dengan baik. Akibatnya, sering terjadi pemadaman massal yang menimbulkan begitu banyak kerugian, terutama pada sektor layanan publik karena tidak dapat beroperasi secara maksimal.

Lelaki 23 tahun bernama Jaimen Brown merasakan beban tugas yang lebih berat sejak listrik di kotanya, Cape Town, sering padam. Sebagai tenaga paramedis, ia menyebut risikonya tinggi memberi perawatan tanpa penerangan yang memadai. Jaimen juga khawatir akan keselamatannya pribadi.

Iklan

“Cape Town merupakan kawasan paling berbahaya di negara ini,” terangnya saat dihubungi VICE World News melalui WhatsApp.

Afrika Selatan dikenal memiliki angka kriminalitas tertinggi di dunia, serta tingkat pengangguran dan ketimpangan sosial yang sama parahnya.

Menurut Jaimen, area yang aman sekalipun bisa menjadi “tidak aman” ketika terjadi pemadaman listrik. “Karena kurangnya penerangan, kami jadi tidak awas dengan keadaan sekitar saat berjalan melewati permukiman liar,” imbuhnya.

Lelaki botak mengenakan APD hijau

Tenaga paramedis Jaimen Brown di Afrika Selatan. Foto dari arsip pribadi.

Sepanjang tahun ini saja, tercatat ada 10 kasus serangan yang menyasar tenaga paramedis di Western Cape. Beberapa serangannya berupa pembajakan kendaraan dan perampokan.

Jaimen berkewajiban menangani pasien kritis, baik itu karena kecelakaan maupun peristiwa penembakan, selama shift-nya yang berlangsung 12 jam. Tenaga paramedis berurusan dengan nyawa, sehingga pemadaman listrik memberikan tekanan yang lebih besar kepada mereka.

“Semakin tinggi risikonya, semakin besar pula bahayanya. Akibatnya, tingkat kecemasan dan stres yang dirasakan tim paramedis pun meningkat drastis,” dia melanjutkan. Bisa dibayangkan betapa berbahayanya jika konsentrasi nakes buyar gara-gara stres.

Para pelaku usaha lokal juga terkena getahnya. Contohnya seperti Ziyaad Kolia, yang membuka restoran Super Burger SA di Durban, bagian timur Afrika Selatan. 

Iklan

Banyak peralatan masaknya yang rusak akibat seringnya gangguan aliran listrik di kota tersebut. Tak hanya itu saja, pengeluaran Ziyaad membludak gara-gara ia harus membeli es supaya bahan-bahan makanan awet di dalam kulkas yang mati.

Setiap terjadi pemadaman bergilir, restorannya tidak dapat menerima pesanan lantaran mesinnya butuh listrik, sedangkan pengiriman terhambat karena tidak ada jaringan internet. Ziyaad memperkirakan kerugian lebih dari 20 persen setiap bulan. Ia terpaksa memecat pegawai restoran untuk menghemat biaya.

Restoran burger Ziyaad dulunya merupakan kedai es krim, tapi penyewa sebelumnya bangkrut akibat pemadaman bergilir.

“Kami bahkan tidak bisa melayani pelanggan gara-gara tidak ada listrik,” keluhnya. “Kami jadi pesimis melihat banyaknya bisnis yang tutup di sekitar kami.”

“Entah berapa lama lagi saya bisa bertahan seperti ini.”

Pelanggan menunggu pesanan sambil gelap-gelapan di sebuah restoran saat kota Johannesburg mengalami pemadaman massal. Foto: Leon Sadiki/Bloomberg via Getty Images

Pelanggan menunggu pesanan sambil gelap-gelapan di sebuah restoran saat kota Johannesburg mengalami pemadaman massal. Foto: Leon Sadiki/Bloomberg via Getty Images

Beberapa kenalan Ziyaad mengandalkan genset supaya bisa tetap berjualan. Tapi menurutnya, genset bukanlah solusi yang tepat. “Genset membutuhkan bahan bakar solar yang mahal,” ujarnya.

Mirisnya, pejabat negara bisa hidup nyaman tanpa perlu khawatir listrik mati atau kehabisan air. Selain dibebaskan dari kewajiban membayar listrik, rumah dinas mereka tak masuk cakupan pemadaman bergilir. Sementara rakyatnya kesusahan akibat tidak ada listrik, Ramaphosa dan rekan-rekan pejabatnya “hidup bak rock star”.

Iklan

Aktivis mahasiswa Raeesah Noor Mahomed percaya negaranya punya potensi memajukan energi terbarukan, namun pemerintahan korup merusak semuanya. 

“Pertambangan batu bara dan bahan bakar fosil menawarkan keuntungan besar, makanya banyak yang menolak masuknya [energi terbarukan]. Hal ini terjadi di seluruh dunia,” tandasnya.

Mahomed menyebut pemadaman bergilir merugikan pelajar yang hidup pas-pasan atau berasal dari keluarga kurang beruntung.

Anak muda memegang botol minum

Raeesah Noor Mahomed, 20 tahun. Foto dari arsip pribadi.

“Kamu tidak bisa pakai wifi saat terjadi pemadaman listrik. Kamu enggak akan bisa menyelesaikan tugas tanpa internet. Lalu, bagaimana kalau baterai gadget-nya habis tapi listrik tak kunjung menyala?” kata mahasiswa tahun ketiga di Universitas Cape Town.

“Tahun lalu, banyak di antara kami yang meminta keringanan dari dosen. Namun, permintaan kami ditolak karena katanya semua juga mengalami pemadaman listrik. Katanya, kami seharusnya punya persiapan lebih bagus supaya tugas kuliah bisa kelar.”

Pada kenyataannya, jadwal pemadaman bergilir tidak selalu pasti. Tak jarang listrik mati tanpa pemberitahuan sebelumnya. Belum lagi, tidak semua mahasiswa punya cukup uang untuk membeli kuota internet yang mahal.

“Pelajar bisa tekor jika terus-terusan membeli kuota internet, apalagi kalau uangnya pas-pasan,” lanjut Mahomed. “Pilihan terakhir yaitu mengerjakan tugas di kafe, tapi itu pun kamu perlu membeli kopi. Kantong bisa jebol kalau kayak begini.”

Ia berharap seluruh dunia sadar akan kondisi negaranya saat ini, bahwa rakyat Afrika Selatan lah yang paling dirugikan oleh pemadaman bergilir.

“Gara-gara pemadaman listrik, orang kehilangan pekerjaan dan tidak bisa makan. Rumah sakit juga tidak dapat beroperasi dengan baik,” pungkasnya. “Kelompok terpinggirkan paling merasakan dampaknya.”