FYI.

This story is over 5 years old.

Musik

Menyusuri Skena Musik New York Dekade ‘70an

Penulis Luc Sante mengenang bagaimana berartinya skena musik New York pada dekade 1970an, betapa kita harus berterima kasih pada para pegiatnya
Semua foto milik Meryl Meisler's, diambil dari buku  Purgatory & Paradise: SASSY '70s Suburbia & The City, yang diterbitkan Bizarre Publishing pada 2015

Hampir semua yang menyenangkan di New York City tak pernah jauh dari musik. Kalau kalian masih berusia belasan atau umurmu baru kepala dua—semua orang merasa berumur 20an di New York—segala hal di luar pekerjaan harianmu punya kaitan dengan musik. Lagipula musik tak cuma jadi soundtrack hidup kamu, musik adalah alasanmu hidup. Dunia musik adalah dunia yang luas, sebuah semesta yang amat berbeda dari dunia yang kamu tinggali. Sekali kamu tahu caranya bergelut dengan musik, musik akan terus menghiburmu. Kalian bahkan tak memerlukan sebuah alat musik, musik akan terus mengalir dari dirimu dengan begitu lancar.

Iklan

Pencarian akan musik biasanya membawa kami ke berbagai toko musik. Entah itu pasar-pasar musik di Time Square dengan ribuan judul plat, toko-toko kecil di kawasan Downtowan New York yang isi inventory-nya seakan otomatis menyesuaikan diri dengan perubahan selera pengunjuang, toko-toko plat di kawasan perumahan yang punya koleksi tua yang tak pernah sekalipun disentuh sejak 1962, museum doo-woop yang dijaga penggila musik di kawasan arcade subway yang obscure. Pengembaraan sama membawa kita menyaksikan manajer toko musik yang menyiapkan album-album bootleg dalam sebuah kamar kecil yang ditutup sebuah kain, menyusuri barisan album oldies di Bleecker Street, yang semua kasirnya adalah kritikus musik mumpuni dan pembicaran di toko ini bergonta-ganti dari yang dibahas sekenananya hingga tema-tema yang diperbincangkan dengan begitu mendetail.

Lewat petualangan yang sama, kalian akan mampir ke klab-klab yang bangunannya cuma terdiri dari bar dan sebuah panggung di pojok belakang, atau balai pertemuan yang dihias ala kadarnya, panggung penyanyi perempuan dari era sebelumnya, bar-bar vaudeville dengan lukisan indah di langit-langitnya, atau ballroom hotel yang semua aturan tentang kebakarannya sudah ribuan kali dilanggar, atau klab jazz di kawasan semi industri yang saking terpencilnya tak ada kios yang jual rokok dalam radius 1,6 km. Perjalanan mengakrabi musik ini pula menyebar lewat koran-koran bawah tanah, tabloid gosip anak muda, bio-bio pendek musisi, wawancara radio hingga artefak promosi sebuah perusahaan musik yang ditaruh alat kasir di sebuah toko.

Iklan

Kerumuman pengunjung di luar CBGB, April 1977.

Seorang gadis berdiri di lorong CBGB, April 1978

Namun, 1977 bisa dibilang sebagai sebuah dunia yang benar-benar baru. Semua orang punya gaya rambut teranyar tahun itu dan tak seorangpun tahu apa penyebabnya. Jika kalian berada di masa itu, perubahan seperti merayap di dinding-dinding. Tahun itu adalah tahun kami menguji berbagai hal. 1977 adalah sebuah laboratorium. Semuanya bisa dilakukan. Yang dipertaruhkan adalah masa depan yang setidaknya terasa amat mirip dengan masa lalu. Sebuah kondisi yang bisa dibaca sebagai indikasi bahwa pengetahuan dunia kaum hippies sudah dijungkirbalikkan. Gaya potongan rambut yang sedang “in” tahun itu bukti kuatnya. Saat itu adalah waktu kami untuk menetapkan posisi kami dalam musik sudah—salahnya satunya menyingkir apa yang sebelumnya ada. Hidup seketika jadi hitam putih dengan sebuah garis tipis berwarna merah melintang di tengahnya.

Tahun itu dimulai dengan menggagalkan konsernya karena sakit dan Apollo mengembalikan uang kami. Opsi lain yang kami punyai cuma rumor dan itu sudah berlangsung selama setengah tahun. Setelah melakoni perjalanan panjang menggunakan kereta bawah tanah, kami sampai di sebuh bar di bawah sebuah hotel di kawasan Bowery. Bar itu cuma menyediakan satu meja biliar dan sebuah panggung di bagian belakang. Namanya singkat saja: CBGB. Di atas panggung, malam itu berdiri empat orang pria yang memakai kemeja shirt jacs, tak banyak gaya. Sebuah shaker bar terlihat menempel di salah gitar yang mereka bawa. Band Itu punya yang biasa banget: Television (1)

Iklan

Poster gig malam itu dibubuhi blurb dari Nick Ray— four cats with passion—dan seseorang lain yang bernama Scott Cohen: killer. Sharp as tacks. Keduanya bikin saya memek. Television adalah band yang benar-benar, musiknya beda betul dari yang kami pernah dengar, begitu pikir kami saat menyaksikan mereka mengcover lagu "Psychotic Reaction," milik The Count Five. Sepintas, Television seperti terjebak di 1966. Lirik dari lagu mereka menguarkan cita rasa mod. Ini misalnya"I look at you / I get a double exposure" atau ini "Prove it / Just the facts / Confidentially." Pemain bass mereka, yang sepertinya punya hobi meloncat dan mendarat dengan dengkulnya, rupanya bikin sebuah lagu pendek yang chorus punya lirik seperti ini"I belong to the [ pause] blank generation."

Namun, kesan 1966-an juga terbaca dari bagaimana dua lead guitar Television yang saling berkelindan seperti dua mata pisau, bagaimana lirik-lirik mereka bisa berubah kapan saja jadi kemarahan yang disonan, bagaimana drummer mereka menyusun beat dari sekumpulan paradiddle, seakan-akan dirinya sudah dirasupi arwah Elvin Jones (3)—serta bagaimana keriuhan yang mereka ciptakan bisa meledak kapan saja.

Nyatanya itu semua yang bikin musik Television begitu pas dengan dunia di luar CBGB. Dunia yang semua strukturnya terus menerus ambruk. Dunia tanpa kepastian dan menyambut dengan tangan terbuka segala macam hal yang acak serta dunia yang seakan memunggungi masa depan. Tom Verlaine (4) bernyanyi tentang betapa kunonya Broadway. "Broadway / Looks so medieval," katanya.

Iklan

Dan memang begitulah keadaannya. Segala macam hal yang pernah mengisi dekade sebelumnya seakan digusur ke pinggir trotoar untuk selanjutnya dipilah. Pilihannya cuma dua: digunakan kembali dengan cara yang betul-betul berbeda atau dibuang selamanya. Di samping kami, tak ada satupun mau menjejalahi kawasan Bowery. Secara de facto kamilah yang mewarisi kawasan. Bowery, dengan boulevardnya yang kosong melompong dan diisi gubuk-gubuk yang ditinggali hantu. Di salah satu bar di kawasan ini, tiap malam dirayakan begitu semarak, seakan tiap malam adalah malam tahun baru dan kami semua—yang datang ke sana—harus pulang dengan menumpang mobil yang kebetulan nyasar ke sana.

Namun, di tahun yang sama, informasi mendatangi kami dari semua penjuru Bumi. Selama beberapa tahun sebelum 1977, sinyal informasi yang paling kuat datang dari Jamaika, sebuah negeri yang tak kami kenal sampai akhirnya produknya membanjiri New York mulai tahun 1973. Salah satu di antaranya adalah sebuah film berjudul The Harder They Come—yang sepintas sama galak seperti sebuah film bergenre spaghetti western—dan soundtracknya yang aduhai (jujur saja, waktu itu tak ada yang bisa menangkap lirik lagu Toots and The Maytals "Sweet and Dandy," dan kami baru sadar kalau isinya tentang sebuah kenduri perkawinan di kampung setelah kami mabuk kepayang oleh groove lagu itu). Baru setelah itu, album-album keren seperti tak henti-henti menyerbu New York dari Jamaika. Awalnya, kebanyakan album-album ini terasa sangat misterius, terutama genre musik yang memasukkan para penyair yang kerasukan arwah tengah ngoceh di atas track yang kaya sound effect dan echo yang tak tanggung-tanggung tebalnya. Kadang di antara suara instrumen yang datang slih berganti—kalau tidak bisa dibilang terpotong-potong—melodi yang dinyanyikan para penyair ini dibiarkan mengambang begitu saja.

Iklan

Maka setelah kami benar-benar kesengsem dengan genre musik asal Jamaika ini, kami dengan mantap menyebut Big Youth sebagai band yang luar biasa, begitu juga dengan U-Roy. Namun, rasa-rasanya, kalau tanpa campur tangan Patti Smith—yang bisa dibilang update banget dengan perkembangan musik kala itu—kami tak akan mengenal penyair Rasta surealis Tappa Zukie. Setiap rekaman Zukie terdengar seperti perang antara manusia melawan radio. Zukie berteriak dari dalam ruangan yang dia bangun sendiri, melewati barisan bassline setinggi pohon kelapa, berlari zigzag melewati kepungan perkusi dan memanggil suara brass section untuk turun perang bersamanya. Di lagu"Jah Is I Guiding Star," lagu milik Horace Andy, "My Guiding Star(5)" dikuliti habis-habisan sementara Zukie mencapai titik klimaks ceramahnya: "Have mercy upon those who have mercy upon themselves / Don't get me mad y'all." Tak berhenti di situ, Zukie lalu memberondong telinga kami dengan rapalan panjang dalam satu tarikan nafas selama satu setengah menit : "The automatic clicker with remote control / The dennis / The menace / The mattress all / The dread dem sleep and the baldhead a-peep / And the dread dem wake and the baldhead creak how you mean…"

Musik macam inilah yang memberi kami sepatu boot untuk kami gunakan menjelajahi jalanan New York. Musik ini juga bikin kami merambah kota lebih cepar dari taksi dan musik ini pula yang membangkitkan keberanian dalam diri kami untuk menari di ruang kosong rumah yang pemiliknya tak kami kenal. Lampu-lampu bertebaran di halaman rumah tempat kami berpesta. Sorotnya diarahkan ke dinding. Sebuah kipas angin besar terus mengipasi halaman yang berubah jadi oven panas berukuran 457 meter persegi. Turntable yang digunakan untuk memutar lagu dalam pesta itu dicolokkan ke sebuah ampli gitar dan echo dari musik yang kami mainkan makin tebal setelah menabrak dinding-dinding semen rumah. Kami menari mengikuti irama reggae, disco, R&B bahkan disco. Kami tak bosan-bosannya memutar "I Want You" dan "Got to Give It Up" milik Marvin Gaye, "Float On," milik The Floaters, “Le Freak” milik Chic dan hampir semua lagu James Brown terutama “Papa Don't Take No Mess." Tahun 1977 adalah tahun kami mula keranjingan anthem milik Funkadelic "One Nation Under a Groove." Suatu hari, kami mengganti lagu minum-minum khas Bavaria yang dinyanyikan Francis Scott Key dengan lagu ini—“One Nation Under a Groove” memberikan celah bagi kami untuk menari, melepaskan diri dari segala kekangan dan, hebatnya, fenomena ini terjadi di seluruh Amerika Serikat. “One Nation Under a Groove” adalah serangkaian sirkus sound. Lagu ini seakan tak pernah berhenti kami putar. Malah, kadang kami memindahkan jarum turntable kami ke awal lagu sebelum lagunya benar-benar selesai. “One Nation Under Groove” adalah sebuah sirkus suara singkat. Ada brass band, badut, suara kuda, hujan confetti hingga kepala monster besar dari papier-mache. Lagu ini juga bakal mengajarkanmu berjoget bahkan jika kamu memang tak pernah ajojing sebelumnya. Yang kamu perlukan lakukan adalah mengikhlaskan bokong bergeol mengikuti dentuman bass dan tepukan tangan anggota Funkadelic . Niscaya bagian tubuh lainmu akan ikut bergerak mengikuti bagian lagi dari lagu ini—entah itu senandung setengah tempo, synthesizer yang meraung-raung, isian drum, monolog gitar, peluit hingga saut-sautan suara yang terdengar keluar dari selusin mulut yang berbaeda. Baru setelah kami memutarnya selama enam kali berturut, kami sadar kalau lantai yang kami gunakan untuk berdansa ikut bergetar selagi kami bergerak. Saya tak bercanda. Hal ini bukannya tak mungkin terjadi jika pesta di gelar di tempat-tempat yang reot. Tak mau beroleh nasib buruk, kami segera berjalan menuju tepian panggung yang dipenuhi botol dan kaleng kosong. Dari situ, para pengunjung pesta terlihat seperti makhluk raksasa dengan 400 badan. Saat itu, udara yang bercampur keringat, tumpahan bir dan bau tembakau mungkin sudah hampir memadat. Lalu, seorang dengan suara falsetto berteriak “Udah terus saja joget.”

Iklan

Tak lama kemudian sikring pun putus.

Karena kami waktu itu baru berumur 19, 22 atau paling banter 24, dan kebetulan tinggal di kota besar, kami seakan berada di garis depan perkembangan budaya pop. Tak ada satupun yang terjadi di kancah budaya pop yang tak kami ketahui seminggu sebelumnya. Tak ada media yang mau repot menulis skena kami—TV, radio dan majalah waktu itu belum begitu peduli dengan apa yang kami lakukan. Tapi, bodo amat deh. Toh kami juga awas dengan perkembangan skena dan musik yang kami sukai lantaran jaringan perkawanan antara kami. Lewat jaringan ini, kami tahu kalau ada sebuah klab akan segera dibuka di kawasan yang jauh dari tempat kami tinggal tapi bebas dari kemacetan. Kami juga langsung waspada ketika sebuah plat 45rpm bakal diobral di tiga toko musik belaka. Kami juga tahu jika sebuah band baru akan latihan tapi belum sempat manggung. Kami juga tahu jika sebuah bar—persetan kalau tempatnya jauh—bakal mengganti isi jukeboxnya dengan beberapa lagu baru, termasuk lagu yang dibuat oleh teman-teman dekat kami—kami tahu semua ini dalam sekejap. Maka tak heran, minimal ada satu mutual friend antara tiap anggota skena kecil kami.

Ironis memang kala itu. Kami tinggal di sebuah kota besar tapi skena kami adalah sebuah kampung kecil, di mana semua orang di dalamnya, termasuk mereka yang manggung sama-sama sarapan di kedai kopi Ukrania.

Television beraksi di CBGB, 1975. Photo via Richard E. Aaron/Getty Images.

Seorang pria di Subway di Brooklyn, Maret 1978

Intinya kami tahu, masa itu adalah zaman milik kami. Sayangnya, keyakinan macam ini cuma dipegang oleh segelintir orang. Paling banter jumlahnya hanya ratusan. Di antara ratusan orang itu, sebagian percaya kalau 1966 sedang kembali terulang dan bahwa band mereka cuma butuh satu keberuntungan sebelum lagu-lagu mereka menghiasi setiap jukebox di New York, radio-radio yang kami pantengi, pesta dansa SMA di seluruh penjuru AS. Namun demikian, beberapa dari kami juga menyadari ada segundukan sampah yang teronggok di depan kami yang jumlahnya terus naik. Kami tak bisa lari begitu saja dari onggokan sampah peradaban di depan kami. Kami kadang bertanya-tanya jangan-jangan kami tengah dituntun menuju kehancuran manusia. Akhir peradaban sepertinya ada di depan mata, atau bisa saja perkiraan kami meleset. Ada pula “kota-kota” kecil lain dalam kota ini dan semuanya berjalan menempuh rutenya masing-masing. Kami sendiri melihat rute yang kami tempuh sebagai jalan menuju kejayaan, seperti poster baru yang ditempel dengan lem kertas menutup poster-poster yang sebelumnya ada di jalanan New York yang ditempel generasi sebelum—yang kini asik mengukur capaian mereka dengan hitungan minggu kerja atau tahun fiskal. Generasi sebelum kami—tak awas bahwa masa mereka sudah lewat—masih mencari kesenangan dunia dan berlagak macam mereka masih hidup di 1937. Hanya saja, kami masih sering tertarik ke dalam dunia mereka, meski cuma sekejap. Kami terpaksa menikmati lagu-lagu Jester dan the Paragons, The Flamingos dan the Moonglows karena kalender yang kamu temui di pinggir masih mentok di 1957.

Iklan

Kami semua menyanjung dan merayakan teriakan “no future” (6) yang keluar dari mulut seorang vokalis punk dari Inggris. Hanya saja, tafsiran kami atas teriakan itu agak sedikit berbeda. Menurut kami, jika kata “future” mengacu pada hilangnya kesempatan melakoni karir yang dambakan dan pada sekumpulan gedung-gedung pencakar langit yang memenuhi lanskap merah langit New York, maka kami sepakat mengatakan tidak pada masa depan macam ini. Kami—generasi yang digadang-gadang mengisi kekosongan di mata—dengan jawaban singkat “no.” Gerakan No-Wave lahir di New York saat itu, tapi kota ini seakan tak menginginkannya. New York tak mengerti gerakan musik baru ini. Yang New York inginkan adalah lagu-lagu dengan gitar yang ramai, chorus yang enak disenandungkan dan lirik-lirik tentang kegembiraan sesaat ala anak muda. Bagi kami, musik-musik macam ini terlalu ngawang atau delusional, setidaknya dari sudut pandang kamu. Esensi lagu-lagu macam itu sudah habis digerus oleh perang, pembunuhan dan kerusuhan yang sudah berulang kali. Dan kalau mereka tak paham akan hal ini, jangan-jangan mereka sedang mengonsumsi obat-obatan yang lebih kuat dari yang kami pakai. Estetika yang kami yakini bisa dirangkum dalam satu kata: destroy, mirip seperti yang dianut seniman-seniman Perancis yang berhasil mengubah kata itu, dari kata kerja menjadi kata sifat. Sifat tanpa tedeng aling-aling juga jadi kredo yang dijunjung oleh Ulrike Meinhof and Andreas Baader(7), yang baru-baru ini berpulang. Band-band baru bermunculan di New York. Anggotanya adalah musisi yang sebelumnya tak pernah memainkan alat musik sekalipun. Mereka berhasil membuat komposisi sepanjang dua menit berisi noise dan beat-beat yang lumayan stabil. Inilah yang mereka bisa janjikan pada kami. Beberapa bisa bikin komposisi yang lebih keren dari itu, tapi kami selalu bisa mengandalkan kegeraman, noise dan teriakan atonal dari band-band ini. Saat itu, kamu bisa mencoba mendatangi Max’s (8) pada malam apapun dan kamu akan menemukan Bradly Field memukul apapun yang ingin dia hajar dengan sticknya. Gordon Stevenson berusaha mengeluarkan sine wave dengan bassnya. Sementara Lydia Lunch—saat itu masih berusia 16 tahun—membuat bunyi aneh dengan gitar rongsokannya. Nama band mereka Teenage Jesus and the Jerks. "Little orphans running through the bloody snow," teriak Lydia, membangkitkan kengerian ala zaman Victoria. Lydia mungkin berbadan mungil namun wibawanya tak bisa dianggap sebelah mata. Dia bisa dengan mudah membuat para pengunjung bar tempat bandnya manggung terperangah. Dia mampu melakukan apapun di atas panggung. Memang, Lydia cuma sebuah musisi/penyair muda yang mencibir orang tua kami, Tuhan dan masyarakat New York, namun keriuhan Teenage Jesus dan The Jerk memastikan liriknya terdengar sangat serius.

Iklan

Puisi—dan kepenyairan—adalah darah yang mengalir di New York selama beberapa dekade. Penyair-penyair Beat kembali tinggal di New York ketika kawasan tersebut didominasi keluarga kelas pekerja yang tak banyak gaya dan kota New York belum menawarkan kenyamanan kehidupan modern—mereka sangat menyukai kondisi seperti ini dan fakta kalau hidup di New York itu masih sangat murah. Di masa-masa saat gerakan hippies sedang hangat-hangatnya dan tahun-tahun setelahnya, para penyair beat terus hijrah ke New York. Toko-toko buku sesak dengan chapbook—buku-buku berisi pamflet—yang digarap dengan menggunakan kertas tik. Penulisnya sendiri asik mengantri di luar Gem Spa dan teler dengan setelah menenggak beragam macam pil. Kedai kopi segera jadi tempat pembacaan puisi dan Project Poetry—gelaran pembacaan puisi yang digagas oleh Paul Blackburn dan dilangsunkan di St. Mark’s Church di Bowery—pun lahir. Berbagai musisi elit pernah menjadi tamu acara di sini. Patti Smith pernah membaca puisi di sana. Lou Reed juga pernah ikut unjuk gigi di sana. The Fugs malah pernah manggung di sana. Malah, beberapa penyair muda jebolan acara ini mulai bikin band—Television adalah salah satunya.

Saat ini, puisi masih lazim dibacakan di kawasan Bowery, meski musik membuat puisi-puisi itu kehilangan gigi. Padahal, di awal perkembangan skena di kawasan Bowery, puisilah membuka jalan untuk musik. Karenanya kini kami—dan mungkin kamu—berjalan dengan bassline sebuah lagu mengalun di kepala karena bassline inilah yang jadi bensin dalam hidupnya, dan tanpa disuruh kita memasukkan kata-kata dalam bassline tersebut. Kata-kata itu bisa kita ambil dari obrolan di pinggir jalan atau berita di koran atau kata-kata yang begitu saja nyangkut di kepala kita. Bait-bait milik Linton Kwesi Johnson (9) (di album pertamanya, dia memakai moniker Poet and the Roots) sampai ke kuping kami menyebrangi lautan dari tempat yang jauh lebih bergolak dari pojokan New York yang kami tempati. " It's war amongst the rebels, madness, madness, war," ujar Johnson. Band reggae yang menyertainya segera mengikuti tempo bait-bait Johnson. Penyair dub yang kini berusia 65 tahun itu tak pernah berusaha lebay—dia tak mengumbar hiperbola. “Five Nights of Bleeding”—track kedua dari album pertamanya—adalah sebuah kanvas besar yang mengisahkan penusukan, perkelahian dan kerusuhan saat musik ("bubbling and backfiring, raging and rising") jadi saksi kekerasan polsi dan kecenderungan korban melakukan perlawanan. Kata-kata yang dipilih Johnson keras, dipahat, hangus dan punya tiga dimensi. Pendeknya, diksi Johnson sangat epik. "Inside James Brown was screaming soul / Outside, the rebels were freezing cold." Koma di larik ini sekeras tembok rumahmu. Kami merasakan kehebatan lirik ini, bahkan dari lingkungan kami yang jauh lebih nyaman, daripada Jamaika sekalipun.

Iklan

Fisik suara bass masih berkeliaran sampai saat ini, menguar dari dalam bar, mobil yang lewat, pizzaria, toko plat hingga distro, namun yang pasti bassline yang bagus selalu nempel di kepala kita karena memang sudah dilupakan. Hari-harimu mungkin digerakkan oleh permainan bass dari Robbie Shakespeare di lagu Junior Delgado "Fort Augustus," atau permainan Bootsy Collins di nomor Parliament, "Flash Light," dan Lloyd Parks di lagu "Equal Rights," milik Dennis Brown dan Jamaaladeen Tacuma di lagu “Voice Poetry” milik Ornette Coleman atau mungkin petikan jemari Jah Wobble dalam lagu “Swan Lake” milik Public Image Limited (10).

Sudah barang tentu, otak kita merekam lebih bassline yang pernah kita dengan di klab atau single 12 inch yang tak memiliki informasi yang jelas. Yang pegang kendali sekarang adalah badan kita, dan kita kini bisa menggoyang-goyangkan badan kita selama empat atau lima hari dalam seminggu. Kamu bisa berjalan dan berjoget bak seorang penyihir, melakukan gerakan yang tak pernah kepikiran otakmu. Tentu, kamu yakin kalau semua mata tertuju padamu. Kamu, pada akhirnya, bahkan bisa menari mengikuti poliritme yang rumit. Kamu lebih memilih klab-klab yang lantai dansanya sepi supaya kamu bisa strutting, menggerakkan tubuhmu dengan bebas. Pokoknya berdansa mati-matian. Selama menari, kamu melirik temanmu dan kalian menyamakan gerakan menjelang chorus lalu kalian berdua berpisah, memamerkan gerakan-gerakan andalan kalian masing-masing. Kalian terus menari, menghormati segala dedikasi musisi saat menggerakan hi-hat dan menghasilkan bunyi-bunyi aneh lewat gitar. Kalian juga—bak seorang peramal—mengantisipasi pergantian chord terdekat dan merencanakan gerakan andalanmu berikutnya. Dalam benakmu, kamu tahu pergantian chord itu memang benar-benar akan terjadi. Kamu punya kemampuan super ini karena kamu sudah menyatu dengan groove lagu. Kamu pun menjelma sebagai satu-satunya orang mengerti musik di lantai dansa. Jiwamu memancar bak mercusuar di lantai dansa.

Iklan

Dan satu hal yang pasti, kamu sedang mabuk-mabuknya.

Pengunjung Klab Max's Kansas City, Maret 1974. Photo via Allan Tannenbaum/ Getty Images.

Di sisi ini, kamu bakal sadar kamu sudah sampai di tempat yang dulu kamu dambakan: Kerajaan Groove, Imperium Riteme. Intinya, kamu hidup di ranah yang membuatmu awet muda. Kawan-kawan kamu satu skenamu berumur lebih muda atau sepantaran denganmu, meski skena sudah terbelah menjadi kelompok-kelompok yang lebih kecil—ada kelompok yang mendedikasikan dirinya untuk ikut pesta kostum, ada pula yang menghabiskan hidupnya merekam diri mereka melakukan hal-hal konyol. Suatu hari, kamu dan kawan-kawanmu mengenakan kacamata berbingkai tebal dan jubah khas businessman yang dikancing sampai ke leher. Esoknya, semua orang mencat rambutnya jadi pirang serta memakai sapu tangan koboi dan mancangklong topi lebar di punggung. Kamu masuk klab dengan menggunakan nama dengan suku kata yang bejibun. Kamu pun kini nongkrong di klab yang punya vibe mirip sebuah bandar udara. Kamu kini harus memecahkan teka-teki rumit cuma untuk bisa nongkrong di klab-klab yang berada di rooftop gedung tinggi atau lantai 17 gedung perkantoran. Lewat teka-teki yang sama, kamu juga bisa berakhir di pesta dadakan di ruang publik yang durasinya tergantung kapan polisi nongol dan membubarkan pesta. Kini, kamu juga bisa masuk klab yang buka jam empat pagi dan tutup sore hari. Pokoknya, kamu bisa melakoni hidup yang dulu cuma kamu bisa impikan.

Kini, kamu memeroleh puisi sepotong demi sepotong, karena bait-bait puitis itu kini terpendam dalam groove dan mixingan lagu atau terpapar di sleeve plat. Kamu menghafalnya tanpa sadar. Mungkin, kamu pertama kali mendengarnya di siang hari atau mungkin agak sore. Begitu kamu sadar kalau kamu hafal sebuah bait lirik tertentu, kamu kebingungan bagaimana caranya lirik itu sampai nangkring di otakmu. Kadang, kamu hanya mengingat frase dalam chorus yang diteriakan seorang vokalis band sementara bagian lainnya hanya terdiri uuhhh atau ahhh saja. Yang kamu ingat cuma bait-bait macam, "She's lost control again" dan "The cassette played poptones" atau "Tanz' den Jesus Christus."

Iklan

Namun, belakangan puisi-puisi merembet keluar dari Bronz lewat plat 12 inch yang bisa kamu beli di Union Square—yang koleksi seperti diganti dalam hitungan hari. "I was spanking and a-freaking in a disco place," celoteh Spoonie Gee (11), yang dikenal sebagai orang yang pandai merayu, sekaligus seorang penguntit tengah malam dan salah satu rapper generasi awal, di atas riddim buatan Patty Duke. Suaranya di-flange hingga bikin kuping kita tersiksa. Lirik di atas seperti meramalkan bahwa skena yang kamu sayangi hari akan mentok. Tapi, syukurlah, bagi kami, akhir itu tak harus segara datang karena kamu tetap muda dan berencana jadi muda selamanya.

Tapi, nasib berkata lain. Kamu dan teman-temanmu kini mulai mengonsumsi narkoba, wabilkhusus kokain, lebih banyak dari sebelumnya. Ada kalanya barang laknat ini susah diperoleh, kadang kala pasokan kokain datang semaunya. Kanalnya bisa macam-macam. Kokain bisa menghampiri dirimu dari kantong seorang yang kosmopolitan habis, lewat laman buku yang diimpor langsung dari Thailand. Substansi memabukkan ini kadang kamu beli dari pembuat dapper gent yang punya profesi sampingan sebagai pengepul sepatu pria vintage, atau kokain sampai ke tanganmu sebagai bentuk komisi seorang kenalan yang pernah memakai dapurmu untuk menghirup benda laknat itu. Namun, kamu sendiri mulai terkaget-kaget ketika dirimu rela pergi menuju sebuah pintu di lahan kosong di daerah antah berantah, menukar segepok uang dengan sekantung kokain. Berkali-kali kamu mewanti-wanti diri agar tak jadi pecandu yang rela-rela menunggu di bawah guyuran hujan dipermainkan pada bandar. Alasanmu mencintai heroin adalah benda laknat selalu bisa mengurai kekusutan dalam sarafmu serta mengisi dirimu dengan kilauan yang bisa kamu pamerkan kapan saja. Kokain juga memompa kepercayaan dirimu hingga kau merasa jadi raja di lantai dansa. Masalahnya, temannya seperti tak kehabisan stok perempuan yang selalu dia tawarkan padamu. Kamu tentu saja tak berani menolak kebaikan hati macam ini, jika masih sober. Solusinya? Gampang, sikat terus kokain yang kamu miliki, bahkan ketika kepalamu mulai terasa pusing dan rokok seakan habis dalam tempo tiga detik saja.

Iklan

Mengenang masa-masa blangsak itu mengingatkan saya pada rima rapper bernama Dillinger. "I'm a dyn-o-mite," katanya penuh percaya diri. "So all you got to do is hold me tight, because I'm out of sight. I've got cocaine running around my brain."

Stiv Bators, pentolan Dead Boys di CBGB, April 1977.

Patti Smith di CBGB, April 1977.

Dillinger juga menasehati kami bahwa sebilah pisau, sebuah garpu, sebuah botol dan kayu penutup botol adalah cara kami memahami New York. Di sekitar kamu, segala macam bentuk property sedang dihancurkan. Kaum papa dan tak beruntung dipaksa keluar dari rumahnya dengan segala macam tetek bengek yang berbau teknis. Beranda toko dibikin seragam agar pemiliknya bisa menjual pernak-pernik yang tak ada nilainya pada para turis yang mudah dibodoh-bodohi. Klab-klab di Bowery, atau New York hanya melayani gig-goer dengan badan yang ramping dan kantung ynag tebal atau telah berubah menjadi mall-mall fancy dengan tiga pangung, delapan lantai dansa, 16 bar dan ruang VIP di dalam ruang VIP. Apa yang dulunya dibuang ke jalan agar bisa dipulung pejalan kaki kini dijual di pinggir jalan. Orang-orang datang ke daerah Bowery untuk sekadar dibikin ternganga. Orang-orang kini rela merogoh koceknya dalam-dalam demi bisa tidur di closet, halaman belakang atau tempat dokter memeriksa pasiennya. T-shirt yang berfungsi sebagai iklan berjalan untuk kawasan New York City, band yang sudah lama bubar mulai dijual. Tiba-tiba saja, pengemis di kawasan Bowery mulai memakai gimmick. Yang dulu aneh kini jadi profesional. Sementara yang dulu pro, kini menggunakan kode-kode yang susah dipahami. Kami tahu kami tak siap menghadapi perubahan ini, yang sebenarnya dimungkinkan oleh musik itu sendiri. Kami kira musik memang akan mengubah dunia. Dugaan kami benar cuma kami tak tahu perubahan macam apa yang disebabkan oleh musik itu sendiri.

Iklan

Pada akhirnya, kita toh bisa mengamati orang-orang yang kita jumpai di jalanan dan menebak tahun kedaluwarsa mereka: orang yang doyan menyeringai seperti Death’s Head pada 1973, para pemakai jaket Perfecto pada 1977, rekam mereka yang serai pakai kaos vinyl mulai ketinggalan zaman pada 1979 dan kumpulan orang yang sering kali kelihatan seperti penari ballroom yang terlalu mabuk pada 1980. Di saat inilah, kamu sadar bahwa di dahimu, orang lain juga bisa menemukan tahun kedaluarsamamu dan sayangnya tahunnya sudah jauh lewat. Kamu mulai menua. Kamu tak akan lagi jadi generasi yang kekinian banget.

Berita baiknya: musik akan terus mendatangimu. Berita buruknya: musik tak sepenuhnya lagi jadi milikmu. Kamu tak akan lagi jadi beken jika di tahun-tahun terbaikmu kamu tak begitu terkenal-terkenal amat. Yang bisa kamu lakukan adalah mencari lantai dansa yang masih terus-terusan memutar nomor-nomor Chic.

Inilah—seperti yang terus ditegaskan oleh vokalis Chic—adalah momen-momen yang membahagiakan dalam hidupmu.

Luc Sante adalah seorang penulis dan kritikus. Karyanya sering muncul di New York Review of Books. Silakan sapa Sante di Twitter.


(1) Television dibentuk pada 1974 oleh Tom Verlaine dan Richard Hell, yang ikut membangun panggung Country Blue Grass & Blues dan mengubah nama klab itu menjadi CBGB.

(2) Sutradara terkenal. Beberapa karyanya mencakup Rebel Without a Cause dan Johnny Guitar.

(3) Drummer post-bop, namanya tercatat dalam keabadian lantaran jadi drummer bagi John Coltrane (1960–66).

(4) Vokalis dan gitaris utama Television.
(5) Sebuah lagu ballad bergenre reggae dengan vokal ala crooner

(6) mengacu pada lirik Johnny Rotten, vokalis Sex Pistols, di lagu "God Save the Queen"

(7) Duo pemimpin pasukan guerrilla kiri ekstrem Red Army Faction, yang ditemukan tewas kemungkinan besar karena bunuh diri dalam sel mereka Stammheim Prison, Jerman Barat pada 1976 dan 1977.

(8) Max's Kansas City, klab di Park Avenue South dekat 18th Street, yang sempat beken pada dekade ‘60an sebagai tempat nongkrong Andy Warhol, anggota Velvet Underground dan seniman lain dari Factory. Max’s Kansas City kembali bersinar di masa punk ‘70an.

(9) Penyair Jamaika yang dikenal karena puisi-puisinya dan beragam penampilan live dengan iringan sebuah band mulai pada 1974. Album pertamanya Dread Beat an' Blood (1978), diangkat dari buku keduanya yang berjudul sama. Album itu secara cemerlang merangkum kehidupan lelaki berkulit hitam di Inggris secara puitis dan mendetail bak sebuah karya jurnalistik.

(10) Genre yang dimaksud di sini berturut-turut adalah dub reggae, R&B, dub reggae, harmolodic jazz, dan post-punk.

(11) Né Gabriel Jackson adalah seorang rapper asal Harlem. Album pertamanya, “Spoonin' Rap" (1979) adalah salah satu album tertua dalam hikayah hip-hop.