Sebagai Perempuan Muslim Kulit Hitam, Aku Melakukan Perlawanan dengan Membuat Film

FYI.

This story is over 5 years old.

Film

Sebagai Perempuan Muslim Kulit Hitam, Aku Melakukan Perlawanan dengan Membuat Film

Film pertamaku tentang about gadis kulit hitam yang menari, mencium, serta membaca ayat-ayat suci Quran. Dengan cara itulah aku membela agama yang kucintai.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE US.

Awal minggu ini saya menyelesaikan produksi film panjang pertama saya, Jinn. Film ini diawali dengan koleksi gambar-gambar yang tiba-tiba muncul di benak saya selama musim panas di Washington, DC. Saat itu tahun 2015. Saya terus membayangkan perempuan berkulit hitam menggoes sepeda berwarna pink ngejreng di jalanan South LA. Dia berhenti untuk beli churro, lalu extention rambut di toko persediaan kecantikan. Saya juga terus menerus membayangkan perempuan berkulit hitam, bersama ibunya, mencari kejernihan dan perdamaian melalui Islam. Saya membayangkan ibu itu berbagi minat religius dengan anak perempuannya, yang berada pada sebuah dunia baru yang dia coba pahami tapi juga lawan.
Kisah ini tidak baru-baru amat di mata saya—dari berbagai sisi saya telah menjalani dan membentuk narasi ini, yang berurusan dengan identitas Muslim Afrika-Amerika selama bertahun-tahun. Ayah saya menjadi mualaf tahun 1970an, dan ibu saya menjadi mualaf ketika menikahi dia. Saat tumbuh besar, saya mendengarkan cerita tentang Ayah menjual berpeti-peti ikan dan pai kacang-kacangan di pojokan jalan-jalan di Oakland sebagai anggota Nation of Islam; dia kemudian menjual jilbab dan sosis halal sebagai Muslim Sunni Orthodoks di pekarangan masjid bersama saya di sisinya. Saya ingat dikelilingi musisi-musisi, pengacara-pengacara, rapper-rapper, dan para juru masak Muslim Afrika-Amerika. Saya menyaksikan perempuan Muslim berkulit hitam dengan rambut dicatok, para Muslim flirting, dan para Muslim mencintai. Saya pernah diomeli karena mengenakan celana pendek dan dibilangin jika saya mau berkencan saya mesti didampingi orang dewasa. Saya beribadah berdampingan dengan sesama perempuan Muslim, dan saya senang sekali ketika kaki saya bersentuhan dengan kaki mereka. Saya mengamati orang-orang yang tertidur saat khutbah, lalu terbangun dengan kaget dan tampang bersalah. Masjid kami besar, pink, dan berliku, dengan banyak ruang dan misteri. Saya amat terkesima dengan momen-momen itu tapi saya juga ingat momen-momen saya merasa terputus: Ketika saya mengalami sendiri bahwa menjadi Muslim bukan hal yang umum, ketika kawan saya sendiri meneriakkan "mati aja lu!", ketika seksualitas saya saat remaja menyalahi ajaran Islam bahwa perempuan Muslim mesti menunda tinggal bersama laki-laki sampai menikah. Saya ingin mengeksplor keheranan dan konflik itu melalui dua karakter yang berada di tengah-tengah masyarakat yang tidak toleran apalagi pengertian soal transformasi para Muslim. Setelah menamatkan draft pertama naskah, saya mengedarkannya kepada kolega-kolega perfilman terdekat yang tertarik pada cerita saya. Mereka juga tertarik pada tokoh utama saya, Summer namanya, yang merupakan perpaduan antara saya sendiri dan banyak perempuan berkulit hitam lainnya yang pernah saya ajar dan ajak ngobrol selama bertahun-tahun saya bekerja sebagai seniman dan pengajar. Summer adalah seseorang yang dapat berubah wujud, penjelmaan ilmu (perempuan berkulit) hitam, tapi dengan sejumput rasa pedih yang dia sembunyikan di profil media sosialnya yang populer. Meski karakter Summer dan dunia yang dia tinggali cukup mengesankan, tantangan terbesar saya selama revisi naskah adalah membuat proses ibunya masuk Islam dipercaya dan nyata. Dalam periode itu, saya memperoleh bantuan dari Avril Speaks, seorang sutradara dan kolega yang pernah berkolaborasi membuat film pendek—saya sebagai produser. Kami tidak menyangka perjalanan ini akan begitu menantang.

Iklan

Setelah menyadari dana kami terbatas, seorang produser laki-laki berkulit putih bertanya apa kami akan syuting dengan iPhone, lalu tertawa.

Berkat kampanye Kickstarter yang sukses, di mana kami mengumpulkan US$ 25,000 (sekitar Rp333 juta) dan menerima kontribusi dan sokongan dari Ava DuVernay, Issa Rae, dan sejenisnya, Avril dan saya mulai menawarkan film kami supaya mendapatkan dana yang dibutuhkan untuk memulai produksi. Selama masa pendanaan, para sineas indie diundang menawarkan film mereka kepada para investor dan produser dan belajar lebih banyak soal pendanaan film, kami diacuhkan dan direndahkan ketika membicarakan subjek film kami. Setelah menyadari bujet kami yang kecil, seorang produser laki-laki berkulit putih bertanya apa kami akan syuting dengan iPhone lalu tertawa. Pengalaman itu mempersiapkan mental kami untuk yang akan datang—retorika tentang keberagaman dan inklusivitas di perfilman versus realita yang jauh berbeda. Banyak sineas non-kulit putih dan perempuan tidak memiliki pendanaan untuk membuat film, terlepas dari dorongan publik soal inklusivitas dan keberagaman. Hambatan sistemik untuk memperoleh dana, sumber daya, dan kesempatan menyutradarai mewarnai realita ini. Kami menawarkan dan memutarkan film kami kepada 60 eksekutif, pemodal, dan perusahaan produksi di pasar film Fast Track, film Independen. Salah satu dari mereka kemudian menjadi investor penting kami. Saya sadar bahwa demi membuat film ini, saya mesti mendedikasikan hidup saya untuk mengerjakannya. Jadi saya pindah dari New York City, meninggalkan tiga pekerjaan (yang membuat ibuku cemas), dan pindah ke rumah orangtua saya di Oakland. Di situ saya tidur di sofa ayah saya selama enam bulan sementara saya membuat perencanaan dan strategi, dan terkadang meragukan apakah film ini bisa jadi. Tidak ada yang glamor dari bagian ini—berbulan-bulan ketidakpastian yang berujung pada keraguan, di mana saya tidak yakin apakah saya punya cukup dana untuk syuting selama 18 hari, ketika saya sudah putus asa menunggu surel konfirmasi bahwa kontrak telah ditandatangan, bahwa seorang investor telah mengirimkan dana. Yang dapat kami lakukan adalah menunggu, dan percaya film ini akan jadi.

Iklan

Membuat film tentang seorang perempuan berkulit hitam yang menari-nari, bercumbu, dan mengaji Al-Quran, adalah bentuk perlawanan saya.

Setahun setengah setelah menulis draft pertama Jinn, saya berada di Los Angeles mempersiapkan proses syuting. Saya membaca di Internet tentang perintah Trump melarang kedatangan Muslim sembari saya mengulas daftar pengambilan gambar untuk beberapa hari pertama syuting, yang akan dimulai awal bulan ini. Saya merasa marah, dicurangi—dan begitu hidup. Saya siap membuat sesuatu yang belum pernah saya lihat: sebuah kisah tentang ayah saya dan komunitasnya, tentang murid-murid saya dan tentang diri saya sebagai orang-dalam yang menganut Islam. Pada sebuah adegan, karakter Jade membacakan doa seorang diri di kamarnya pada malam hari. Ini adalah doa yang dihaturkan orang Muslim ketika mereka gundah atau tidak tahu mesti berbuat apa. Ayah saya membacakan doa ini dua tahun lalu ketika saya bimbang dan saya memasukkannya ke dalam revisi terakhir saya. Ketika si aktris membaca doa itu, air mata mengalir dari matanya dan juga mata saya. Doa itu dan perasaan yang saya asosiasikan dengan pembacaan doa terekam dalam penampilan dia, dan itu adalah salah satu momen paling luar biasa yang pernah saya alami di set pembuatan film—momen di mana visi sutradara persis sesuai dengan yang ditampilkan dan direkam. Saya akan selalu mengingat momen itu. Momen-momen seperti itulah yang membuat saya tetap membumi ketika mesti menghadapi tekanan-tekanan dari luar serta kendala mengelola waktu dan uang. Jinn adalah film berbujet mikro, tapi bisa saja menjadi film berbujet besar karena jumlah adegan, lokasi, dan pemain. (Definisi bujet mikro tidak kaku, tapi pelaku film profesional cenderung memandangnya sebagai film berbujet kurang dari US$396,000 atau sekitar Rp5,2 milyar.) Oleh sebab itu, saya bekerjasama dengan director of photography saya, Bruce Cole, untuk menemukan cara-cara merekam sebanyak-banyaknya adegan dalam waktu singkat tapi tetap bisa menangkap emosi dan kehidupan kisah dan karakternya. Kolaborasi antara saya dan Bruce membuktikan produksi yang sukses. Mengerjakan film dengan pendanaan cukup, normal halnya syuting dua adegan per hari. Pada film kami, tidak bisa begitu. Sebagian besar lokasi kami tidak tersedia lebih dari dua hari, jadi kami tidak bisa bekerja lebih lamban. Saya mesti mengambil banyak keputusan cepat dan menerima apapun risikonya. Bruce untungnya amat antusias tentang staging, tentang mise-en-scene dan membuat framing yang indah. Setiap kali saya menonton footagenya, saya yakin betapapun tantangan yang kami hadapi pada proses produksi, hasilnya akan indah bukan main.

Di lokasi syuting film 'Jinn'. Foto milik Nijla Mu'min

Setiap hari, menyetir ke lokasi syuting, saya berpikir tentang hal-hal yang mengarahkan saya hingga akhirnya membuat film ini: sisi-sisi identitas saya yang kontradiktif, kompleksitas orang-orang Muslim yang saya kenal, kehancuran Trum dan rezimnya yang akan datang. Meski film saya bukan pernyataan langsung soal keadaan politik terkini, kehadirannya adalah sebuah perlawanan. Membuat film tentang seorang perempuan berkulit hitam yang menari-nari, bercumbu, dan mengaji Al-Quran, adalah bentuk perlawanan saya. Karakter-karakter di film saya tidak hidup dalam pikiran orang-orang yang saat ini mengatur negeri. Inilah yang saya coba ingat ketika menghadapi stres pembuatan film, kapanpun saya merasa mual atau kaki saya pegal karena berdiri selama 14 jam. Membuat film adalah sebuah previlese.
Dalam semangat pemeliharaan, saya juga memutuskan untuk syuting di perumahan di Los Angeles, di mana beberapa komunitas kulit hitam dan kepemilikan rumah masih ada di masa gratifikasi merajalela. Visi saya adalah untuk merekam hal-hal dan orang-orang yang rawan terhapuskan: Muslim kulit hitam, komunitas kulit hitam, hasrat murni perempuan berkulit hitam. Sebagai sutradara, amat penting bagi saya untuk mengizinkan karakter-karakter berkulit hitam untuk hidup di dunia aneh dan agung. Adegan di mana Jade, seorang meteorolog, mengkaji langit dan membiarkan angin berembus di kulitnya, dan adegan di mana Summer main skateboard dan menatap matahari terbenam tidak membutuhkan dialog ataupun penjelasan. Adegan-adegan itu adalah soal keberadaan dan men-Jadi.

Saya menulis artikel ini setelah menyelesaikan langkah terakhir dari rangkaian upaya tak terhitung untuk membuat film. Saya letih, kere, dan merasa seperti telah melalui perang. Boleh jadi, inilah jenis perang terbaik yang bisa saya lalui.

Follow Nijla Mu'min di Twitter.