FYI.

This story is over 5 years old.

Musik

Unit Noise Punk Australia, My Disco, untuk Ketiga Kalinya Sambangi Indonesia

My Disco berjanji mengusung setlist yang lebih intens dibanding dua konser sebelumnya, hingga membahas alasan mereka menggilai scene noise Jogja.

Band post-hardcore asal Kota Melboure, Australia, My Disco tidak suka mengambil jalur mudah ketika bermusik.  Sound My Disco telah berevolusi menjadi lebih gelap dan eksperimental. Album terbaru mereka, Severe, adalah sebuah hasil oplosan antara bebunyian elektronik, drum yang bertalu-lalu dan vokal yang mendengung. Paduan yang bahkan menurut mereka sendiri bukan tipe musik yang gampang dikonsumsi sekali duduk. "Tidak semua orang akan menikmati live show kami," ujar gitaris Benjamin Andrews. "Kadang pas manggung, awalnya yang nonton ramai. Tapi pas akhir manggung yang nyisa tinggal segelintir." Selama 14 tahun berkarir, mereka telah tur ke Indonesia dua kali. Mereka mempersiapkan tur dengan cara bertukar email dan ngobrol lewat sambungan telepon internasional. Tahun 2014, Andrews pindah ke Jakarta, menjajaki kehidupan malam ibukota dan skena DIY. Kini, tur ketiga My Disco akan membawanya kembali manggung di lima kota Tanah Air. Yudhistira Agato dari VICE Indonesia bercakap-cakap dengan Andrews mengenai pengalamannya tur sebelum era WhatsApp, skena DIY global, dan mengapa sejumlah band noise eksperimental Jogja adalah yang paling pure dari sisi musikalitas. VICE: Engga banyak band yang menghasilkan uang dengan bikin tur DIY. Kenapa elo kekeuh melakukannya?
Benjamin Andrews: Sebenarnya sih, gue engga tahu cara lain bikin tur. Kami tur keliling Australia, Eropa, Amerika, dan Jepang secara DIY. Ya jelas, karena kami main musik non-komersil, kami engga akan manggung di hadapan 10,000 penonton tiap malam dan menjual tiket seharga Rp700.000,- dan punya merchandise mahal. Hal-hal kayak begitu bukan harapan kami. Dan menurut gue Indonesia punya skena DIY yang kuat. Gue masih berkawan dengan banyak orang yang gue temui tahun 2005. Gue senang banget bisa kerjasama dengan orang-orang yang sudah jadi teman dekat selama satu dekade atau lebih, orang-orang yang kami percaya. Itu yang paling penting.

Iklan

My Disco sudah pernah tur keliling Indonesia dua kali. Gimana kesan kalian?

Gue ingat di Jakarta kami main di sebuah klub. Gue lupa namanya sekarang, tapi band yang manggung sebelum kami tuh band indie rock dari Jakarta yang lumayan sukses.

The Brandals?

Gue lupa namanya. Sudah lama banget. Musik mereka sangat rapat, terdengar seperti versi kasar dari The Strokes. Dan gue ingat venuenya punya lantai beton dan semua bandnya manggung di lantai. Ketika kami main, saking banyak orang joget, lantainya berasa goyang dan debu-debu berterbangan. Itu pengalaman yang keren banget.

Apa yang paling elo ingat dari tur Indonesia?

Jogja terkenal secara global akan scene musik eksperimentalnya yang subur. Tapi, waktu itu kami belum ngeh. Gue ingat ada band-band yang membuat contact microphones, pedal distortion, mirip seperti set band-band noise yang sepenuhnya bergantung pada improvisasi. Waktu itu, hal-hal kayak gitu juga baru mulai naik di Australia. Semua orang terinspirasi dengan noise Jepang kayak Merzbow, Keiji Haino dan lain-lain, tapi kami ngelihat bentuk paling

pure

-nya di Jogja.

Bagaimana ceritanya tur Indonesia 2017 ini bisa terjadi?

Deden [penyelenggara tur Indonesia] datang ke salah satu acara kami di Malaysia dan Singapura tahun 2015. Dia pengen ngerilis

Severe

format kaset, dan ngajak kami tur Indonesia yang lebih panjang. Jadi kami merencanakannya sejak itu.

Severe

tuh beda banget, dan lebih atmosferik, dibandingkan rilisan sebelumnya ya?

Iklan

Kami pengen terdengar lebih gelap, berat dan berbeda dengan nambahin influence musik elektronik. Kami pengen soundnya kedengaran lebih gila. Live show kami sekarang sangat drum-sentris. Sangat berat di drum. Kadang-kadang ada drum solo yang panjangnya 15 menit.

[Tertawa]

Album ini memang sangat dominan drumnya tapi kita banyak nahannya karena kita pengen punya banyak ruang di musik kita. Tapi tetap saja,severe terasa intens dan heavy saat dimainkan live. Musik kami itu aneh dan anti kompromi. Live show kami memang bukan untuk semua orang.

My Disco sudah jalan 14 tahun. Gimana cara kalian supaya tak bosen bermusik?
Susah banget, sebenarnya. Gue engga suka sebagian besar musik yang dimainkan band-band di Australia. Jadi, supaya semangat terus, elo harus nemu musik yang benar-benar elo suka. Sekarang gue lagi doyan musik yang gelap dan droney. Tapi itu juga kadang ngebosenin. Jadi, kalau kami nemu ide musik baru yang cocok, ya itulah mungkin arah musik kami berikutnya. Kalau enggak cocok, kami gak keberatan menunggu lima tahun lagi sampai dapet yang pas.
Tapi gue juga senang main-main di luar zona aman gue. Gampang banget, terutama di Australia, buat band main-main di kota mereka sendiri, dengan peralatan mereka sendiri, dan boleh jadi kedengaran asik dan 100 kawan mereka datang dan mereka merasa berjaya. Tapi abis itu ya udah, gitu aja. Bosen. Dan setelah ngeband 14 tahun kayak kami, skenario seperti itu jelas membosankan. Gue lebih senang main di Polandia, atau Rusia, atau Indonesia, dan mendapatkan pengalaman-pengalaman unik. Memang pengalamannya tidak akan selalu mulus. Kadang ada tur yang ancur, gitar patah, atau petugas imigrasi datang tiba-tiba, atau apalah. Tapi seenggaknya elo mendobrak batasan diri dan punya pengalaman baru karena sebetulnya itulah esensi musik. Musik enggak akan selalu manis. Musik harusnya susah. Kita mesti banting tulang buat musik kita. Berikut jadwal dan venue tur My Disco di Indonesia (akan diperbaharui seiring mendekati tanggal konser)
18/2 - Jakarta at Rossi Musik, Fatmawati
19/2 - Bandung at TBA
20/2 - Semarang at TBA
21/2 - Yogyakarta at TBA
22/2 - Surabaya at TBA