FYI.

This story is over 5 years old.

penelitian

Kata Riset Orang Bodoh Lebih Mudah Punya Banyak Teman

Kamu lebih suka sendirian pas akhir pekan daripada main sama teman? Mungkin karena kamu lebih pintar dari kebanyakan orang. Ini kesimpulan setelah kami ngobrol bareng psikolog yang meneliti kaitan kecerdasan dan pertemanan.
Kata Riset Orang Dungu Lebih Mudah Punya Banyak Teman
Foto oleh Jacob Lund via Stocksy

Kalau kamu pernah menerima chat dari seorang teman yang merasa kalian perlu “ngobrol”—karena kamu dianggap sudah terlalu sibuk, cuek, dll—bisa saja kamu juga bertanya pada diri sendiri, "ngapain ya gue punya teman?" Mungkin kamu merasa lebih baik sendirian, selfie, atau nulis blog daripada mengiyakan ajakannya. Menurut sebuah penelitian baru, keinginan mengisolasi diri boleh jadi sebuah gejala bahwa kamu sangat cerdas: Satoshia Kanazawa dan Norma Li, psikolog dari Inggris Raya baru-baru ini mendukung anggapan bahwa orang dengan kecerdasan kognitif tinggi biasanya menyendiri.

Iklan

Data mereka menemukan meski kebahagiaan sebagian besar orang meningkat sehubungan dengan menurunnya kepadatan penduduk (serta tingkat interaksi sosial tinggi dengan orang-orang terkasih) orang-orang yang “sangat cerdas” sebetulnya lebih bahagia saat mereka tidak menghabiskan waktu bersama teman-temannya.

Dari abstrak temuan tersebut disebutkan bila “Sebagian besar individu cerdas mengalami kepuasan hidup yang lebih rendah dengan sosialisasi terlalu sering.” Mantab. Sebagai orang yang malas ketemu 'teman', saya merasa jadi bagian orang-orang pandai.

Saat saya mendengar kata “jenius” saya teringat Mensa—organisasi tertua yang mengumpulkan manusiadengan IQ sangat tinggi. Ann Clarkson, manajer komunikasi dari divisi Inggris Raya Mensa, merespons konteks kesimpulan penelitian tersebut. "Kemungkinan besar, kesimpulan penelitian tersebut tergantung kepribadian masing-masing—ada orang yang suka berteman dan IQ-nya tinggi, dan ada orang introvert yang IQ-nya tinggi."

only-stupid-people-have-lots-of-friends-body-image-1458584785

Foto ilustrasi oleh Jelena Jojic via Stocksy

Clarkson tidak menyanggah anggapan dalam penelitian itu sepenuhnya. “Temuan ini juga mengakui bahwa orang-orang yang sangat amat cerdas terkadang bisa merasa terisolasi dari orang-orang sekitar hanya karena mereka berpikir dan memandang dunia dengan cara berbeda. Menemukan orang lain yang memproses informasi seperti kamu boleh jadi sulit kalau cara otakmu bekerja hanya mirip dengan dua persen populasi dunia,” ujarnya. Angka itu, dua persen, hanya merujuk pada lapisan masyarakat yang diterima oleh Mensa. Bukan jumlah orang-orang cerdas yang diakui seorang psikolog.

Iklan

Dr. Robert Sternberg adalah profesor perkembangan manusia di Cornell University dengan spesialisasi kecerdasan dan hubungan. “Tidak ada makna psikologis dari kata ‘kecerdasan tinggi,’” ujarnya saat diwawancarai Broadly. Psikolog, menurutnya, memiliki banyak opini yang saling bertentangan soal apa yang termasuk kecerdasan tinggi dan soal jumlah tipe kecerdasan. "Menurut teori saya sendiri mengenai kecerdasan sukses, saya membedakannya berdasarkan kecerdasan analisis (IQ), kecerdasan kreativitas, dan kecerdasan kepraktisan (akal sehat),” ujarnya. "IQ tinggi tidak menjamin kedua jenis yang terakhir. Sekolah-sekolah terlalu membanggakan anak-anak dengan IQ tinggi sehingga mereka memiliki insentif rendah untuk mengembangkan jenis kecerdasan yang lain, dan hasilnya sangat disayangkan."

“Teori sabana soal kebahagiaan” oleh Kanazawa dan Li diungkapkan dalam ranah psikologi evolusioner: Situasi yang kita alami saat ini dipandang dalam konteks pengalaman-pengalaman nenek moyang kita. Menurut Washington Post, para peneliti “berteori bahwa gaya hidup berburu dan mengumpulkan makanan nenek moyang kita membentuk landasan atas apa yang membuat kita bahagia saat ini.”


Tonton dokumenter VICE tentang penggemar sepakbola yang benar-benar menyembah Maradona sebagai Tuhan:


Orang-orang cerdas kemungkinan besar bisa mengatasi tantangan dengan lebih baik dan seorang diri dibandingkan dengan kemampuan orang-orang yang tak terlalu cerdas, sehingga hubungan sosial dianggap tak terlalu penting—namun, sebagaimana diungkapkan Dr. Sternberg, “sebuah tantangan dengan psikologi evolusioner adalah hal ini menuntut kita untuk membayangkan hidup di masa pre-historis, dan kita kurang mampu membayangkan kehidupan di era Masa Pertengahan, atau bahkan 1940an.”

Iklan

Dia bilang bahwa ada argumen bahwa orang-orang yang sangat cerdas menginginkan pertemanan berjumlah sedikit namun erat karena mereka luar biasa dan cenderung terpaksa beradaptasi dengan orang-orang di sekitar mereka, seperti saat murid-murid cerdas lebih memilih belajar sendirian dibandingkan dalam kelompok yang terdiri dari murid-murid yang dianggap kurang cerdas. Tapi, ujarnya, “tidak selalu anak (atau orang dewasa) yang paling cerdas yang mendominasi, jadi orang yang sangat cerdas itu boleh jadi terpaksa mengikuti arahan orang-orang yang tingkat kecerdasannya lebih rendah. Selain itu, orang dengan tingkat kecerdasan itu boleh jadi terlalu sibuk dengan karirnya sehingga tak punya banyak waktu untuk bersosialisasi dengan teman-temannya.”

only-stupid-people-have-lots-of-friends-body-image-1458584850

Foto ilustrasi oleh Brian McEntire via Stocksy

Namun kesimpulan hanya satu sudut pandang. Dr. Sternberg juga berkata bahwa, ada perdebatan bahwa “orang-orang dengan kecerdasan tinggi justru merupakan jenis orang-orang yang paling membutuhkan teman karena meski mereka memiliki kecerdasan tinggi (secara akademis) boleh jadi mereka tidak memiliki kecerdasan sosial/ emosional/ praktikal.” Hal ini menyorot jenis kecerdasan berbeda-beda yang dimiliki setiap orang.

Misalnya, kamu mungkin sering gagal mengerjakan ujian tapi kamu mahir memanipulasi gurumu sehingga kamu dikasih nilai bagus—atau mungkin kamu jenius yang kreatif, gak mahir menghitung, namun mahir dalam hal jreatif. Ada orang-orang yang secara teknis memiliki kecerdasan tinggi, namun kemampuan interpersonalnya snagat buruk jadinya mereka kepayahan saat berinteraksi, dan akhirnya gagal mencapai tujuan mereka. “Orang yang cerdas bisa gagal mendapatkan apa yang mereka inginkan karena tidak paham caranya berinteraksi dan meyakinkan orang lain dalam kelompok penting,” ujar Dr. Sternberg.

“Kecerdasan tinggi (dalam bidang akademis) hampir tak ada hubungannya dengan kecerdasan sosial, emosional, dan kepraktisan,” ujarnya. “Ironisnya, orang yang cerdas yang tidak mau berinteraksi dengan orang lain boleh jadi adalah orang yang paling perlu berinteraksi dengan orang lain supaya sukses dalam hidup. Ada banyak orang dengan IQ tinggi yang tidak bisa menggunakan kecerdasan tersebut untuk mencapai kesuksesan, atau yang menggunakannya dengan cara yang benar-benar produktif.”

Seperti Mensa, Dr. Sternberg mempertanyakan temuan-temuan ini, menggarisbawahi rendahnya akurasi akibat penyederhanaan berlebih. “Tajuk-tajuk berita yang menarik tidak selalu didukung dengan sains,” ujarnya.

Artikel ini pertama kali tayang di Broadly