FYI.

This story is over 5 years old.

Bukan Sekadar Kata

Kenapa Banyak Anak Muda Indonesia Ngerasa Gaul Dengan Ngomong 'N Word'?

Plis stop bisa ga sih? Kalian itu cuma ga peka sejarah, tahu!

Okay, saatnya ngobrolin salah satu isu serius tapi ga banyak dibahas di Indonesia: penggunaan "N word" oleh orang yang kudunya sadar banget sama konsekuensi di balik ucapan tadi. Kalian yang pas nongkron sering pakai 'n word' bisa ngeles kalau cuma ngikutin liriknya Kanye atau pengen punya "street credential" yang keren di depan teman-temanmu. Atau bisa juga kamu bilang, ah, cuma kata-kata gitu doang. Padahal intinya tetap saja: N word enggak bisa diumbar begitu saja.

Iklan

Saya baru balik ke Indonesia setelah tinggal di Amerika Serikat dan Singapura selama 8 tahun. Jujur saja, transisi yang harus saya jalani bisa dibilang.. well..lumayan berat. Harus saya akui, karena kelamaan tinggal di luar negeri, pengetahuan saya soal budaya populer indonesia cukup parah. Belum lagi, saya kepayahan berusaha beradaptasi sama bahasa slang lokal. Penghilangan beberapa suku kata dan bahasa terbalik khas anak-anak sekarang susah banget saya ikuti. Lagipula, siapa juga yang bakal ngerti arti giting, hacep, or kuy kalau baru balik Tanah Air kurang dari setahun?

Itu semua sih masih ringan hitungannya. Yang paling bikin kaget adalah betapa sering dan entengnya teman-teman saya—orang Indonesia dari kelas menengah atas, yang seharusnya punya pendidikan dan pemahaman baik tentang sejarah dunia—mengumbar "N word" dalam percakapan sehari-hari. Sering banget saya dengar mereka ngomong begitu pas nongkrong atau pas party. Orang-orang ini enggak sadar betapa offensifnya satu kata ini. Saking enggak sadarnya, atau enggak pedulinya, ada yang nekat menamai produk selai buatannya kayak gini:

Parah.

Iya sih, perusahaan pembuat selai itu segera menarik kembali produk tersebut dan mengeluarkan surat permintaan maaf setengah hati. Begini isinya; "We named the product after the N-word because our product is black, and based on our perspective the N-word has been shifted in meaning, so it isn't always in negative meaning." Bener sih, makna "N word" sudah mengalami pergeseran. Tapi, ini kan masalah konteks dan identitas, dua hal yang tak dipahami oleh perusahaan penjual selai di Indonesia. (Lagian, ayolah, setahu saya arti "N word," meski bergeser, tetap berkutat di situ-situ juga yang ga ada positif buat kawan Afrika-Amerika.)

Iklan

"N word" lahir bersama sejarah panjang penderitaan di Amerika Serikat. Kata ini pernah dan masih jadi hinaan yang digunakan orang buat merendahkan penduduk Afrika Amerika selama beberapa generasi. Kalau kalian mau nyempatin nengok insiden-insiden rasis yang tejadi di AS belakangan ini, mudah sekali bagi kita untuk menyimpulkan kebencian terhadap kaum Afrika Amerika masih nyata di sana. "N word" adalah kata yang begitu coreng, gara-gara berabad-abad diperam dalam kebencian, hingga beberapa akemisi mengatakan bahwa tak ada satupun usaha komunitas Afrika Amerika berusaha keras mengutak-atik pengucapan kata ini supaya membersihkan konotasi negatifnya.

"Yang kita tahu di awal abad ke-17, kata "negro" berevolusi "n***er" sebagai sebentuk ejekan. Sejak saat itu, kata ini tak bisa lepas dari konteks ini, bahkan ketika komunitas Afrika Amerika berusaha mengapropriasi atau mereapropriasinya," kata Neal Lester, profeser Bahasa Inggris di Arizona State University, dalam sesi wawancara dengan Teaching Tolerance Magazine. "Racun kata itu masih ada. Tak satupun usaha apropriasi yang bisa menanggalkan sejarah berdarah kata itu."

Pertanyaannya, kenapa orang Indonesia bisa dengan enaknya mengumbar "N word"? Simpel saja: karena konteks dan latar belakang langsung menguap saat sebuah kata melintas batas-batas kultural.

"Banyak orang Indonesia, cuma karena kagum akan kultur kulit hitam, mengumbar N word dengan cara pandang tertentu," ujar Teraya Paramehta, mahasiwa Ph.D American Studies and Ethnicity di University of Southern California. "Hipotesis saya sih, ini terjadi karena banyak orang Indonesia yang buta konteks sejarah Amerika. Mereka melihatnya sebagai salah satu bentuk kekaguman atas budaya kulit hitam. Mereka mengagumi kultur hip-hop. Tapi ini keliru dan problematis karena sudah masuk eksotifikasi [sebuah budaya]."

Iklan

Teraya menambahkan bahwa eksotifikasi "membatasi kita mendapatkan sudut pandang sempurna dan kompleks terhadap sebuah budaya dan mereduksi menjadi fetisisasi dan ketertarikan semu. Keduanya tergolong sebagai bentuk agresi rasial mikro."

Yup, penduduk Indonesia sebetunya juga orang kulit non-putih, tapi itu tak serta merta bikin kita kebal terhadap pencaplokan budaya atau tak latah membuat budaya dan ras lain dikesankan 'lebih eksotis'. Karena itulah, kita enggak punya hak spesial mengumbar "N word" cuma karena kulit kita sawo matang.

Lalu bagaimana kasus dengan Rich Chigga? Brian Immanuel (nama asli si rapper muda ini) berkali-kali bilang pada awak media AS dirinya menyesal menggunakan moniker Rich Chigga. Dalam sesi wawancara bersama Fader, Brian mengaku ide nama itu datang dari temannya yang mengusulkan untuk mencari "nama panggung paling kontroversial." Tentu saja, nama panggung yang dipilih Brian dulu sempat menuai banyak kritik dan sorotan dari komunitas hip-hop AS.

Dalam wawancara yang sama, Brian menyitir Tyler the Creator yang mengatakan dirinya berusaha "merampas kekuatan kata ini" sampai kata itu "tak punya makna lagi." Saya berani bertaruh, jawaban Brian bakal diamini banyak orang di Indonesia, wabil khusus mereka yang doyan ngobral "N word." Masalahnya, Tyler the Creator adalah seorang Afrika Amerika sementara Brian Immanuel jelas-jelas bukan. Jadi, Brian enggak bisa dong pakai pembelaan Tyler the Creator. Lagipula, Brian tak seharusnya mencaplok kata yang sebelumnya tak pernah digunakan untuk mendiskriminasi dirinya, namun sangat merendahkan etnis lain, sebagai nama panggung.

Iklan

Teraya, sebaliknya, tak begitu menyalahkan rapper itu.

"Yang perlu dipahami di sini adalah dari mana asal Brian," ujarnya. "Dia kan rapper Indonesia dan usianya masih sangat muda. Ini cuma dugaan saya, tapi di umur segitu wajarlah kalau dia masih sekadar mengagumi dan mengeksotifikasi (budaya lain)."

"Ini normal kok," imbuh Teraya. "Kita semua pernah melewatinya. Lagian, saban kita mengagumi sebuah budaya atau mengidolakan orang lain pada rentang usia itu, kemungkinan besar kita bakal seperti itu. Idola kamu jadi influence terbesar kamu dan kamu ingin seperti mereka."

Oke deh. Jadi apa dong solusinya? Sebenarnya gampang sih. Lain kali, kalau kamu gatal ingin mengobral ejekan rasial sambil ngikutin gaya Kendrick Lamar atau kalau kamu gatal pengin sok-sokan menyapa temanmu dengan sapaan sayang ""my n**ga," batalin gih niat kamu. Gitu saja.

Gampang kan?