FYI.

This story is over 5 years old.

Fakta Ilmiah

Ingin Sembuh Dari Insomnia? Cobalah Punya Anak

Sekarang ibu-ibu yang sering kepayahan punya landasan ilmiah minta tambahan jam tidur. Kata penelitian, kaum bapak biasanya malah makin gampang tidur habis punya anak.

Artikel ini pertama kali tayang di Tonic

Sejauh yang kita tahu, melakoni peran sebagai orang tua dan mengasuk anak bikin perempuan lebih gampang ngantuk daripada pria. Anggapan tersebut makin ditegaskan penelitian awal yang dipresentasikan dalam pertemuan tahunan American Academy of Neurologi. Periset memanfaatkan data Behavioral Risk Factor Surveillance System 2012, sebuah survei via telepon di seluruh wilayah Amerika Serikat. Lima tahun lalu, 5.805 orang ditanya berapa lama mereka tidur saban hari dan berapa hari mereka lelah selama sebulan sebelum survey. (Untuk keperluan penelitian, periset mendefinisikan tidur yang baik sebagai tidur sepanjang tujuh sampai sembilan jam per malam. Di bawah enam jam dikategorikan sebagai kondisi kurang tidur). Peserta survei ditanyai beberapa faktor lain yang dapat memengaruhi kualitas tidur. Misalnya umur, ras, latar belakang pendidikan, pekerjaan, pendapatan, status pernikahan, Indeks massa tubuh, rutinitas berolah raga, kebiasaan mendengkur, dan jumlah anak di rumah mereka. Ternyata hanya satu dari sekian banyak faktor di atas yang bisa diasosiasikan sebagai kondisi kurang tidur yang dialami perempuan di usia pengasuh anak adalah punya anak itu sendiri. Enam puluh dua persen responden perempuan berusia 45 tahun atau lebih muda, dan tak memiliki anak, bisa tidur minimal tujuh jam dalam setiap malam. Sedangkan 48 persen ibu peserta survei lainnya cuma bisa tidur di bawah tujuh jam. Setiap satu anak dalam sebuah rumah tangga meningkatkan kemungkinan kasus kekurangan tidur sebanyak 46 persen. Mengasuh anak sekalian jadi penyebab para ibu sering cepat lelah. Dalam sebulan, para ibu mengaku mengalami keletihan selama 14 hari. Sedangkan perempuan yang hidup tanpa hanya mengalami kelelahan selama 11 hari. Tak ada kaitan antara keberadaan anak dan lamanya responden laki-laki tidur. Ada faktor lain yang mempengaruhi durasi tidur seorang pria: responden laki-laki yang tak lulus SMA berpeluang lebih besar menderita kekurangan tidur dibanding responden yang lulus kuliah. Selain itu, pria yang tidur ngorok lama tidurnya lebih singkat dari mereka yang tak mendengkur. Tentu saja ada beberapa catatan atas penelitian tersebut. Pertama, hasil penelitian ini belum diterbitkan dalam jurnal peer-review. Artinya, kesahihannya belum terbukti. Kedua, hasil penelitian hanya memanfaatkan metode survei sederhana, yakni menanyakan berapa lama seorang responden tidur. Peneliti tak memasang alat pengukur lama tidur pada setiap pada 5.800 responden. Terakhir, selama penelitian, respon tak pernah ditanya umur anak mereka (jika ada). Umur anak jelas krusial sebab kita tahu "gangguan jam tidur" akan jauh berbeda sekiranya kita mengasuh bayi tiga bulan, dibandingkan bocah tiga tahun.

Tetap saja, temuan awal ini sudah cukup buat membenarkan asumsi, kalau ada kelelahan yang dialami para ibu. "Menurut saya, temuan ini setidaknya bisa menguatkan keluhan yang dialami para ibu yang sibuk mengasuh anak mereka," ungkap Sullivan, asisten profesor epidemiologi di Georgia Southern University, melalui keterangan pers.