FYI.

This story is over 5 years old.

The Business of Babies

Praktik Abu-Abu di Balik Maraknya 'Obat' Dengan Iming-Iming Mempercepat Kehamilan

Walau khasiatnya meragukan, sebagian tanpa izin BPOM, ada MLM sukses meraup Rp2 miliar per bulan berbekal janji bikin konsumen cepat hamil. Mahalnya terapi medis dan faktor budaya jadi pemicu suburnya bisnis macam ini.
Ilustrasi oleh Adam Noor Iman.

"The Business of Babies" adalah seri liputan yang digarap VICE menelisik fenomena di Indonesia, tentang cara orang-orang memanfaatkan isu reproduksi menjadi bisnis bernilai miliaran Rupiah. Dalam artikel kali ini, kami mengangkat maraknya bisnis obat untuk mempercepat kehamilan di Internet. Padahal setelah ditelisik, ternyata itu cuma obat herbal, ada yang belum mendapat izin BPOM, serta khasiatnya meragukan. Dalam seri artikel berikutnya, VICE menyoroti bisnis modelling bayi, jasa antar jemput ASI, hingga menelisik bagaimana perusahaan multinasional meyakinkan banyak perempuan di Tanah Air kalau air susu mereka kalah bergizi dibanding susu formula.

Iklan

Agatya Untari, mengunggah foto dirinya dan sebuah testpack bukti kehamilannya, pada 19 Maret 2017. Foto tersebut diunggah dua bulan setelah dirinya menikah. Tidak ada yang aneh dari foto tersebut. Sekadar foto yang jadi ungkapan rasa bahagia seorang perempuan yang memutuskan memiliki keturunan, dan akhirnya positif hamil. Namun, teman-teman Agatya heboh tatkala menemukan fotonya digunakan beberapa akun yang menawarkan program kehamilan. Akun-akun tadi punya followers ribuan, bahkan puluhan ribu. Sejak saat itu, beberapa kali Agatya mulai mendapatkan pesan personal di Instagram, bertanya soal program hamil (promil) yang Ia ikuti.

“Foto saya diambil tanpa izin. Saya kesal, mau minta tolong teman-teman buat report tapi ya siapa lah saya,” kata Agatya saat dihubungi VICE Indonesia. “Risihnya ada beberapa orang DM yang nanya soal promil, seakan-akan saya saya ikut promil tersebut.”

Perempuan 23 tahun ini tidak tahu persis ada berapa akun instagram penawar program kehamilan yang mengunggah potretnya tanpa izin. Setidaknya, dari hasil screenshot yang Agatya tunjukkan kepada VICE, ada tiga akun instagram sejenus yang sekarang memakai fotonya untuk promosi obat mempercepat kehamilan: program_kehamilan_cepat_alami, solusi_cepat_hamil_07, dan konsultan_kehamilan_winda. Agatya sempat menegur beberapa akun tersebut melalui komentar, beberapa diantaranya menghapus foto Agatya, tapi sebagian lagi abai.

Iklan

Pertanyaannya, akun-akun itu ngapain sih? Kenapa followersnya bisa sampai puluhan ribu? Kunci jawabannya adalah promil dan iming-iming konsultasi sekaligus penjualan obat yang diklaim dapat mempercepat kehamilan. Ada ratusan akun seperti itu sekarang membanjiri berbagai kanal media sosial di Tanah Air. Akun dengan nama solusi_cepat_hamil_07 bahkan dengan berani menulis di bio instagram: “KEBERHASILANNYA 95%.”

Agatya rupanya bersinggungan dengan bisnis kesuburan dan upaya mempercepat kehamilan yang nilainya besar sekali. Berdasarkan perhitungan konservatif, saban tahun orang Indonesia membelanjakan hingga lebih dari Rp12 triliun untuk berbagai macam program kehamilan. Bisnis di sektor ini sampai sekarang tak cukup diawasi ataupun diregulasi pemerintah. Alhasil, MLM dan kampanye media sosial jadi lebih dominan.

Selain foto kehamilan, akun-akun penjual obat kehamilan itu sering menampilkan gambar penuh darah proses kelahiran dan operasi caesar, gambar sperma, dan tentunya testimoni berupa screenshot chat dari orang-orang yang telah berhasil hamil dengan program yang diberikannya. Isi kolom komentar warganet pada tiap unggahannya didominasi harapan, berwujud ungkapan seperti “Aaamiiiin”, atau “Kapan kita punya [anak] ya?”

Semua penjual memanggil nama para calon pelanggan dengan sebutan “Bunda”—sebutan yang cukup terhormat untuk perempuan yang sudah memiliki anak di Indonesia. Akun pertama yang dihubungi VICE menawarkan tiga paket obat herbal yang mesti diminum dalam tiga tahap. Melalui Whatsapp, akun tersebut mengklaim obat yang dia jual mampu mengatasi masalah dalam tubuh perempuan yang belum hamil. Obatnya diklaim mengandung dengan bahan “tumbuhan alami tanpa efek samping dengan tingkat keberhasilan 99,9 persen yang sudah terbukti hasilnya dan diuji klinis oleh beberapa badan” termasuk Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Total harga ketiga paket dibanderol Rp3,5 juta.

Iklan

VICE menghubungi akun kedua, yang tidak langsung memberikan paket-paket dan harga yang harus aku bayar. Informasi mengenai nama, domisili dan pekerjaanku mereka gali terlebih dulu. Setelahnya aku ditanyai soal keluhan dan analisa dokter, akun ini pun kemudian langsung menawarkan konsultasi dan pendampingan program hamil. Si empunya akun bicara soal siklus menstruasi, keputihan, hingga morfologi sperma pasangan. Ujung-ujungnya aku ditawari satu paket obat herbal terapi kesuburan yang terdiri dari tiga buah obat dengan harga sekitar Rp1,6 juta.

Ketiga akun tersebut kurang lebih sama: menjual obat herbal yang sama dengan strategi penawaran program kehamilan dan konsultasi online. Obat-obatan tersebut, setelah dilacak lebih lanjut, didistribusikan di Indonesia oleh PT BAE Orbit Senusantara. Ini nama perusahaan multilevel marketing yang beroperasi sejak 2010 dan berkantor di Daan Mogot, Jakarta Barat.

Kantor empat lantai di kawasan Ruko Permata, Daan Mogot, Jakarta Barat tampak mentereng dengan kelir oranye jika dibandingkan dengan toko besi di sampingnya. Senin, 26 Februari 2018 selepas jam makan siang kantor tersebut terlihat sepi dari luar. Hanya seorang resepsionis perempuan berjaga yang siang itu.

Tidak lama, seseorang datang. Dia dipanggil “pak dokter” oleh resepsionis tersebut. Lelaki ini menyambutku ramah, mengajak masuk ke ruangannya. Dia memperkenalkan diri sebagai Eddy Rosady Arief, Kepala Sekolah iBos Acedemy. Sederhananya, Eddy adalah orang yang dipercaya melatih para distributor yang tergabung dalam MLM tersebut dalam pengetahuan soal produk, pelayanan konsumen, dan penjualan.

Iklan

BOS menerapkan strategi online dalam penjualannya sejak 2-3 tahun lalu. Kini, MLM itu telah berkembang melibatkan 6.500-an distributor di berbagai wilayah Indonesia. Kunci suksesnya dipicu ide sebagian distributor untuk menjual obat herbal itu sebagai sarana mempercepat kehamilan. Eddy menyadari strategi menjual “promil” sukses besar. Ia mengakui obat-obatan herbal yang didistribusikan perusahaan yang dikelolanya bukan ramuan khusus mengatasi masalah reproduksi dan kehamilan. Perusahaannya membebaskan distributor di berbagai kota untuk menggunakan strategi marketing apapun, termasuk marketing “program kehamilan” yang daya tariknya senantiasa tinggi di Indonesia.

“Sebenarnya kita tidak bergerak di khusus kehamilan. Kita bergerak di obat herbal untuk memperbaiki kondisi tubuh seseorang, bukan untuk menyembuhkan, tapi meningkatkan daya tahan tubuh,” kata Eddy ketika ditemui VICE. “Konsep promil itu yang menerapkannya IBO (distributor), kalau dari perusahaan sendiri enggak [menentukan]. Terserah mau bagaimana konsep marketingnya yang penting tidak bohongin orang. Itu saja.”

Eddy mengklaim konsep marketing yang diterapkan distributor ini sukses disukai banyak konsumen. Ada konsultasi online yang membuat setiap konsumen merasa diperhatikan. Setiap saat konsumen bisa bertanya mulai dari tata cara minum obat, hingga keluhan. Para distributor belum tentu orang-orang yang bergerak di dunia medis. Namun Eddy menjelaskan bahwa para distributor sudah mendapatkan pelatihan dari dokter umum mengenai dasar-dasar kesehatan. Selain itu, perusahaan juga menyediakan grup chat “Tanya Dokter” bagi para distributor untuk bertanya pada dokter merespons keluhan konsumen. Eddy mengatakan BOS bisa meraup keuntungan Rp2 miliar per bulan dari kecanggihan strategi marketing para distributornya.

Iklan

Tingkat infertilitas di Indonesia merujuk data 2016 berkisar di angka 11 persen dari 150 juta pasangan usia subur. Eddy bilang, pemahaman atas data ini adalah kunci sukses perusahaannya. Permintaan akan obat kesuburan di Indnonesia senantiasa tinggi. Bahkan bisa dibilang daya tariknya melebihi jenis penyakit lainnya. Sehingga, promosi semacam ini bukanlah hal yang mengejutkan.

“Anda bayangkan dengan menjual untuk promil, yang minum berapa orang? Minimal suami istri. Kalau jual buat diabetes berapa orang? Satu. IBO pasti lebih tertarik jual ke dua orang dong? Berarti omzetnya lebih besar. Bukan berhubungan dengan berapa besar tingkat kesuburan di Indonesia. Enggak ada hubungannya dengan itu,” ungkap Eddy.

Eddy menjelaskan ada empat obat yang paling sering dijual distributor dalam promosi program kehamilan. Produk-produk tersebut adalah Seagold Liquid, Alfalfa Concentrated Drink, Neuven, dan Vomeigen. Dua diantaranya, yakni Alfalfa Concentrated Drink dan Seagold merupakan produk pabrikan Kin Herbs asal Malaysia telah terdaftar aman di Badan Pengawas Obat dan Makanan sebagai “Obat Tradisional”. Sementara itu, dua produk lainnya yakni Neuven dan Vomegen, menurut Eddy asli buatan Indonesia dan masih dalam proses pemeriksaan di BPOM.

Maya Gustina Andarini, selaku Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Suplemen Kesehatan, dan Kosmetik BPOM menegaskan kepada VICE jika semua obat tradisional yang dijual di Indonesia harus mendapatkan nomor izin edar dari Badan POM. “Tidak boleh dibikin dulu, dijual, baru dapat nomor. Secara legalitas enggak bisa,” kata Maya saat ditemui di kantornya.

Iklan

Badan POM membagi obat herbal ke dalam tiga kategori yakni: jamu yang klaim khasiatnya dibuktikan oleh data empiris; Obat herbal terstandar yang klaim khasiatnya dibuktikan secara ilmiah atau uji pada hewan (pra klinis); dan Fitofarmaka yang klaimnya dibuktikan berdasarkan uji pada manusia (uji klinis). Dalam hal ini, seluruh klaim yang tertera baik pada kemasan maupun pada materi iklan diawasi Badan POM dan harus berisi informasi objektif, lengkap, tidak menyesatkan, dan sesuai dengan informasi yang disetujui pada pendaftaran di Badan POM.

Masalahnya, iklan dan pemasaran di masa sekarang tidak hanya beredar di frekuensi publik yang diawasi badan berwenang seperti televisi, radio, dan media cetak. Akses informasi terbuka sebebas-bebasnya di sosial media. Siapapun bisa menjual dan memberikan klaim-klaim berlebih, apalagi jika pengawasan penjualannya tidak terdeteksi langsung secara berkesinambungan oleh aparat terkait.

Maya mengaku tidak masalah dengan penjualan obat multilevel marketing. Namun, terkait banyaknya akun sosial media dan halaman web yang menjanjikan program kehamilan sebagai dalih menjual obat herbal, Maya berpendapat lain. Menurutnya, klaim program kehamilan apalagi menyertakan persentase keberhasilan dalam promosi di media merupakan klaim berlebih. Maya mengatakan meskipun memang benar obat-obatan tersebut berfungsi memperbaiki sel, dan melawan radikal bebas, klaim program kehamilan tetaplah berlebihan. Dia mengatakan kehamilan adalah proses yang sangat kompleks.

Iklan

“Beberapa MLM memang bagus, hanya saja kalau sudah berlebih gitu kan membohongi masyarakat yang tidak educated. Jadi masyarakat sudah enggak rasional lagi dalam memilih produk, kan kasihan kan mereka mengeluarkan uang,” ujar Maya kepada VICE. “Mungkin saja yang pakai herbal itu bisa [hamil], karena pas, tapi tergantung penyebabnya apa dulu. Misalnya mengandung antioksidan, sehingga bisa menyuburkan kandungan, itu kan efek yang enggak langsung,”

“Kehamilan itu kan faktornya banyak, mungkin betul disebabkan fungsi sel yang tidak optimal, sehingga dibutuhkan antioksidan. Itu kan hanya salah satu,” tegas Maya.

Pertanyaan selanjutnya, kenapa promil bisa laris sebagai obat mempercepat kehamilan padahal apabila konsumen jeli membaca label, tidak ada sama sekali khasiat seperti yang dijanjikan? Menurut Pakar Ilmu Pemasaran dari Universitas Bina Nusantara, Asnan Furinto, konsumen cenderung lebih mudah dirayu memakai klaim yang mudah dicerna. Sebagai analogi, dalam iklan pasta gigi konsumen akan lebih tertarik dengan klaim “membuat gigi putih bersinar” daripada klaim “mencegah gigi berlubang."

“Nah klaim ‘membuat anda subur [program hamil]’ itu akan lebih menarik dibandingkan “melancarkan atau menghilangkan ini itu,” kata Asnan.

Sosiolog Universitas Padjadjaran Yusar Muljadji menyatakan larisnya obat sejenis promil dipicu oleh kepercayaan laten di masyarakat Indonesia, bahwa pasangan yang sudah menikah sewajarnya memiliki anak. Beban ketika tak kunjung hamil lantas cenderung dibebankan pada perempuan. “Nilai bahwa perempuan memiliki keharusan untuk melahirkan keturunan telah diwariskan dari generasi ke generasi,” kata Yusar. “Masyarakat kita umumnya menempelkan suatu nilai pelik pada perempuan. Jika perempuan yang telah menikah namun belum ada tanda-tanda hamil, hal ini akan menimbulkan pertanyaan di masyarakat. Terjadi sebuah tekanan struktural terhadap seorang isteri yang belum hamil. Ia akan menyegerakan agar dirinya hamil, termasuk dengan mengonsumsi obat-obatan herbal.”

Dokter Spesialis Obstetri dan Ginekologi, Berryl Imran Burhan punya penjelasan lain kenapa obat herbal dipercaya pasangan untuk mempercepat kehamilan. Di Indonesia, banyak terjadi “unexplained infertility” alias ketidaksuburan yang belum terjelaskan secara medis. “[Unexplained infertility] artinya suami istri sudah diperiksa dan bagus, tidak ada kendala penyakit, hubungan seksual yang teratur dalam batasan 2-3 kali seminggu, tanpa menggunakan alat kontrasepsi selama satu tahun belum hamil. Nah yang unexplained ini yang paling sulit untuk diterapi, karena kita enggak tahu penyebabnya,” ujarnya.

Berryl khawatir jika masalah yang dialami adalah unexplained infertility, tapi pasangan tersebut semata bergantung pada obat-obatan herbal. Akan lebih berbahaya lagi jika konsumen memmpercayai hasil konsultasi online dengan si penjual yang belum tentu tenaga medis terlatih.

“Enggak jelas konsultasinya, lalu ada hal-hal yang sifatnya mitos dan fakta,” ujar Berryl. Itu kan penjelasannya harus ilmiah, mesti diperiksa juga. Darimana dia bisa tahu kalau arah rahim kebalik atau enggak, jadi morfologinya mesti kita lihat dulu. Jadi poin saya adalah tetap harus ke dokter.”

Program medis untuk punya anak pun tidak cuma-cuma. BPJS belum menanggung urusan program kehamilan atau infertilitas pasangan. Berryl merinci biaya yang mesti dikeluarkan pasangan yang ingin menjalani program kehamilan, mulai dari tes laboratorium lengkap seharga Rp5 jutaan; USG minimal Rp300 ribu; analisa sperma oleh ahli andrologi sekitar Rp1 jutaan; pemeriksaan sel telur dengan HSG minimal Rp400 ribu; jika ada masalah lebih lanjut harus laparoscopy dan dibedah langsung sistem reproduksinya seharga minimal Rp40 jutaan. Bahkan program bayi tabung atau In-Vitro Fertilization seharga puluhan hingga ratusan juta di Indonesia. Singkatnya, jika pasangan memutuskan ikut program kehamilan sesuai standar medis, harga yang harus dibayar benar-benar besar.

Artinya ada banyak faktor yang melatarbelakangi permasalahan maraknya obat herbal mengaku bisa mempercepat kehamilan. Mulai dari kurangnya literasi media sosial, minimnya pengetahuan soal kesehatan dan reproduksi, hingga mahalnya fasilitas kesehatan terkait hak-hak reproduksi warga negara. Pada akhirnya sebagian masyarakat kelas tertentu rentan terperdaya janji palsu penjual obat yang berani menjamin bisa mempercepat kehamilan.

“Biasanya kalau yang [percaya marketing sosial media] itu pengin cepat. Enggak sabaran,” ujar Berryl. “Temui dokter kandungan yang terdekat. Bangunlah hubungan kepercayaan dengan dokter tersebut. Karena untuk hamil perlu waktu.”