FYI.

This story is over 5 years old.

Televisi

Pengalamanku Menjadi Petarung Bantal Profesional

Serial baru Netflix, 'GLOW', mengingatkanku pada masa lalu sebagai petarung tarung bantal yang disiarkan di TV kayak acara MMA. Tarung bantal live beneran ada lho.
Foto oleh Polly Esther

Pada periode singkat pertengahan 2000-an, aku akan punya karir panjang sebagai petarung bantal profesional. Aku bagian dari Pillow Fight League, liga khusus perempuan yang memadukan aksi teatrikal ala pegulat profesional, petarungan ala MMA, dan bantal. Kami pernah menjual habis tiket pertunjukan-pertunjukan di New York, pernah muncul di Celebrity Fit Club VH1, Good Morning America, dan CNN, dan ditawari acara TV internasional. Meski kesannya absurd, saat itu aku benar-benar mengira ini baru permulaan. Eh ternyata, aku salah. Aku keluar liga pada 2008 dan liga tersebut bubar beberapa tahun kemudian. Tidak pernah dan tidak akan ada serial televisi Pillow Fight League. Satu dekade kemudian, pas aku leyeh-leyeh di rumah sambil nonton GLOW di Netflix, rasanya seperti mimpi itu belum sepenuhnya pudar. Tentu, serial fiktif Liz Flahive dan Carly Mensch ini dibuat berdasarkan Gorgeous Ladies of Wrestling sungguhan di era 80an, bukan sekelompok orang kikuk di Toronto yang berupaya menciptakan olahraga baru di 2000an—tapi kemiripan tersebut amat signifikan.

Iklan

Seperti para pegulat di GLOW, petarung PFL adalah sekelompok perempuan brilian dan kreatif dalam industri yang secara teknis didominasi laki-laki. Kami berlatih bersama-sama secara rutin dan langsung akrab layaknya saudara perempuan. Kami kesulitan membuat batasan antara yang memberdayakan dan mengeksploitasi dalam pekerjaan kami, dan aku enggak yakin kami pernah berhasil menerkanya. Sebagian dari kami juga belajar bahwa secara umum kokain merusak segalanya.

Foto oleh Polly Esther

Aku masih temenan, sih, atau seenggaknya masih menyambung silaturahmi dengan banyak mantan petarung PFL—aku akung dan menghargai orang-orang ini layaknya orang-orang yang pernah pergi ke medan perang bersama-sama. Jadi aku nanya apakah mereka juga girang atau justru sebel pas nonton GLOW. "Serial itu bikin aku teringat akan masa lalu," ujar Polly Esther (yang masih sering dipanggil dengan nama panggungnya) setelah nonton keseluruhan sepuluh episode dalam kurang-lebih satu hari. "Itu masa yang indah, meski banyak konflik, dan banyak drama juga. Tapi gimanapun, kita keluarga."

Seniman-seniman yang sebelumnya dikenal dengan nama Sally Spitfire, Mickey Dismantle, dan Trashley mengungkapkan keriaan sama soal GLOW. Kami semua amat girang menyaksikan serial televisi yang menampilkan sejumlah perempuan amat berbeda dan ikatan pertemanan mereka karena itu jarang ada di dunia hiburan, meski sering ditemukan di dunia nyata.

"Salah satu hal yang bikin aku terkesima adalah kasting pemain GLOW, sepertinya mereka bekerja keras untuk menampilkan perempuan-perempuan berbeda, bukan hanya dari segi ras atau budaya, tapi juga tipe tubuh, usia, dan latar belakang berbeda," ujar Sally—yang kini dikenal sebagai Kat Armstrong. "Kelihatan banget bahwa ini adalah sekelompok perempuan yang, kalau bukan karena pekerjaan ini, tidak akan bertemu dan berkawan. Dan itu adalah salah satu hal yang membuatku kagum pada PFL. Kalau dipikir-pikir, dulu ada cewek Persia, dan ada cewek-cewek punk rock, dan ada Sarah Bellum yang nerdy abis, dan ada juga model. Semua itu karakter kami, tapi kami enggak akan ketemu kalau bukan karena PFL. "Aku selalu terhenyak kalau melihat konten yang menampilkan bahwa perempuan enggak cuma sekadar tete dan kaki jenjang," kata Mickey, alias Amanda Buckiewicz. "Ada cewek-cewek kerempeng, ada cewek-cewek sekel, ada yang femme, ada yang buci, ada yang muda banget, ada yang udah tua—dan semuanya fierce banget tapi kami juga punya insekuriti. Dan kami lucu banget! Hal ini jarang banget di TV, sayangnya, padahal kan kehidupan aslinya kayak gitu." "Aku jadi teringat akan semua hubungan dan persahabatan kita," ujar Ashley "Trashley" Shortall. "Ada semacam semangat akar rumput, jadi bisa relate banget lah."

Hal lain yang sepertinya sangat menyentuh bagi kami, adalah menonton karakter-karakter ini melakukan perubahan berarti dalam hidup mereka demi pekerjaan. Aku pernah dibully karena lebih pintar dan aneh sewaktu kecil (di kemudian hari aku didiagnosa autistik) dan disoraki sebagai Sarah Bellum yang terlalu akademis membantu aku berdamai dengan sisi kepribadianku yang dorky ini. Bagi Shortall, yang bisa relate dengan karakter GLOW bernama Machu Picchu yang gugup panggung, persona PFL dia membantu lebih pede.

"Ketika Liberty Bell bilang bahwa ini kali pertama tubuhnya untuk dirinya semata, bukan untuk suaminya atau pacarnya atau bayonya, aku langsung berasa nyess," ujar Buckiewicz. "Aku tertarik dengan PFL karena pas kecil aku tinggal di daerah suburban, di mana berkelahi dianggap sangat buruk. Kami harus lemah lembut, kalem, dan manis. Tapi pas di PFL aku dikasih kesempatan untuk jadi garang, jelek, untuk berkelahi dan mengumpat dan berteriak dan membiarkan orang-orang kesel sama saya secara terbuka. Asli rasanya mewah banget." Polly Esther, orang pertama yang keluar PFL, bilang bahwa hidupnya berubah ketika sang pemilik, Stacey Case, meneleponnya menawarkan untuk bergabung ke liga—dan apakah dia ingin menjadikan gigi berantakannya sebagai bagian dari personanya. "Seumur hidupku aku dibully terus karena gigiku jelek, terus tiba-tiba ada orang yang bilang enggak kok, gigimu keren banget, ayo kita pamerin aja dan bersenang-senang. Rasanya bebas banget. Itu waktu terindah saya." Seperti Polly yang selama ini bekerja sebagai pelayan, lalu dia diperbolehkan ngomong "tai lu" di depan muka orang. Ini adalah hal yang dia rindukan setelah keluar PFL. Bukannya kami bilang Pillow Fight League sempurna. Meski kami senang banget nonton GLOW dan mengingat-ingat masa lalu, serial televisi ini juga memaksa kami berefleksi mengenai bagian lebih gelap di masa lalu kami. "Beberapa kali saat nonton aku ngerasa risih, karena itu mirip banget degan kejadian di masa lalu pas masih bareng PFL," ujar Armstrong.
Menyaksikan para pegulat di debut GLOW adalah pengalaman yang sama bagi Buckiewics. "Aku inget di suatu petarungan—aku lupa melawan siapa—tapi seorang cowok bilang 'kasih liat dong tetenya!' Dan kami semua memandang dia bilang 'Serius lo???' Dan aku samperin cowoknya dan membawa pemukul baseball. Aku kayaknya bilang ke dia, dia harus kasih liat tititnya dulu. Abis dibilangin gitu, dia duduk dan mingkem. Sebenernya, abis itu aku dapet surat dari dia, dikirim ke studio, isinya minta maaf. Dia bilang dia kebawa, dan sebenarnya dia menghargai perempuan. Ya gitu deh."

Namun sebagaimana disampaikan Armstrong, bahkan fakta bahwa kami bisa berdebat soal apa yang baik dan buruk selama di liga adalah langkah bagus. Ini adalah dialog yang tidak bisa terjadi saat masih di loga, dan nuansa seperti di GLOW sepertinya tidak bisa dicapai. "Aku rasa di 8-an, ketika Gorgeous Ladies of Wrestling dirilis, kita bisa merasa keseruan atau jijik. Enggak bisa di tengah-tengah, enggak ada diskursus. Setidaknya di tiga puluh, hampir empat puluh tahun terakhir, kita bisa lebih sadar dan bilang: Emangnya kita dieksplioitasi? Bisa jadi, sampai taraf tertentu. Apakah cewek-cewek ini mau ada di sana? Mungkin. Apakah ini memberdayakan? Bisa jadi. Bisa jadi semuanya."