FYI.

This story is over 5 years old.

Bertanya Pada Pakar

Kenapa Bangsa Indonesia Minim Sekali Menghasilkan Penemuan Teknologi?

Peringkat kita dalam bidang paten nyungsep di level internasional. Puluhan ribu paten terdaftar di negara ini atas nama orang asing. Kami menemui peneliti LIPI mencari jawabannya.
Foto dari akun Flickr Will Scullin.

Kalian mungkin membaca artikel ini dari telepon pintar. Kalau benar begitu, ingat-ingatlah bila ponsel di tangan kalian itu terdiri dari 250.000 paten, hasil kolaborasi penemu dari seluruh dunia. Paten itu mencakup layar sentuh yang kalian pakai untuk stalking akun instagram mantan, hingga sensor sidik jari yang berguna supaya pacar engga ngintip kalian ngobrol sama siapa saja. Tiap-tiap teknologi itu memiliki paten yang haknya dipegang penemu perorangan (atau atas nama perusahan).

Iklan

Nah, mau tahu informasi yang bikin depresi? Jumlah paten di ponselmu jauh lebih banyak dari paten yang didaftarkan di Indonesia. Bayangkan, ponsel dalam genggaman kalian bisa mengalahkan negara berpenduduk lebih dari 250 juta jiwa. Tidak ada pula sejauh ini paten dalam teknologi smartphone yang didaftarkan atas nama individu atau perusahaan asal Indonesia.

Sedih? Kan sudah dibilang kalau data ini bakal bikin depresi.

Kalau kita menelaah lebih jauh isu teknologi, paten, dan hasil kerja ilmuwan di Indonesia, data yang tersedia semakin menambah suram suasana. Sejauh ini hanya ada 34.000 paten terdaftar di Tanah Air. Diperkirakan 95 persen milik warga negara asing. Makin meranalah Indonesia. Sudah daftar temuannya sedikit, paten terdaftar juga minim. Artinya Indonesia mengandalkan hasil kerja penemu lain untuk semua aplikasi teknologi yang kita gunakan.

Tentu kita layak bertanya-tanya. Ada 474 lembaga riset dan penelitian di bawah perguruan tinggi, kementerian. Bukankah seharusnya Indonesia sanggup melaju pesat di berbagai bidang termasuk riset dan penelitian?

Indonesia tertinggal jauh dari sesama negara berpenghasilan menengah, apalagi yang sama-sama masuk G20. Negara ini terpuruk di peringkat 39 dari 45 negara versi Global Intellectual Property Center (GPIC). Dalam penilainnya GPIC mempertimbangkan beberapa unsur terkait Hak Kekayaan Intelektual seperti, Patent, Copyrights, Trademark, Enforcement, dan keanggotaan dan ratifikasi perjanjian internasional.

Iklan

Untuk memahami alasan peringkat Indonesia begitu rendah terkait hasil paten dan lisensi teknologi, VICE Indonesia menemui Nurul Taufiqu Rochman. Dia adalah Kepala Pusat Inovasi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Dia secara pribadi memegang 20 paten yang 50 persennya telah dikomersialkan, artinya dia sangat produktif menghasilkan temuan baru.

Bersama Nurul, kami membahas alasan negara sebesar Indonesia justru melempem dalam bidang penemuan. Apa yang salah sebenarnya? Berikut hasil obrolan kami yang telah disunting agar lebih enak dibaca:

Apa sih tantangan terbesar penemuan teknologi dan paten di Indonesia?
Paten ini kan intellectual property, hasil karya dari orang-orang yang memiliki pemikiran intelektual. Kalau kita tarik benang dari situ yang memiliki karya intelektual di Indonesia ini dari kalangan ilmuwan. Ilmuwan itu terdiri dari lembaga Litbang seperti LIPI, BPPT, dan Kementerian-kementerian, dan universitas. Ada juga Litbang dari perusahaan besar atau UMKM yang mengembangkan teknologi tersendiri yang punya potensi menghasilkan karya intelektual. Ternyata, kalau kami lihat para ilmuwan yang memiliki karya intelektual ini masih banyak yang belum memahami konsep dari paten. Mereka tahunya bahwa paten itu adalah sesuatu yang sulit. Mereka tahunya yang bisa dipatenkan hanya sesutu yang jauh dari pemikiran mereka, yang sekiranya kalau di Indonesia enggak akan mungkin bisa dipatenkan. Mereka tidak paham betul bahwa yang bisa dipatenkan itu ada yang sederhana yang menemukan langkah-langkah intensif, langkah-langkah baru, yang sedikit saja memperbaiki (patent) yang lama, itu juga bisa (jadi patent). Semudah itu, tapi mereka tidak paham. Masa iya mengurus paten sesederhana itu?
Banyak ilmuwan tidak tahu bahwa paten itu pengurusannya mudah. Mereka juga tidak tahu bahwa pengurusannya mudah dan yang kedua mereka juga enggak tahu bahwa penelitian yang dilakukan itu juga bisa dipatenkan. Jadi secara regulasi, kebijakan enggak tahu. Dan secara teknis mereka juga enggak ngerti.

Iklan

Semudah apa sih proses mematenkan penemuan kita?
Kita dengan lembaga Litbang dan UMKM gratis, cuma pendaftaran saja. Gratis dalam lima tahun untuk klaimnya. Untuk pendaftaran Rp500 ribu selesai. Perlu waktu tiga tahun setelah itu, kalau mau dipercepat menjadi 6 bulan bisa bayar Rp2 juta. Pemeriksaan Rp2 juta. Sudah. Rp4,5 juta sudah dipatenkan itu dengan dipercepat setahun setengah. Kalau enggak dipercepat paling cuma Rp2,5 juta.

Ketidaktahuan soal mekanisme paten itu berarti dampaknya besar dong. Indonesia hanya punya sekitar 34.000 patent di Kemkumham, itupun didominasi 95 persennya oleh asing.
Ini tantangan besar bagi kita. Padahal kan aturannya sedemikian dipermudah, tapi teman-teman masih banyak yang belum memahami. Mungkin pengambil kebijakan di Indonesia juga masih belum memahami tentang hal ini. Saya yakin mereka peduli, tapi sampai di mana? Di seluruh Indonesia ada sekian ribu universitas, setiap universitas bisa mengeluarkan dua, tiga, atau lima paten, itu saja sudah dapat 2 ribu. Belum lagi dari berbagai Litbang. Kalau itu bisa berhasil, Indonesia pasti sudah luar biasa. Setiap penelitian kan pasti melahirkan paten kan. Kalau tidak melahirkan paten ngapain buat penelitian. Perkara orang luar masuk ke Indonesia memang peluang di Indonesia sangat besar pasarnya, sehingga mereka menginginkan produk-produk yang dijual di Indonesia bisa terlindungi, bisa aman, tidak bisa dicontoh. Sehingga mencoba mematenkan di Indonesia.

Iklan

Paten semacam apa yang potensinya besar dihasilkan dari Indonesia?
Kalau paten kebanyak di Indonesia ya kebanyakan manufaktur, permesinan, menemukan metode baru, alat baru. Sementara bidangnya luas kebanyakan bidang mekanik, kimia, lifestyle.

Apa paten ilmuwan Indonesia mudah diterima industri?
Kadang-kadang lembaga-lembaga Litbang, mungkin karena minim pengetahuan dan minim pengalaman jadi kesulitan. Kalau di luar negeri, selain lembaga Litbang, juga ada lembaga-lembaga swasta intermediasi yang bergerak untuk nonptofit, atau yang bergerak untuk mengalihteknologikan atau mengkomersialkan paten-patennya dari Litbang. Kalau kayak di luar negeri itu sangat aktif dan yang berpengaruh besar itu mereka. Karena punya keleluasaan mengelola hasil paten menuju industri. Sementara di litbang Indonesia, untuk mengkomersialkan punya keterbatasan. Sehingga alih teknologinya masih membutuhkan waktu yang cukup lama. Seberapa susah mengkomersialkan hasil paten di Indonesia?
Kan paten tidak semua bisa dikomersialkan juga. Kita harus mengidentifikasi lebih dalam paten-paten di Indonesia ini bukannya sulit dikomersialkan. Sebenarnya di luar negeri juga sama begitu, mungkin hanya 5-10 persen saja yang komersial. Nah cuma, bagaimana kemampuan kita mengidentifikasi peluang yang sama dan mencari partner yang cocok, teknologi yang pas, di Indonesia. Bahkan menurut saya di Indonesia ini peluang yang besar, karena belum banyak orang yang sukses, padahal potensi Sumber Daya Alam dan potensi teknologi penerapan itu tidak sulit.

Iklan

Anda pernah mematenkan temuan di negara lain?
Saya waktu itu mematenkan produk di Jepang, di tempat produksi. Karena haknya saya lepas, jadi waktu itu saya enggak sempat bayar klaimnya, waktu itu kita harus bayar sekitar Rp50 juta kalau dikonversi ke rupiah tahun 2000. Saya kasih ke Prefektur Kagoshima, saya sudah enggak mau tahu lagi sejauh mana produksi itu. Banyak itu di sana produk yang pakai teknologi kita.

Apa hasil penemuan anda yang sempat dipatenkan di Jepang waktu itu?
Proses pemurnian pengolahan limbah timbal dari logam tembaga. Di luar negeri timbal sudah tidak boleh dipakai. Limbah-limbah logam itu kan selalu ada timbalnya, jadi harus dikeluarkan kalau tidak, tidak bisa dipakai dia. Nah itu saya ada teknologi pemurnian logam tembaga atau paduan tembaga. Saya mematenkan itu 2003. Kemudian haknya saya serahkan ke Prefektur Kagoshima,

Kenapa diserahkan ke Jepang?
Karena kita kan waktu itu belum punya mekanisme yang baik, baik di LIPI ataupun di Indonesia. Saya untuk bayar Rp50 juta sebagai seorang peneliti di Jepang pakai uang pribadi ya saya mikir-mikir juga. Kapan balik modalnya kita juga enggak tahu.

Biaya Rp50 juta ini untuk apa?
Untuk pendaftarannya saja. Total itu habis sekitar Rp400-500 jutaan. Saya dapat hak royalti 25 persen.

Mana yang lebih mahal, mendaftarkan paten di Indonesia dan di luar negeri?
Sama saja. Cuma kalau di luar itu kebanyakan kita menggunakan pengacara. Kalau daftar sendiri sebenarnya sih gampang. Ada training cara menulis paten, dan saya nulis untuk patennya saja satu bulan untuk klaim dan segala macamnya. Cuma panjang prosesnya.

Apakah pengurusan paten di Jepang lebih sederhana dibandingkan dengan di Indonesia?
Sama saja sebenarnya, kalau kita tahu enggak ada yang ribet. Cuma waktu itu kami enggak tahu, dan tidak semua orang tahu juga. Makanya bisa dibilang saya lebih tahu daripada orang Jepang, karena saya yang belajar menulis patennya, bukan orang Jepang. Cuma, ya itu penemuan saya yang nulis, tapi saya serahkan pada orang Jepang. Nah, itu sialnya di situ. Statusnya penemuan itu milik Jepang, tapi saya hanya tercatat sebagai penemunya saja.