FYI.

This story is over 5 years old.

Kuliner

Makin Banyak Hipster Kuliner Bermunculan

Belakangan aku nemu banyak pengamat kuliner abal-abal sok ngereview makanan. Kesannya jadi 'pengamat' gampang, tinggal sering jajan. Nih, kukasih tahu cara terbaik jadi foodie sejati!
Foto via akun Flickr Phil Roeder

Artikel ini pertama kali tayang di MUNCHIES.

Aku merasa diriku ini pantas disebut penggila kuliner atawa Foodie. Sejak kecil, aku selalu suka memasukkan apapun yang bisa dimakan di mulut, mengunyahnya, menelan dan akhirnya mencernanya. Saking "Foodienya", baru mikirin tentang makanan saja, produksi liurku berlimpah. Kalian langsung males nerusin baca opini ini? Jangan! Eneg sama klaim-klaim orang lain soal kecintaan pada makanan justru ciri-ciri Foodie sejati loh.

Iklan

Kalau masih belum percaya, silakan buka blog saya. Di sana, kalian bisa menemukan rekam jejak perjalananku sebagai seorang Foodie, serta foto-foto makanan yang pernah aku jejalkan ke mulut.

Salah satu hal terpenting dalam kehidupan seorang Foodie adalah tahu bagaimana caranya makanan bisa masuk mulutmu. Orang biasa—maksudnya nonfoodie—biasanya bakal rewel minta garpu pada pelayan, dan buru-buru menggunakannya setelah permintaannya diladeni. Aku tak seperti itu. Jangan salah sangka ya, aku suka pakai garpu. Aku cinta garpu. Tapi, aku juga bisa memutuskan memakai sendok tergantung secair apa santapannya, atau sumpit jika makanannya kental nuansa gaya Tiongkok. Bahkan kalau mau, aku bisa menggunakan tangan misalnya ketika melahap nasi padang. Lagian, nasi padang bakal berkurang kelezatannya jika disantap dengan sendok dan garpu.

Meski demikian, aku mencoba sekuat tenaga agar tak jadi Foodie yang nyebelin. Itu loh foodie yang menganggap sebelah mata orang lain yang tak punya pengatahuan kuliner seluas diriku. Sumpah aku orangnya enggak gitu Memang sih, tiap kali aku nonton ada orang melahap nasi padang pakai sendok, mataku langsung pedih. Tanganku gatal pengen nampol. Mulutku kadang tak tahan berkomentar, "Mas, anu bagusnya makannya pake tangan aja. Gitu aja kok enggak tahu!"

Aku yakin, beberapa teman yang mengenalku dekat pasti mengira aku cuma latah jadi Foodie. Satu dekade belakangan, soalnya ada kesan hip gitu kalau kita punya pengetahuan kuliner yang luas. Beberapa teman barangkali membatin, "aku kayaknya enggak pernah dengar kamu ngobrolin adab menggunakan serbet di meja makan, sebelum dunia kuliner jadi keren." Eits, jangan bilang-bilang ya. Keputusanku jadi Foodie ini memang dipengaruhi sedikit—beneran lho, sedikit doang—tren di sekitarku. Aku toh manusia biasa. Sudah kodratnya manusia gatel ikut tren. Oh ya tentang masalah serbet, barang itu sudah jadi bagain inheren kebiasaan kulinerku selama bertahun-tahun. Tapi kan sebagai Foodie yang baik, aku enggak merasa harus koar-koar tentang cara pakai serbet yang benar di meja makan.

Iklan

Inilah masalahku melihat banyaknya poseur Foodie. Hipster kuliner yang ngeselin kelakuannya itu sekarang muncul di mana-mana. Mereka rajin beud ngoceh tentang nuansa makanan dan membanggakan kemampuan membedakan rasa yang mereka cecap di lidah itu manis, pahit, asin, dingin, atau panas (dipikirnya ini kemampuan mutan kali ya). Walaupun pakai istilah-istilah soal rasa dan bahan baku masakan yang canggih, dari cara mereka ngomong aja kamu pasti tahu mereka cuma nebak-nebak doang. Kalau jenis hipster gitu makan cake terus bilang "wah ini crunchy banget", jangan percaya deh. Wong bisa jadi yang sedang dicicipi teksturnya lebih mirip kayak yogurt.

Sebagai seorang Foodie, aku sadar banget kalau aku punya tanggung jawab luhur, Foodie adalah sejenis manusia yang otomatis punya kemampuan nulis di atas rata-rata dan kadang merasa punya kewajiban menilai restoran/tempat makan yang baru dikunjungi. Mau tahu review terbaruku tentang restoran dekatr rumahku. Nih: "Mmmmm…."

Kalau sedang tak sibuk menulis tentang makanan, salah kegiatan khas Foodie yang kulakukan adalah pergi farmer's market akhir pekan. Aku pulang membawa tote bag yang sesak dengan bahan makanan organik. Bahkan, tapi ini rahasia ya, aku kadang enggak tahu apa saja yang aku bawa pulang. Sesampainya di rumah, kamu pasti mikir aku langsung memasaknya. Enak aja. Bahan-bahan ini langsung masuk tempat sampah karena emang aku sebetulnya jarang masak sendiri. Pemborosan? Bukan. Ini yang namanya gerakan "Support and Release". Itu semua aku lakukan untuk menunjukkan tanggung jawab berat sebagai seorang Foodie.

Akhirnya, cara terbaik jadi Foodie bukan cuma memasang status 'Foodie' di profile Facebookmu—apalagi kalau kamu enggak pernah majang foto makanan. Jangan juga berani ngaku jadi foodie kalau kamu belum ngajarin orang lain cara mengucapkan "prosciutto" secara baik dan benar. Hipster kuliner juga tak akan lupa menaruh istilah 'foodie' di profil Twitter dan ketepatan mengucapkan kata Doritos.

Tanpa semua kebiasaan itu, kalian semua bukan Foodie—meski pengetahuan kulinermu lebih keren dari Bondan Winarno sekalipun.

Artikel satir ini pertama kali tayang di MUNCHIES Mei 2014. Tenang jangan keburu emosi. Colin Nissan tuh penulis lepas bukan foodie beneran. Para foodie keknya udah mulai ngambek soalnya.