Papua, Bandung, dan BKT Menempa Joe Million Jadi Rapper Buas
All photos by Iyas Lawrence.

FYI.

This story is over 5 years old.

Hip Hop Indonesia

Papua, Bandung, dan BKT Menempa Joe Million Jadi Rapper Buas

Joe Million mungkin tak setenar Rich Chigga. Tapi cobalah perhatikan lirik-lirik yang ia tulis. Kamu akan sepakat: dia MC berbahaya dalam kancah hip hop Indonesia.

Berdiri di jalur sepeda yang terbentang di samping Banjir Kanal Timur, malam itu Jayawijaya Parulian Nababan mengenakan kaos hitam, celana jeans robek-robek, dan sandal jepit. Jauh berbeda dari imej swagnya yang biasa saya lihat di video klip. Saya sempat kebingungan karena sesuai janji kami seharusnya bertemu di warung kopi favoritnya. Di samping saya hanya terlihat seorang ibu duduk di samping kanal, menjajakan mi instan dan puluhan jenis minuman sachet yang dengan santainya digantung-gantung di atas lengan rambu 'jalur pengguna sepeda'.

Iklan

"Mana warung kopinya?" saya bertanya pada Jaya, panggilan Jayawijaya, setelah dia datang belakangan.
"Lha ini!" ujarnya sambil menunjuk ke arah si ibu pedagang minuman yang tadi yang sedang duduk.
" Oalahhh…" jawab saya sambil tersenyum.

Saya memesan nutrisari, setelah itu kami duduk di atas sebuah kain terpal yang dibentangkan di atas rumput. Di seberang sungai tampak gedung Rumah Sakit Duren Sawit menjulang tinggi. Belasan muda-mudi pacaran bertaburan di terpal-terpal sepanjang pinggir kanal. Jaya menyeruput kopi yang ia pesan. Ia berseloroh bahwa tempat ini, Banjir Kanal Timur, adalah tempat nongkrong favoritnya di Jakarta. Kota yang baginya tak pernah terasa seperti rumah.

Jayawijaya Parulian Nababan kini lebih dikenal dengan moniker Joe Million, salah satu nama di tengah pusaran generasi baru rapper Indonesia, dari kancah musik independen yang tengah mengalami kebangkitan. Ia lahir dan besar di Papua, tapi kekaryaannya baru mulai ketika ia kuliah pertambangan di Bandung.

Selama enam tahun nge-rap, Joe sudah pernah merilis satu EP, satu album panjang, dan beberapa mixtape. Album penuh perdananya, Vulgar, didaulat sebagai album rap lokal terbaik 2016 oleh pesohor sekaligus dedengkot hip-hop Indonesia Morgue Vanguard dari grup Homicide dan Bars of Death, serta meraih ulasan positif dari banyak majalah musik lokal, termasuk redaksi VICE.

Di bangku SD, Joe mendengar lagu hip-hop pertamanya, 'Mockingbird' karya Eminem, lewat sebuah CD bajakan punya teman. Lagu itu tidak serta-merta membuatnya langsung menggilai hip-hop. "Itu exposure pertama, tapi gue gak langsung kayak 'wah hip-hop keren banget,'" ujarnya.

Iklan

Barulah ketika menempuh pendidikan lanjut di Institut Teknologi Bandung, Joe belajar banyak tentang musik dan penulisan lirik hip-hop. Dibantu Randy Ismail, alias Rand Slam, sobat baik, rapper dan pegiat hip-hop Bandung, Joe berkolaborasi merekam track-nya yang pertama berjudul "Hidup Cuma Sekali". Untuk track itu, Joe hanya menggunakan laptop dan microphone untuk chatting.

"Terus kayak kita pengen pamer, jadi di-upload ke reverbnation. Emang ada keinginan buat didenger orang sih," ungkapnya.

Joe tak sekalipun malu-malu mengaku ingin menjadi terkenal sebagai rapper. Dia nekat cabut dari pekerjaan tetap di Bursa Efek Indonesia, April lalu, menjadi rapper penuh waktu. "Menurut gue kalo elo mau make a living, mesti terkenal," ujarnya sambil menggaruk kepala, "Itu yang gue pikirin tiap hari. Gimana caranya bisa hidup dari sini."

Bahkan moniker "Joe Million" pun tercipta karena keinginannya untuk menjadi orang tajir. "Iya, itu sebenarnya nama FB gue. Waktu SMA gue alaynya luar biasa kan," ujarnya, "Nama gue Jaya dan cita-cita gue pengen kaya raya, Jaya Million gitu." Setelah menciptakan track pertamanya, dia ingin menggunakan kata Million sebagai bagian dari moniker hip-hopnya. "Gue pengen yang depannya J tetep, terus pake Joe," jelasnya.

Namun perjalanan Joe menuju ketenaran dan kekayaan masih sangat panjang. Orang tua Joe, kelas pekerja dari Medan, tidak seoptimistis anaknya. "Dua minggu sebelum keluar kerja, gue cerita. Mereka shocked banget. Pas gue bilang gue mau jadi rapper, mereka enggak ngerti," ingatnya. Joe dan orang tuanya menghabiskan dua minggu beradu mulut sampai akhirnya suatu hari mereka menyerah. "Terserah lah," kata mereka.

Iklan

Pembicaraan kami terpotong ketika sang ibu pemilik warung datang membawakan minum.

"Eh itu rokoknya basah itu, angkat dulu." Saya mengingatkannya ketika melihat sebatang rokok yang Joe isap terselip di dalam nampan minuman. Jaya ketawa lalu menyulut rokok baru.

Sering dicap sebagai "MC Papua", Joe Million pernah merasa masalah identitasnya agak problematis. "Karena gue mulai ngerap di Bandung. Jadi gue mikir sebenernya gue enggak represent Papua," ujarnya. Dia lahir 1992 di Tanah Papua. Orang tuanya asal Medan bermigrasi ke Wamena, lalu pindah ke Jayapura ketika Joe berumur dua tahun. Joe menghabiskan tujuh belas tahun di Papua, sebelum akhirnya kuliah dan bekerja di Pulau Jawa. Bagaimanapun, setelah sekian lama, Papua tetap paling terasa seperti rumah bagi Joe.

Logat Papua tidak pernah hilang, bahkan setelah dia meninggalkan tanah kelahiran. "Awalnya gue nulis lirik pake 'gue…gue' wah ini aneh banget rasanya," ingat Joe, "Tapi terus gue pikir kenapa gak sekalian aja pake logat Papua gitu? Gue bener-bener ingin nunjukkin Papua bagian dari gue."

Dalam track "Amin", dari album perdananya Vulgar, Joe Million menyelipkan beberapa dialek khas Papua. Dengan dialek itu pula, Joe mengkritik sifat munafik mereka-mereka yang berada di tingkat tertinggi pemerintahan.

"…Masuk dalam ruang DPR yang penuh bual / Kita muak juga mual dengan semua pertemuan
Para tuan-tuan dengan modal penipuan / Tak peduli tua-tua juga muda kita ludah
Mencoba mengajari kau sendiri begituan / Dengan anak perempuan dari rakyat punya uang
Jadi soal kelakuan jilat sa panta lubang / Bayar ko pu hutang jangan kira kami lupa…"

Iklan

Sinisme pada kekuasaan ini sejalan dengan persepsinya yang tak pernah positif pada kehidupan perkotaan. Alasannya sederhana. Joe menggambarkan hidup di Papua membuat seseorang otomatis dekat dengan alam, sesuatu yang agak sulit ditemukan di Jakarta. "Ke pantai, sungai, itu biasa banget, jadi gue take it for granted," ujarnya, "Dalam waktu sebulan, pasti ada waktu buat jalan-jalan ke pantai Jayapura: Base-G, Hamai, Holtekam, banyak deh. Mungkin kayak kalau orang Jakarta ke mal gitu."

Selain itu, hidup di Papua memberkahinya dengan perbendaharaan referensi hip hop yang memadai, sehingga dia tak modal semangat saja terjun menjadi rapper. Kancah musik hip-hop di Papua, kata Joe, sudah ramai dan besar sejak satu dekade lalu. "Setiap komplek ada kayak artisnya gitu yang satu kampung tahu," ujarnya. Di Papua, para MC dan pegiat hip-hop kerap ikut perlombaan ngerap di mal, di "hood-hood", kampung, atau bahkan panggung dadakan. "Depan toko bikin panggung sendiri, tinggal narik listrik dari toko, minjem sound, udah, jadi deh," ingatnya.

Joe mengaku belum pernah manggung di hadapan saudara-saudari di Papua, sebuah kesempatan yang dia sangat dambakan. Yang sudah terwujud sejauh ini baru kolaborasi dengan seorang teman Papua yang menghasilkan mixtape Million Cypher yang digarap ketika sedang pulang kampung ke Jayapura tahun lalu.

Uniknya, baru di Jakarta lah Joe mendapat pengakuan dari sesama teman Papua via Instagram. Mereka ngomong "wah, bang, kita sukaklah" dan "kaks, kita suka nih". Pengakuan dari sesama pegiat hip-hop tanah kelahiran membuatnya tergugah, lebih-lebih karena pujian ini datang dari wilayah yang tidak pernah main-main soal hip-hop. Berikut salah satu cerita paling gila seputar kancah hip-hop Papua yang diceritakan oleh Joe:

Iklan

"…Yang paling parah waktu itu ada satu remaja bikin diss track dan dia bawa-bawa marga dan didengar satu kampung yang marganya itu semua. Dan mereka tersinggung. Mereka bukan anak hip-hop dan kebetulan dengar lagu itu. Mereka semua orang dewasa, gak ngerti hip hop dan budayanya, ya tersinggung lah. Akhirnya kampung itu nyerang kampung sebelah, dibakar kampungnya. Gangster banget ya…"

Biarpun tidak memulai karir hip-hopnya di Papua, tujuh belas tahun yang dihabiskan Joe Million di tanah Indonesia timur tersebut bukanlah waktu yang sedikit. "Gue belajar untuk embrace identitas gue sebagai orang Papua," ujarnya. Di samping aksen Papua, di luar penyebutan-penyebutan dan penggunaan istilah lokal, Joe juga tidak ragu sesekali mengangkat isu politik tanah kelahirannya. Salah satu isu agak berat yang pernah ia angkat adalah soal pertambangan. "Gue angkat minimal gimana orang Papua gak terima Indonesia datang ke sana dan mengontrol."

Bagaimanapun hubungan Papua dengan Indonesia, Joe merasa Papua perlu memilih jalannya sendiri ketika mereka siap nanti. "Banyak latar warga Papua belum terdidik dan Indonesia punya utang untuk membantu pendidikan," ujar Joe, "Entah merdeka atau enggak, gue ngedukung Papua untuk milih jalannya sendiri."

Mendadak ada motor ngebut. Suara mesin motornya yang berisik sontak membuat kami kaget. Obrolan terhenti sejenak. Maklum, penggalan rumput tempat kami duduk dan jalan raya utama hanya dipisahkan sebuah jalur lambat yang bisa dipakai bersepeda atau berlari. Di sisi sungai yang lain, terlihat banyak lapak-lapak kaki lima yang dipakai untuk berjualan pakaian. Orang dan motor menyemut di sana. Inilah hiruk-pikuk pasar malam Jakarta.

Iklan

Kok kayaknya lokasinya familiar ya?

Ternyata tempat kami wawancara sudah pernah saya saksikan sebelumnya. Joe sempat bikin video klip di sini. BKT adalah latar utama video musik "Ia Nanti". Joe ingin menunjukkan bahwa lokasi atau latar belakang seseorang tidak pernah penghalang untuk berkarya. Di chorus lagu tersebut yang catchy, Joe menyitir tongkrongan favoritnya: "Banjir Kanal Timur, aku sentuh jadi Parc 19." Referensi yang lucu sekaligus cara cerdas menyentil imej 'keren' dalam lirik lagu tentang Ibu Kota yang kerap didominasi Jakarta Selatan.

Ketika pertama kali pindah ke Jakarta, selama dua bulan Joe sempat tinggal dan juga tidur di studio musik Imogen di Cipinang Besar. Lepas dari studio, Joe memilih kosan di Duren Sawit yang tidak jauh dari Imogen. "Di sini, orangnya lebih urban dan keras. Di jalanan, orang-orangnya lebih konfrontatif. Beda dari yang lain," ujar Joe.

Lingkungan yang keras membuat Joe terbiasa harus berjuang dan beradaptasi dengan keadaan sekitarnya.

Dibantu oleh teman-teman muda komunitas hip-hop Jakarta macam Juta, Rand Slam, Laze, kolektif Maraton Mikrofon dan lainnya, Joe 'manggung' di tempat-tempat yang tidak umum. Mulai dari rooftop Lembaga Bantuan Hukum di Jakarta Pusat, Kampung Gallery, dan terakhir di Pasar Santa. Selain mempertegas eksistensi, Joe ingin memperbanyak panggung hip-hop yang dirasa masih kurang. "Sebisa mungkin mandiri, jangan ngemis," ujarnya. "Gue pengen nularin ke orang bahwa bikin panggung gak susah kok. Gak harus gede. Ada sound, ada performer, ada yang nonton, itu udah bisa disebut panggung," ungkapnya.

Perjalanan Joe sebagai rapper tentunya masih panjang dan mungkin baru saja dimulai. Dia leluasa manggung di acara indie legendaris Jakarta macam Superbad, kali lain seru-seruan 'manggung' gerilya dimanapun itu; Asik berkarya sendiri, namun tetap menyempatkan berkontribusi dalam track hip-hop sepanjang 18 menit bersama 21 rapper dan 5 beatmaker lain menyentil Indonesia yang lebih menyerupai negara fiktif; Atau menyombongkan kemampuan ngerapnya.

Ketika ditanya definisinya tentang rapper yang baik, Joe menjawab telengas. "Rapper yang baik punya substansi dan tidak lupa tempat asal mereka."

Melihat bagaimana Joe Million selalu memasukkan elemen tempat dia berada sebagai bagian dari karyanya, entah itu Jayapura, Bandung, atau BKT, dimanapun dia berakhir nanti, rasanya dia akan baik-baik saja, bertambah dewasa, dan makin berbahaya.