FYI.

This story is over 5 years old.

ramadan

Umat Muslim di Myanmar Dihambat Beribadah Ramadan

Kelompok Buddhis garis keras menutup paksa dua madrasah di awal bulan suci bagi umat muslim itu.
Photo by Soe Zeya Tun/ Reuters

Situasi berat sedang dialami warga minoritas muslim di Myanmar. Ratusan orang Islam terpaksa melakukan ibadah tarawih dan salat jamaah di jalan raya sejak awal Ramadan. Kelompok Buddha radikal menutup paksa dua madrasah di Kota Yangon. Polisi maupun pemerintah setempat membiarkan saja aksi massa sepihak yang diskriminatif tersebut.

Madrasah itu memiliki masjid di dalam area sekolah. Masjid inilah yang menjadi alasan umat Buddha garis keras melakukan penutupan paksa. Mereka menuding pengelola madrasah tidak memiliki izin pendirian rumah ibadah. Tokoh muslim Yangon, Moe Zaw, kini ditahan oleh aparat akibat desakan warga mayoritas. Sebagai pengelola madrasah itu, dia terancam hukuman penjara enam bulan akibat tidak mengurus izin pendirian masjid, seperti dilaporkan kantor berita Reuters. Masih belum jelas kapan madrasah maupun masjid itu bisa kembali dibuka untuk umum.

Iklan

"Saya merasa sangat sedih, rasanya seperti langit runtuh menimpa kami," kata Chit Tin, salah satu umat muslim Yangon saat dihubungi wartawan.

Akibat penutupan paksa, warga muslim Yangon kini harus beribadah tarawih maupun salat jumat di masjid dekat madrasah. Masjid ini terlalu kecil untuk menampung lebih dari 1.000 orang, sehingga banyak yang terpaksa salat di jalan raya dan trotoar luar.

Cerita sedih serupa dilaporkan muncul dari Kota Meikhtila. Pemerintah kota setempat menutup paksa tiga rumah yang diubah menjadi mushala oleh warga minoritas muslim. Penduduk yang beragama Islam di Meikhtila selama empat tahun terakhir tidak punya masjid, gara-gara perusakan yang dilakukan massa dipimpin kelompok Buddhis garis keras. Polisi sampai berpatroli mengawasi rumah-rumah warga muslim agar tidak diubah menjadi mushala atau menggelar salat jumat.

Pemerintah Myanmar sejak lama membiarkan diskriminasi terhadap populasi pemeluk Islam. Hal ini diakibatkan sikap keras yang dikampanyekan oleh kelompok nasionalis Buddha radikal. Salah satunya adalah kubu Ma Ba Tha, pimpinan Biksu Ashin Wirathu yang dijuluki "Bin Laden-nya Myanmar". Sejak kerusuhan menyasar warga muslim Rohingya pecah lima tahun lalu, Wirathu aktif mengajak umat Buddha mayoritas untuk memusuhi semua pemeluk Islam. Jumlah muslim di Myanmar memang tidak besar, secara resmi pemerintah menyebut mereka 4 persen dari total populasi. Namun data lain menunjukkan umat muslim di negara yang dulu bernama Burma ini kemungkinan mencapai 12 persen.

Iklan

Wirathu membangun narasi seakan-akan umat muslim hendak menggulingkan pemerintahan Myanmar serta menjalankan syariat Islam yang merugikan penganut Buddha. Dia mengaku takut melihat jumlah pemeluk Islam meningkat pesat di Myanmar karena keluarga muslim cenderung punya banyak anak. Sang biksu radikal itu lantas mengizinkan massa melakukan kekerasan terhadap umat minoritas tersebut. Wirathu juga aktif melobi politikus maupun pejabat militer agar menerbitkan undang-undang anti-Islam, yang pemeluknya dia sebut "parasit bangsa".

Pandangan Wirathu awalnya tidak didukung oleh biksu-biksu lain. Namun kini tampaknya pemuka agama Buddha banyak yang sejalan dengannya. "Jihadis hendak merebut negara kami, jadi kami harus menjaga keutuhan Myanmar," kata salah satu biksu radikal saat diwawancarai the Guardian. "Pemerintah Myanmar seharusnya menghormati warga Buddhis sebagai umat mayoritas. Namun mereka justru terlalu lembek, jadi kamilah sekarang yang megambil alih tugas untuk mengamankan masa depan agama kami."

Tafsir dari melindungi agama itu adalah kekerasan massal. Polisi bulan lalu terpaksa menembakkan peluru hampa untuk membubarkan kerumuman massa Buddhis yang menyerang sebuah apartemen di Kota Yangon. Apartemen itu dituding menampung pelarian Rohingya, yang dianggap warga negara ilegal oleh warga mayoritas. Dua orang muslim di gedung tersebut luka akibat serangan kelompok Buddha garis keras. Polisi belakangan menyatakan tuduhan kelompok Buddhis tak beralasan dan tak ada warga Rohingya di dalam apartemen.

Lembaga pemantau HAM, Human Rights Watch (HRW), menyatakan pemerintah Myanmar merawat sentimen agama ini. HRW juga mengecam Aung San Suu Kyi, pemimpin Myanmar saat ini sekaligus penerima Nobel Perdamaian, karena tidak berani bersikap atas kekerasan yang menimpa umat muslim. Phil Robertson, Wakil Direktur HRW untuk Asia, menyatakan pemerintah Myanmar terbukti mendiamkan kekerasan. "Tidak ada keberanian dari otoritas terkait untuk menghentikan rangkaian kekerasan terhadap umat muslim dan etnis minoritas lainnya yang dilakukan oleh kelompok ultranasionalis Buddha," kata Robertson.

"Tak ada jalan lain bagi Myanmar, kecuali menghentikan rangkaian kekerasan ini, serta menghukum warga Buddha yang telah melanggar hukum."

Penduduk muslim di kota-kota Myanmar kini hidup dalam ketidakpastian dan hambatan ibadah. Satu orang mengaku terpaksa berjalan 20 menit dari rumah ke masjid terdekat jika ingin menjalankan salat berjamaah. Sebab mustahil bagi mereka membangun masjid.

"Sudah sejak lama komunitas muslim tidak bisa membangun masjid baru di negara ini," kata Kyaw Khun, Kepala Dewan Muslim Myanmar saat diwawancarai HRW.